Malam Mencekam

Rumah besar bekas milik sang paranormal kondang kembali ramai. Penghuni baru datang dengan dua mobil pengangkut barang. Hanya saja tidak membawa tenaga sewaan, sehingga pihak mobil hanya membantu menurunkan barang dan menumpuknya di teras.

Mbah Priyo tidak menolak saat tetangga yang mengaku tinggal di sebelah rumahnya berniat membantu. Pria itu seumuran dengan Mbah Priyo, sekitar setengah abad, mungkin malah lebih jika dilihat wajahnya yang sedikit lebih tua.

Barang berat dipindahkan oleh Mbah Priyo dan tetangganya, benda-benda ringan diangkat sendiri oleh istri Mbah Priyo dan anak gadisnya.

"Bu, kompornya sudah siap, bikin kopi ya!"

Putri Mbah Priyo menyahut, "Biar Tyas saja pak yang bikin kopi, sekalian mau ke kamar mandi."

"Dua yo Nduk!"

"Iya, Pak!"

Tyas menuju kamar mandi menyelesaikan hajatnya, setelah itu baru pergi ke dapur untuk mendidihkan air. Dua cangkir kecil disiapkan di atas meja dapur, satu dengan gula, satu lagi hanya kopi hitam. Bapaknya penikmat kopi pahit, jadi Tyas tidak perlu mengukur jumlah gula yang harus dipakai.

Pintu dapur terbuka lebar, menghadap ke arah kolam ikan. Tyas berdiri di tengah pintu, memperhatikan area rumah barunya yang berbau wangi bunga kantil kuning.

Tyas bisa melihat orang lalu lalang di jalan dari pintu dapur, juga menyadari di sudut pagar ada mata yang memperhatikannya. Mungkin tetangganya yang penasaran.

Gadis itu tidak memperdulikan aksi mengintip yang dilakukan tetangga. Wajar mereka melongokkan kepala ingin tau setelah sekian lama rumah itu kosong. Terlebih yang mengintip adalah seorang pria. Ya, pria itu menatapnya dengan bola mata tidak pada posisi tepat di tengah. Seperti orang yang memiliki kelainan.

Tyas kembali ke dalam karena suara air mendidih mulai terdengar. Setelah menyeduh, dia segera membawa minuman pesanan bapaknya ke teras.

Barang-barang sudah masuk ke dalam rumah semua, hanya tinggal menunggu penataan. Matahari sudah condong ke arah barat, menandakan sore segera tiba.

Sedari siang, Mbah Prio, istri dan putrinya sudah sibuk merapikan barang di dalam rumah dan masih belum selesai. Pindah rumah memang selalu melelahkan, tapi ada senyum puas di bibir Mbah Priyo karena bisa menyediakan rumah yang lebih besar untuk keluarganya.

Mas Gun, putra Pak Karman siang tadi juga datang, tapi hanya menemani sebentar. Setelah menyelesaikan semua transaksi jual beli, beliau langsung pulang dengan alasan tidak ingin mengganggu kesibukan Mbah Priyo dan keluarga.

Di dalam rumah, setelah mondar-mandir beberapa kali dan melihat keseluruhan ruang yang ada, anak gadis semata wayang Mbah Priyo akhirnya memilih ruang pribadinya yang berhadapan dengan kamar orang tuanya. Tyas menolak kamar yang lebih besar karena lokasinya agak di belakang.

Mungkin beberapa bulan lagi kalau Tyas sudah terbiasa dengan rumah barunya, dan kalau sudah benar-benar kerasan dia berniat pindah ke kamar yang lebih luas.

"Kamarmu kecil kalau disini, Nduk! Apa nggak sumpek kamu nanti?" Mbah Priyo berucap kurang setuju. Beliau membeli rumah itu agar putrinya bisa memiliki kamar yang lebih luas daripada sebelumnya.

"Tapi kamar yang besar kejauhan dari kamar bapak sama ibu, Tyas masih agak takut!" jawab Tyas manja.

"Halah, takut opo toh?" tanya Mbah Priyo dengan senyum sayang.

"Rumahnya besar, Pak! Sepi lagi." Tyas memasang wajah memelas saat menjawab bapaknya. Sebenarnya Tyas bukan gadis penakut, terbiasa dengan sesuatu yang berbau mistis karena pekerjaan bapaknya.

"Besok biar ibumu cari asisten rumah tangga buat bantu-bantu di rumah ini, ibumu pasti capek kalau harus menyapu sendiri, biar rumah juga nggak terlalu sepi karena kita cuma bertiga."

Tyas tersenyum senang, "Ya sudah Tyas mau beresin kamar dulu kalau gitu, Pak!"

Mbah Priyo mengusap bahu putrinya sembari menatap teduh. "Ya, istirahatlah! Kamu pasti juga kelelahan!"

Kamar berukuran sedang dengan dinding berwarna putih bersih itu belum ada hiasan satupun yang menggantung. Belum ada tukang datang yang membantu mereka. Kabarnya beberapa orang yang sebelumnya bekerja merenovasi rumah dalam kondisi kelelahan, beberapa juga kurang sehat, sehingga tidak bisa membantu keluarga Mbah Priyo di hari pindahan.

Di dalam kamar, Tyas membereskan barang pribadinya dan menata kamar sesuai seleranya. Warna putih sudah mulai didominasi dengan warna favorit Tyas, ungu.

Tirai jendela dipasang sendiri dengan bantuan kursi. Kurang pas, tapi Tyas puas. Setidaknya kamarnya ada penutup yang mengamankan dirinya jika sedang melakukan aktivitas di dalam kamar. Seperti saat berganti baju misalnya.

Contohnya saja sekarang, tetangganya itu beberapa kali terlihat sengaja mengintip Tyas. Mengamati pergerakan Tyas di dalam kamar sebelum tirai terpasang.

Tyas merasa sangat lelah setelah cahaya senja menghilang dari jendela kamar. Dia menutup daun jendela dan merapatkan tirainya, mengandalkan lampu temaram di dalam kamar untuk menemani lelahnya.

Detak jam dinding menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam kamar Tyas. Televisinya belum dipindahkan ke dalam kamar karena banyaknya barang yang harus dibereskan lebih dulu. Tyas menghela nafas berat, sangat sepi dan mencekam.

Tyas keluar kamar untuk membasuh tubuh sekenanya. Kamar mandi ada di bagian belakang rumah, dan Tyas belum terbiasa dengan situasi lengang dalam rumah besarnya.

Masih terlalu sore untuk pergi tidur, jadi Tyas hanya merebahkan tubuh yang lelah di atas ranjang baru dan bermain-main dengan ponsel, menghubungi pacarnya. Namun, lelah tidak dapat ditoleransi. Tyas terlelap dengan ponsel masih hidup dalam mode panggilan video.

BRAK!!!

Tyas tersentak kaget, daun jendela terbuka dengan keras dan tirai tersibak seirama dengan angin kencang yang menerobos masuk ke dalam kamarnya.

WUS!!!

Angin dingin menyapu kulit putih Tyas, mengantarkan percik kecil air karena hujan turun dengan deras di luar. Sesekali kilatan cahaya menerangi bagian kolam yang lurus terlihat dari jendela kamar.

Tyas beranjak dari ranjangnya, pikirannya masih linglung untuk mengingat apakah dia tadi sudah menutup jendela atau tertidur dengan kondisi jendela seperti itu?

Dengan langkah gamang, Tyas menutup jendela dan menguncinya. Merapatkan kembali tirai yang sedikit tersibak agar matanya tidak berkelana ke arah kolam. Tyas juga menutup pintu kamar yang terbuka, padahal tadi Tyas merasa sudah menutupnya sebelum dia naik ke tempat tidur. Pikiran Tyas hanya menduga kalau ibunya yang melakukan itu karena mendapati putrinya tidur kelelahan tanpa makan malam.

Waktu baru menunjukkan jam sembilan malam. Suara gemuruh dan gelegar di luar rumah membuat Tyas enggan pergi ke dapur untuk mengisi perut. Cahaya kilat yang samar terlihat dari tirai juga menakutinya. Tyas kembali ke ranjang dan mengeluhkan keadaan.

Kenapa Mbah Priyo sebagai bapak tidak mendengar pendapatnya soal pemilihan tempat tinggal? Tyas memang kurang setuju bapaknya membeli rumah tersebut, ada firasat tidak baik yang terus saja terlintas dari sejak pertama kali datang. Tyas tidak bisa menyampaikan perasaan tidak nyamannya karena bapaknya selalu bisa mematahkan semua argumennya.

Tyas menyelimuti tubuhnya, berusaha untuk kembali tidur. Tapi matanya tidak mau terpejam sedikitpun, jendelanya seolah diketuk perlahan dari luar. Teratur dan berulang-ulang.

***

Terpopuler

Comments

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

serem pi pnsrn

2023-04-19

2

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

nduk?🤔

2023-04-19

1

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

mrinding lembut

2022-10-24

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!