Rongpuluh

Kabut tipis menyelimuti halaman depan rumah Purbo, meski hari telah siang. Bahkan matahari seakan sudah pasrah untuk menjatuhkan sinarnya. Suasana gelap menjadi pemandangan yang sudah lazim, juga hawa dingin menusuk kulit meski tak ada rintik hujan turun.

Siang ini Purbo berjongkok di halaman depan rumah. Dia menggali tanah yang cukup gembur di bawah pohon mangga yang menjulang tinggi. Ada beberapa buah mangga yang terlihat semburat kuning di bagian luarnya.

Purbo mengusap peluh di dahinya. Dia merasa lelah. Cukup banyak lubang yang telah dibuatnya di beberapa titik halaman rumah. Purbo berniat untuk menanam jahe dan empon empon lainnya, mengingat kebutuhan untuk jenis tanaman itu cukup tinggi.

Dini memperhatikan suaminya itu dari teras rumah. Dia duduk di ujung teras dengan kakinya yang menjuntai ke tanah. Sesekali perempuan manis dengan tahi lalat di hidung itu, mengayun ayunkan kakinya.

"Buat apa sih Mas menanam jahe se banyak itu?" tanya Dini sambil tersenyum.

"Ya siapa tahu laku. Kan semua orang suka wedang parem Yang. Ketika selera konsumen mengalami kenaikan sudah tentu memicu kenaikan permintaan. Empon empon bahan baku dari wedang parem, peluang bisnis nih," jawab Purbo. Dini hanya manggut manggut.

Purbo kembali merasa aneh dan heran dengan isi pikirannya. Bukankah dia adalah seorang seniman lukis? Namun, otaknya seperti penuh dengan pengetahuan dan teori ekonomi.

"Yang, aku dulu lulusan apa?" tanya Purbo. Dia masih melubangi tanah menggunakan sebatang linggis.

Tak ada jawaban dari Dini. Purbo akhirnya menoleh, dan tidak menemukan Dini di tempatnya semula. Purbo mengedarkan pandangan, Dini sudah tidak ada di teras depan. Mungkin saja istrinya itu pergi ke kamar atau dapur.

"Yahh, ngomong sendiri deh," gumam Purbo sambil geleng geleng kepala.

Purbo terus menggali hingga linggisnya terasa menghantam sesuatu di dalam tanah.

Dug dug dug

Purbo mengetuk ngetuk benda di ujung linggisnya itu.

"Apa nih?" Purbo mengernyitkan dahi.

Purbo terus menggali dan akhirnya terlihat sebuah benda kotak seukuran kardus tempat sepatu, terbuat dari papan kayu. Kotak itu sepertinya belum terlalu lama terkubur disana.

Purbo mengangkat dan mengeluarkan kotak itu dari dalam tanah. Ada sebuah gembok berkarat di bagian samping kotak, yang terkunci dengan sangat rapat. Seakan ada benda berharga tersimpan di dalamnya.

"Jangan jangan harta karun nih," gumam Purbo dengan mata berbinar.

Purbo memukul mukul gembok dengan ujung linggis yang runcing. Beberapa kali Purbo menghantamnya sekuat tenaga. Namun karena karat yang menempel sangat tebal, gembok cukup sulit untuk terlepas.

Braakkk

Akhirnya gembok pecah dan terbukalah kotak kayu itu. Purbo menumpahkan isi kotak kayu ke tanah. Di dalam kotak ternyata terdapat dua potong pakaian perempuan, sebuah arloji kecil berwarna hitam dan selembar foto yang terlihat buram.

"Kenapa mengubur benda seperti ini? Apa mungkin Dini ingin membuat kapsul waktu? Ada ada saja," Purbo terkekeh. Merasa tertipu karena awalnya dia berharap akan menemukan harta karun di dalam kotak.

Purbo mengamati kemeja lusuh dan sepotong celana model cutbray di hadapannya. Ada aroma kapur barus yang menyengat.

"Model baju tahun 2000 an," gumam Purbo.

Dia juga melihat dan membolak balik arloji yang ternyata buatan luar negeri. Sayangnya arloji itu sudah tidak berdetak. Jarum pendeknya berhenti di angka 9, sementara jarum panjangnya menunjuk tepat angka 12.

Purbo beralih mengamati selembar foto yang sudah nampak buram. Dia meniup niup debu yang menempel di foto itu. Samar samar terlihat gambar seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda mengenakan baju yang sama dengan model dan warna baju lusuh di hadapan Purbo.

Purbo menyipitkan matanya, mencoba memastikan foto siapa itu. Namun sayang, pada bagian wajahnya terlihat buram dan berjamur. Kalau dilihat dari postur dan tinggi badannya, perempuan dalam foto itu bukanlah Dini.

"Aneh," bisik Purbo. Dia melipat foto itu dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Tak selang beberapa lama, Dini nampak berjalan mendekati Purbo. Dia membawa secangkir wedang parem di tangannya. Saat melihat kotak kayu di hadapan Purbo, tangan Dini langsung gemetar hebat.

Praangg

Cangkir di tangan Dini jatuh, menumpahkan wedang parem yang berwarna ke cokelatan itu. Purbo segera melompat memegangi tubuh Dini yang hampir ambruk ke tanah.

"Kamu kenapa Yang?" tanya Purbo khawatir.

"Aku sedikit pusing Mas," ucap Dini lirih.

"Antarkan aku ke kamar," pinta Dini. Pandangannya tak lepas dari kotak kayu dengan isinya yang berantakan di halaman rumah.

Purbo segera menggamit lengan Dini, dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam kamar, Dini langsung merebahkan badannya di ranjang.

"Mak Nah belum balik ya?" tanya Purbo. Dini menggeleng pelan.

"Kamu perlu apa? Air hangat? Biar kuambilkan," Purbo sedikit panik.

"Nggak Mas. Kamu duduk saja disini," jawab Dini dengan senyumnya yang terlihat lesu.

"Kamu kenapa tiba tiba lemes gitu sih Yang?" tanya Purbo sambil memijat mijat lengan Dini. Kulit istrinya itu kembali terasa dingin.

"Nggak pa pa Mas. Mungkin butuh tidur saja kok," jawab Dini berusaha menenangkan Purbo.

"Kita ke dokter ya? Biar aku panggilkan warga untuk membopongmu ke mobil," usul Purbo.

"Mana nih Mak Nah? Belum balik juga. Kasihan kalau kamu aku tinggal sendirian di rumah," Purbo terlihat makin gusar.

"Hey sudahlah Mas. Aku nggak pa pa. Beneran deh. Aku nggak mau kemana mana. Pokoknya kamu disini saja di dekatku," Dini merengek manja, memegangi lengan suaminya yang kekar itu.

"Hmmm, kondisimu tiba tiba drop Yang. Aku takut kamu kenapa napa," Purbo menciumi punggung tangan Dini yang nampak putih pucat.

"Nggak Mas. Orang hamil tuh emang kayak gini. Kamu jangan heboh deh," Dini terkekeh.

"Hmmm, Mak Nah kemana juga nggak balik balik. Heran," gerutu Purbo.

"Ya dia kan sedang di rumah majikannya yang lama Mas. Biarkan saja lah," sahut Dini.

"Maksudmu? Mak Nah dulu rewangnya Mbah Modo?" tanya Purbo penasaran.

"Iya. Sebelum pindah kesini Mak Nah itu tangan kanannya Mbah Modo," jelas Dini.

"Ohhh. Ngomong ngomong aku tadi nemu kotak kayu di halaman depan. Kupikir harta karun, ternyata isinya benda benda nggak penting. Itu benda benda jadul milikmu ya Yang?" tanya Purbo dengan sedikit tersenyum. Dia masih memijat mijat lengan istrinya itu.

"Eh Mas, tolong ambilkan aku air minum. Yang hangat ya," sela Dini tiba tiba.

"Ah, baik Sayang," Purbo mencolek dagu Dini dan segera berdiri.

Purbo beranjak ke dapur. Dia memeriksa air di termos yang tergeletak di atas meja. Ternyata kosong. Tak ada air panas di dalam termos.

"Ah, sial! Apa sih kerja Mak Nah? Air panas saja nggak ada!" gerutu Purbo kesal.

Purbo menyambar panci yang tergantung di dinding dapur dan segera menyalakan kompor. Dia merebus air sambil menggerutu penuh kekesalan pada pembantunya yang tak jua kembali dari rumah sang kepala desa.

Bersambung____

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

untung ada kompor. jadi nggak ribet nyalain kayu..

2025-01-22

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

pasti itu pendeman si dini palsu...supaya Purbo ingat dia sebagai istrinya

2024-02-09

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

apa tuh

2024-02-09

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!