Pasar desa terlihat cukup ramai pagi ini. Namun warung kopi angkringan tempat Purbo kemarin dicekoki minuman aneh, ternyata hari ini tutup. Tak nampak juga Ceking yang biasanya nongkrong di area pasar.
"Warung kopi yang kemarin kok tutup?" gumam Purbo. Dini diam saja tak menyahut.
"Kamu mau ngopi Mas?" tanya Dini kemudian.
"Ya nggak juga sih. Tadi katanya kamu lapar? Apa nggak mending nyari makan disini saja, di rumah Mak Nah belum masak kan?" tanya Purbo, yang dibalas anggukan kepala oleh Dini.
"Ayo ikut aku Mas kalau gitu," ajak Dini sambil menarik lengan Purbo.
Dini mengajak Purbo menyusuri pasar, kemudian masuk di sebuah gang kecil. Ada sebuah kios berdiri sederhana di dalam gang. Kain putih terbentang di bagian depan kios bertuliskan Rawon dan balungan.
Asap putih mengepul menghasilkan aroma wangi semerbak. Aroma rempah rempah dan bumbu kuah rawon yang ada di sebuah dandang besar saat diaduk membuat jakun Purbo naik turun menelan ludah.
"Harum banget," ucap Purbo.
"Yuk masuk," ajak Dini. Purbo mengangguk setuju.
Penjual rawon adalah seorang perempuan cantik yang terlihat masih muda. Rambutnya hitam lurus dikuncir kuda. Jari jemari yang lentik nampak cekatan menuangkan kuah rawon yang hitam dengan potongan tulang yang besar besar.
"Selamat datang Mbak," Penjual rawon menyapa Dini dengan hangat. Dia terlihat begitu akrab dengan istri Purbo itu.
"Kamu kenal?" tanya Purbo berbisik.
"Semua juga kenal Mas. Kamu saja yang lupa. Namanya Mbak Ajeng," tukas Dini.
"Selamat pagi Mas, silahkan duduk," Mbak Ajeng tersenyum pada Purbo.
Purbo membalas tersenyum dan mengangguk sebentar. Kemudian dia memilih tempat duduk di pojok warung. Sementara Dini nampak berbincang bincang dengan penjual rawon itu.
"Ya ampun Mbak, sehat sehat ya dedek bayi dan ibunya yang cantik?" tanya Mbak Ajeng sumringah.
"Sering nendang nendang si dedek. Aktif banget," jawab Dini dengan mata berbinar.
"Mbak mau pesen apa? Spesial untuk bumil tak gratisin deh," Mbak Ajeng mengelus elus perut Dini.
"Baiknyaa, jadi nggak enak nih," ucap Dini malu malu.
"Spesial buat si dedek Mbak, biar ikut nyicip masakan rawon paling enak di desa Ebuh. Mbak duduk saja deh, pokoknya tak siapin yang spesial," tukas Mbak Ajeng.
Dini mengangguk setuju. Dia duduk di sebelah Purbo yang termenung melamun.
"Mas lagi mikirin apa?" tanya Dini saat melihat Purbo yang diam saja menopang dagu.
"Ah, nggak. Sedang kepikiran saja dengan kondisiku yang masih lupa dengan segalanya. Sekuat apapun aku berusaha mengingat semua, hanya tabir hitam pekat yang ada disana. Kalau saja tak ada kamu, mungkin aku sudah pergi dari tempat ini," ucap Purbo sambil memijat mijat kepalanya sendiri.
"Kamu nggak betah tinggal di desa Ebuh?" tanya Dini penuh selidik.
"Entahlah. Terlalu banyak hal aneh disini. Lagipula aku butuh seorang dokter Din. Dan kamu malah membawaku pada seorang dukun," Purbo menghela nafas.
Dini diam saja. Dia mengusap rambut Purbo dengan lembut.
"Mas? Apakah salah jika aku menginginkan kebahagiaan bersamamu?" tanya Dini lirih. Tatapan matanya terlihat sendu.
"Apa maksudmu Sayang? Kamu layak bahagia. Dan aku wajib membuatmu bahagia," ucap Purbo bersungguh sungguh.
"Kalau begitu, kumohon jangan menyiksa dirimu untuk mengingat sesuatu yang sudah kamu lupakan. Kita melangkah ke depan bersama Mas. Tak usah hiraukan yang ada di belakang," pinta Dini. Matanya berkaca kaca.
Purbo meraih tangan Dini, menggenggamnya dengan erat. Dia menahan diri untuk tidak mendebat perkataan istrinya itu. Dalam hati Purbo sulit sependapat dengan Dini. Bagaimana mungkin bisa melangkah ke depan tanpa ada masa lalu? Hidup bukan hanya soal melupakan, tapi sebuah kenangan tetap menjadi bagian yang harus ada agar bisa melangkah tanpa ada penyesalan.
"Silahkan Mas Mbak," seorang laki laki yang terlihat seumuran dengan Purbo meletakkan dua piring rawon dan satu mangkok balungan di atas meja.
"Minumnya apa Mas, Mbak?" tanya laki laki berambut keriting itu dengan senyuman yang sumringah.
"Wedang parem dua," jawab Dini cepat. Pelayan laki laki itu beringsut mundur.
"Itu suaminya mbak Ajeng Mas. Namanya Mas Jasman," ucap Dini sambil menuangkan 1 sendok sambal di piringnya.
"Ohh, agak jomplang ya. Mbak Ajengnya cantik, suaminya kurang charming," seloroh Purbo.
"Jadi begitu," Dini melirik Purbo dengan sinis.
"Hah? Apanya?" Purbo bertanya tak mengerti.
"Jadi sekarang Mas sudah berani muji muji perempuan lain di hadapanku ya," Dini memelintir lengan Purbo yang berotot.
"Auuwwww, Yang Yang, nggak gitu maksudnya," Purbo meringis salah tingkah.
"Terus maksudnya apa? Hmmm?" Dini tersenyum mencibir Purbo.
"Ya kan aku cuma ngomong Mbak Ajeng cantik tapi suaminya kurang ganteng. Bukan berarti kamu nggak cantik atau kalah cantik Yang. Kamu tetap the best forever together after muter muter," Purbo terkekeh mencoba melucu.
"Iihhh, mata itu dijaga Mas," ucap Dini sewot.
"Iya Yang. Nanti tak nyewa centeng buat nge jaga mataku," Purbo tertawa. Dini melengos.
Menit berikutnya Jasman kembali membawa nampan dengan dua gelas wedang parem di atasnya. Jasman tersenyum dan mengangguk menatap Purbo. Sebuah perlakuan yang cukup ramah, mengingat warga lain di desa Ebuh terasa acuh pada Purbo.
"Kelihatannya Jasman orang baik. Atau jangan jangan dulu dia temanku Yang, hanya saja aku lupa mungkin," ucap Purbo setelah Jasman pergi.
"Semua warga desa baik kok Mas. Disini tuh tenang dan damai. Tak ada tempat lain yang lebih baik dari desa Ebuh," jelas Dini.
"Ngomong ngomong, kenapa pesananmu wedang parem? Enak sih enak, tapi kan sekali kali pengen dong ganti es teh gitu," ucap Purbo mem protes.
"Lihat sekelilingmu Mas," sahut Dini.
Purbo mengedarkan pandangan. Semua orang di warung itu, memesan wedang parem. Tak ada minuman lain di meja.
"Wedang parem itu sudah menjadi minuman khas di desa Ebuh. Lagipula rasanya enak kan," pungkas Dini. Purbo hanya mengangguk pelan.
Untuk kesekian kalinya, Purbo merasa aneh. Jika memang hanya ada wedang parem, untuk apa Jasman bertanya minuman apa yang diinginkan oleh pelanggannya. Lagipula, tidak wajar jika semua orang hanya menginginkan wedang parem setiap waktu.
"Kok melamun Mas? Ayok segera dimakan, nanti keburu dingin jadi kurang nikmat," ajak Dini.
Purbo tersenyum sekilas. Dia menyesap kuah rawon yang menurut Dini paling enak itu. Sensasi hangat dan wangi rempah rempah membuat Purbo cukup kaget. Asin gurihnya benar benar pas.
"Gimana? Enak kan Mas?" tanya Dini melihat suaminya makan dengan lahap.
"He em," Purbo mengangguk dengan mulutnya yang penuh kuah rawon.
Rawon yang benar benar nikmat. Selain kuahnya yang gurih, potongan dagingnya pun terasa benar benar nikmat. Sedikit kenyal dengan serat daging yang halus. Purbo sangat menikmati menu sarapannya pagi ini.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Yuli a
tumben enak... biasanya selalu beda rasanya...
2025-01-22
1
Zuhril Witanto
takut bukan rawon beneran
2024-02-09
1
Zuhril Witanto
kok jadi serem ya...takut daging manusia 😱
2024-02-09
1