Suara kokok bekisar sayup sayup terdengar, menyadarkan Purbo dari tidur lelapnya. Purbo terbangun dan langsung duduk di atas ranjang yang beraroma wangi bunga kantil itu. Dia mengusap usap matanya yang masih terasa berat.
Beberapa kali Purbo menguap, kemudian meraih HP yang tergeletak di atas bantal tidurnya. Sudah jam 7 pagi. Kaca jendela kamar masih terlihat gelap. Sinar matahari tak sanggup menembus tebalnya kabut desa Ebuh.
Indera penciuman Purbo mengendus aroma sirih menyengat. Dia meraba wajahnya, dan menemukan serpihan serpihan daun sirih memerah di pipi. Purbo melompat dari tempat tidur, menatap cermin buram di meja rias.
"Apa ini?" pekik Purbo menyadari wajahnya berwarna merah tua.
"Itu obat dari Mak Nah Mas," sahut Dini tiba tiba. Perempuan itu membawa nampan berisi satu cangkir besar minuman.
"Obat?" Purbo mengernyitkan dahi.
"Kamu kemarin sore tiba tiba jatuh sakit Mas. Di 'suwuk' sama Mak Nah, akhirnya sembuh," jawab Dini sambil meletakkan cangkir besar yang dibawanya, ke atas meja rias.
"Kok bisa gitu Yang? Aku kenapa?" tanya Purbo bingung.
"Kata Mak Nah, kamu kena guna guna Mas," jelas Dini.
Purbo tak puas dengan jawaban istrinya. Apa kesalahannya hingga harus disakiti orang lain dengan cara seperti itu? Ataukah dia memiliki musuh?
"Terlalu banyak hal aneh yang terjadi padaku dari kemarin," Purbo memegangi kepalanya.
"Bahkan ingatanku tentang hidup ini dimulai dari kemarin siang. Hari hari sebelumnya gelap, aku . . .aku tak bisa mengingat apapun Yang," keluh Purbo tertunduk lesu.
"Tenanglah Mas. Minum wedang paremnya agar badanmu lebih segar," Dini memijat mijat bahu Purbo.
Purbo menurut, mengambil cangkir besar di hadapannya. Kepulan asap hangat berhembus di tengah dinginnya udara pagi. Purbo kemudian menyeruput wedang parem, mencecapnya sebentar dan menoleh pada Dini.
"Wedang ini bener bener enak, juga nyaman di perut," puji Purbo.
Kembali Purbo meneguk wedang parem hingga tandas. Terdengar suara sendawa setelahnya. Dini geleng geleng kepala melihat tingkah suaminya itu.
"Buatan Mak Nah ya Yang?" tanya Purbo, meletakkan cangkir kosong ke atas nampan.
"Iya. Resep turun temurun," jawab Dini sambil tersenyum.
"Kenapa nggak bikin warung minuman saja. Pasti laris," ucap Purbo antusias.
"He he he, Itu resep rahasia Mas. Tidak diperjualbelikan," Dini terkekeh, bahunya yang mungil nampak bergerak naik turun.
"By the way subway anyway saturday, Mak Nah kemana? Aku mau tanya tanya nih, kok bisa aku kena guna guna?" tanya Purbo celingak celinguk.
"Mak Nah sedang pergi," jawab Dini singkat.
"Pergi kemana?" Purbo terus bertanya.
"Ya belanja Mas. Di kampung sana," jawab Dini agak jengkel.
"Emmm, aku tak ke kampung deh kalau gitu," sahut Purbo.
"Hah? Ngapain Mas?" Dini terbelalak kaget.
"Ya mau nyusul Mak Nah, sekalian mau lihat lihat kampung. Siapa tahu kan aku jadi ingat sesuatu gitu. Kita kan manusia, makhluk sosial. Jadi butuh juga bersosialisasi," ucap Purbo tersenyum.
"Tapi Maasss," Dini nampak bingung.
"Apa Yang? Bener kan? Kita manusia, perlu dan butuh untuk bersosialisasi. Atau jangan jangan, kamu bukan manusia jadi nggak butuh bersosialisasi gitu? Ha ha ha," Purbo tertawa renyah.
Dini tertunduk menghela nafas. Purbo berhenti tertawa saat melihat gelagat istrinya yang jadi aneh.
"Hei hei, aku becanda Sayang. Kok jadi kayak sedih gitu kamunya," Purbo berjongkok memegangi pinggul Dini.
"Aku kan sendirian Mas di rumah. Mau ikut kamu, tapi takut capek," Dini menatap Purbo yang berjongkok di hadapannya.
Purbo mencium perut istrinya sambil tersenyum.
"Bukannya jarak rumah ini ke kampung nggak terlalu jauh to Yang?" tanya Purbo.
"Ya 100 atau 200 an meter mungkin," jawab Dini mengingat ingat.
"Nah, ayuk ke kampung sekalian jalan jalan Yang. Bukannya bagus ya kalau lagi hamil, olahraga ringan seperti jalan jalan gitu?" Purbo memainkan kedua alisnya menatap Dini.
Dini hanya bisa menghela nafas. Keinginan Purbo sulit untuk dibantah.
"Pake jaket tapi, hawa dinginnya ini lho," Dini mengalah.
"Asyikk," Purbo nampak girang.
Purbo segera berlari ke kamar mandi. Awalnya dia semangat untuk mencuci muka, namun saat dia teringat bisikan aneh kemarin sore, rasa takutnya muncul kembali. Dengan terburu buru dan kasar, Purbo menggosok wajahnya. Secepat kilat gosok gigi dan segera berlari kembali ke kamar.
Dini tertawa terpingkal pingkal saat melihat wajah Purbo yang baru kembali dari kamar mandi. Nampak beberapa tetes sabun, juga busa pasta gigi menempel di bulu bulu tipis janggut suaminya itu.
"Kenapa Yang?" tanya Purbo penasaran.
"Ha ha ha ha, wajahmu itu lho Mas. Kenapa cemong gitu. Cuci muka bukannya bersih, malah kayak cosplay kakek kakek berjenggot putih. Kamu bukan anak kecil lagi Mas. Duh," Dini tertawa kencang. Perutnya yang besar nampak berguncang guncang. Dini sudah siap untuk pergi, mengenakan sweater rajut warna ungu.
Purbo terbengong bengong meraba janggutnya. Benar saja, sabun dan busa belepotan di pipi dan dagu. Karena rasa takutnya yang nggak jelas tadi, Purbo kurang bersih saat membasuh muka.
Dini mengambil tissue. Dengan cekatan, dia mengelap dan membersihkan busa yang menempel di dagu Purbo. Wajah pasangan suami istri itu berdekatan. Purbo mengamati bola mata Dini yang bening dengan bulu mata yang panjang lentik.
Perlahan Purbo menempelkan telapak tangannya di pipi Dini. Terasa halus dan sejuk. Entah kenapa Purbo merasa suhu tubuh istrinya itu terlampau dingin. Tangan Purbo berpindah, kini memegangi dagu istrinya yang cantik. Dini hanya diam saja tak berkedip. Membalas tatapan mata Purbo yang tajam menusuk. Tatapan mata seorang laki laki yang begitu dia sukai.
Purbo menarik lembut dagu istrinya. Menyentuhkan bibirnya pada bibir merah merona Dini. Saat Purbo mendaratkan kecupan itu, bibir Dini benar benar terasa dingin beku. Kecupan yang entah bagaimana terasa hambar, tak terasa getaran getaran yang Purbo harapkan.
"Emmm, tubuhmu kok dingin banget Yang? Kamu sakit?" Purbo kembali menempelkan tangannya di pipi Dini.
"Ah enggak Mas. Suhu tubuhku memang selalu seperti ini kok. Hmmm, ternyata kamu juga lupa tentang kondisi tubuhku," sambung Dini menarik tangan Purbo dari pipinya.
Dini mengambil jaket yang sudah dia siapkan dan memakaikannya pada Purbo. Jaket bomber berwarna hijau army, nampak cocok dikenakan Purbo yang berbadan tegap dan atletis.
"Ayuk kita segera jalan Mas. Katanya mau lihat lihat kampung, jadi Ndak?" tanya Dini sambil tersenyum.
"Iya, ayuk," balas Purbo ikut tersenyum.
Purbo dan Dini keluar rumah setelah menutup semua jendela, juga tak lupa mengunci pintu depan. Udara pagi benar benar terasa dingin di luar rumah. Kabut nampak tebal menghalangi pandangan. Sedangkan embun menempel di dedaunan, sesekali airnya yang bening menetes ke permukaan tanah.
Dini menggenggam erat tangan suaminya. Berjalan beriringan menuju pemukiman warga Desa Ebuh. Pemukiman yang terletak di tengah area hutan.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Yuli a
coba sholat deh., jangan ngomong sama dini kalau mau sholat.
bener bukan manusia kayaknya..
2025-01-22
1
Zuhril Witanto
bener...dini mencurigakan... kayaknya bukan manusia
2024-02-08
1
bunga cinta
nah kaann
2024-01-31
1