Sepuluh

Rumpun bambu di halaman belakang rumah Dini terlihat berayun ayun tertiup angin. Daunnya yang kering menguning jatuh berguguran. Beberapa tunas baru nampak bermunculan dari dalam tanah.

Mak Nah berdiri bersedekap menatap Dini. Raut wajahnya terlihat kesal dan kecewa. Sedangkan Dini tengah gusar, menggigiti kuku ibu jarinya sendiri.

"Suami njenengan dimana?" tanya Mak Nah lirih.

"Di teras depan Mak, minum wedang parem," jawab Dini lugas.

"Seharusnya njenengan melarang Tuan Purbo keluar. Ini baru hari kedua dari 40 hari yang diperlukan," Mak Nah melotot tajam.

"Aku nggak bisa mencegahnya Mak. Mas Purbo ngeyel minta jalan jalan. Aku tak punya alasan yang tepat untuk menolak," sergah Dini membela diri.

"Untung njenengan ketemu dengan saya," Mak Nah geleng geleng kepala.

"Terus, si Ceking tadi gimana Mak? Nggak niat nge ganggu kan?" tanya Dini cemas.

"Tadi sudah kuingatkan dia agar tidak ikut campur. Kupikir takkan jadi masalah. Dia takkan berani macam macam lagi, atau mbah Modo yang akan langsung membuangnya," ucap Mak Nah meyakinkan.

"Jadi misal besok besok dia mau ke kampung lagi, sudah aman," lanjut Mak Nah.

Terdengar suara langkah kaki di bagian dapur. Mak Nah dan Dini langsung terdiam. Ternyata Purbo datang membawa gelas yang sudah kosong. Dia menengok halaman belakang saat tidak menemukan siapapun di dapur.

"Ini diletakkan dimana Yang?" tanya Purbo.

"Njenengan letakkan depan kamar mandi saja Tuan. Nanti biar saya yang beresin," jawab Mak Nah, kemudian berjalan tergopoh gopoh menyusul Purbo.

Selepas gelas kotor bekas parem diambil alih oleh Mak Nah, Purbo bergegas ke halaman belakang untuk menemui istrinya.

"Lagi apa Yang?" tanya Purbo sambil tersenyum.

"Ini Mas. Mau jemur baju sama sprei," jawab Dini menunjuk keranjang cucian di belakangnya.

"Kok nggak Mak Nah saja sih?" Purbo terlihat jengkel.

"Tadi juga Mak Nah yang jemur. Terus aku yang minta untuk bantuin. Toh cuma gini doang Mas, nggak bakal bikin capek juga," kilah Dini.

"Kamu tadi kan udah capek tak ajak jalan jalan ke pasar Yang. Sebaiknya kamu istirahat deh. Biar aku saja yang jemur. Kamu kembali ke kamar gih," Purbo memberi perintah.

Dini tiba tiba saja memeluk Purbo. Mendaratkan kecupan kecupan mesra di pipi suaminya itu. Bibirnya yang tipis terasa sangat dingin, membuat tengkuk Purbo sedikit merinding.

"Apa nih cium cium?" tanya Purbo sambil tersenyum.

"Kenapa? Nggak mau dicium?" Dini balik bertanya, memasang wajah cemberut.

"Ya mau saja sih. Tapi aku khawatir," ucap Purbo membelai rambut panjang perempuan yang ada di dekapannya itu.

"Khawatir apa?" Dini mengernyitkan dahi.

"Ya khawatir. Biasanya kan kalau perempuan mulai mesra dan manja tuh pasti lagi ada maunya," tukas Purbo. Dia memainkan kedua alis, ekspresinya terlihat menyebalkan.

"Yeee, teori darimana itu Mas. Iihh," Dini mencubit perut Purbo. Memelintirnya cukup kencang saking gemasnya.

"Aauuwwww," pekik Purbo kesakitan.

"Aku tuh seneng tauk. Seneng diperhatiin sama kamu," sekali lagi Dini mendekap Purbo dengan erat.

Purbo tersenyum, membalas pelukan istrinya. Beberapa saat lamanya mereka berdua saling mendekap dalam diam. Kebahagiaan dalam berumahtangga memang tidak hanya ditentukan oleh materi semata. Memperhatikan pasangan meskipun dalam hal hal sepele, nyatanya sudah mampu membuat hati terasa hangat dan bahagia.

"Kamu beneran bisa jemur ini semua sendirian?" tanya Dini setelah beberapa saat terdiam.

"Bisa kok. Bisa, tenang. Serahkan semuanya padaku," jawab Purbo melepas pelukan, dan menepuk nepuk dadanya sendiri.

"Hilih, dasar sok," Dini tersenyum geli melihat tingkah suaminya.

"Ya uwes nek gitu. Aku tak bersantai di kamar ya Mas. Jemur spreinya yang bener. Jangan dijatuhin, nyucinya susah lho itu," pesan Dini sambil tersenyum.

"Iya iya, bawel ah. Huuss sana huss huss," Purbo mengibas ibaskan tangannya, seakan tengah mengusir istrinya itu.

Dini tertawa dan melangkah masuk ke dapur. Meninggalkan Purbo sendiri di halaman belakang.

"Kalau kabut kayak gini, kapan keringnya? Mana sprei lebar banget," gerutu Purbo sendirian. Dia membentangkan sprei dengan motif pulkadot itu ke atas tali jemuran yang terbuat dari kabel bekas.

Angin berhembus cukup kencang, rumpun bambu di belakang Purbo berayun ayun tak beraturan. Purbo menghentikan kegiatannya sejenak, menunggu angin sedikit mereda. Karena sulit juga membentangkan sprei dalam kondisi seperti itu. Salah salah sprei malah melayang dan jatuh ke tanah.

Purbo memperhatikan bambu yang saling bergesekan. Batangnya yang beradu satu sama lain, menghasilkan bunyi gemeretak yang khas. Purbo merasa perlu untuk memangkas beberapa batangnya nanti. Agar halaman belakang terlihat lebih tertata dan tak terlalu suram.

Angin kencang mulai mereda. Purbo melanjutkan kegiatan menjemurnya. Purbo bersiul siul lirih untuk mengusir kesunyian. Saat dia membentangkan celana basah pada tali jemuran, sesuatu terjatuh dari saku celana tersebut. Sebuah liontin emas yang nampak berkilauan.

Purbo berjongkok memungut liontin tersebut. Bentuknya lingkaran dengan manik manik berwarna merah di tengahnya. Sementara di bagian samping terdapat sebuah pengait kecil yang nyaris tak terlihat. Purbo menarik pengait itu dan akhirnya liontin terbuka.

Di dalam liontin itu ada sebuah foto seorang perempuan. Rambutnya bergelombang sebahu. Terlihat cantik dan manis. Entah kenapa Purbo merasakan detak nadinya berjalan lebih cepat. Siapa perempuan itu? Kenapa hati Purbo merasa dia mengenalnya? Namun sekuat apapun Purbo mengingat, satu satunya nama yang ada di benak Purbo kini hanyalah Dini.

Purbo akhirnya menutup kembali liontin itu, kemudian memasukkannya di saku baju. Tinggal satu buah sprei yang belum selesai dijemur. Sprei berwarna putih polos, berbahan katun yang terlihat lusuh.

Sprei putih itu tergulung bulat saat Purbo mengeluarkannya dari keranjang cucian. Ternyata terasa berat saat Purbo mengangkatnya. Mungkin karena terletak di bagian bawah, tertindih pakaian yang lain jadi air cuciannya terserap semua ke sprei putih itu.

"Fuuhhh," Purbo menghela nafas, kewalahan.

Dengan sekuat tenaga, Purbo melemparkan sprei putih itu ke atas tali jemuran.

Bluugggh

Terdengar sesuatu jatuh berdebum ke tanah. Purbo mengernyitkan dahi. Mengira ada pakaian lain yang terbungkus di dalam sprei. Buru buru dia mencari benda yang terjatuh tadi.

Di luar dugaan, bukan pakaian basah yang Purbo temukan. Sesuatu yang tak mungkin bisa dia lupakan tergeletak di tanah tak jauh dari tempat jemuran.

Terbalut kain putih lusuh kecokelatan, terdapat sepotong kepala manusia. Matanya terlihat menonjol menatap Purbo yang berdiri mematung. Kulit wajah yang mengelupas kemerahan, dengan sebuah senyuman di bibir nan hitam pekat.

Purbo tercekat, tak bisa berkata kata. Ingin berteriak namun pita suaranya seakan mengecil, ingin berlari namun tempurung lututnya terasa menghilang. Keringat sebesar biji jagung menetes di kening dan dahinya. Jakun tak henti hentinya naik turun, menelan ludah.

"Untuk apa kamu ada disini Nggerrr!"

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

astaga... kaget... beneran ini Purwo masuk ke kampung hantu...
itu bukan tempat manusia.
kayaknya foto yang ada di liontin itu istri Purbo yang asli. dini ini cuma terobsesi. dan ngelakuin segala cara buat hidup bersama Purwo.

2025-01-22

2

Yuli a

Yuli a

kayaknya author nya suka seprei motif polkadot. dicerita yang Ono juga seprei polkadot..😄✌️

2025-01-22

1

Rommy Wasini Khumaidi

Rommy Wasini Khumaidi

mak tratab aku maca ana sing gigal dan ternyata kepala...hiii serem amat

2024-02-23

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!