Loro

Purbo berlutut di tanah yang terasa sedikit basah. Dia menutup kedua telinga menggunakan telapak tangannya. Suara bersahut sahutan yang dibarengi sebuah jeritan melengking membuat sakit gendang telinganya.

Di dalam pekatnya kabut, Purbo seperti melihat belasan bahkan puluhan pasang mata memperhatikan, dan menatapnya dengan kebencian. Purbo menunduk memejamkan mata.

"Mas? Mas?" sebuah suara dibarengi tepukan pelan mengenai bahu Purbo yang bidang.

Perlahan Purbo membuka mata. Kabut tebal sudah menghilang. Purbo menoleh, Dini di sebelahnya dengan tatapan bingung.

"Mas, kamu kenapa sih?" tanya Dini heran.

Purbo melepas telapak tangan dari telinganya. Dia mengedarkan pandangan. Tak ada yang aneh di sekelilingnya. Hanya ada beberapa pohon mahoni dan kaliandra yang berayun ayun tertiup angin. Juga sisa sisa kabut tipis seperti helaian kapas yang beterbangan.

"Mas Purbo kenapa?" Dini kembali bertanya. Wajahnya terlihat hendak menangis. Takut dan cemas melihat tingkah aneh suaminya yang tiba tiba ambrug berlutut di jalanan.

"Ah, tadi banyak kabut. Kamu hilang Din," ucap Purbo terbata bata.

"Aku selalu di sampingmu Mas. Aku takut, Mas tiba tiba ambruk, iisshh," sambung Dini, dia memegangi perutnya sambil meringis.

"Kamu nggak pa pa sayang?" Purbo segera berdiri, merangkul istrinya.

"Perutku nggak nyaman. Ini gara gara Mas, anak kita jadi takut nih," gerutu Dini sambil mendaratkan beberapa cubitan di lengan Purbo.

"Maaf ya sayang. Kita balik ke dokter lagi saja ya?" tanya Purbo gusar. Khawatir dengan keadaan istrinya.

"Sudah pulang saja. Udah biasa nih, si dedek mungkin protes karena Bapaknya bertingkah aneh hari ini," sahut Dini mengelus elus perutnya.

"Baiklah, aku nurut apa katamu saja," Purbo menghela nafas pasrah.

Purbo hendak melangkahkan kakinya kembali, saat dia teringat sesuatu. Purbo lagi lagi diam mematung di tengah jalan.

"Mas, ngelamun lagi?" Dini mengguncang guncangkan lengan Purbo.

"Yang, apa rumah kita masih jauh?" tanya Purbo dengan tatapan mata yang kosong.

"Hah? Mas ini ngomong apa sih? Rumah kita setelah tikungan itu lho. Rumah pertama dari gapura desa," Dini geleng geleng kepala, heran dengan pertanyaan Purbo.

"Aku lupa yang. Beneran aku tuh gimana ya. Aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Aku kenapa ya yang?" Purbo menatap Dini. Dua bola matanya yang bulat cokelat itu nampak bergetar.

"Kita pulang pokoknya. Nanti biar kutanyakan sama Mak Nah, biar dipijit, dibikinin jamu atau disuwuk kamu nanti," tukas Dini sembari menarik lengan suaminya itu.

"Suwuk?" Purbo mengernyitkan dahi. Dia menurut saja digelandang oleh Dini.

"Iya, kamu bisa jadi sawanen Mas. Masak bisa lupa semuanya gitu. Jangan jangan kamu juga lupa sama aku, istrimu sendiri," Dini terus nyerocos sambil tetap berjalan.

Purbo yang tak mengerti apa yang Dini bicarakan hanya bisa diam menurut. Jalanan berbatu kini berganti dengan tanah liat yang lengket di alas kaki. Purbo menunduk memperhatikan sepatunya. Kemudian Purbo beralih menatap Dini. Istrinya itu masih mengenakan jaket kulit yang Purbo pakaikan tadi.

"Yang?" panggil Purbo lirih.

"Hmm, apa?" tanya Dini tanpa menoleh.

"Aku tadi kan nyetir yak. Kok pake sepatu boot gini sih? Sama ngapain juga pake jaket kulit?"

Pertanyaan Purbo membuat Dini menghentikan langkahnya. Masih menggenggam lengan Purbo, Dini nampak menghela nafas. Udara dingin kembali bertiup, menghembuskan aroma pepohonan yang lebih mirip bau lumut, sedikit langu namun menyegarkan.

"Mas itu benar benar ya. Bukannya tadi pagi Mas sendiri yang pengen berpakaian kayak gitu. Biar keren katanya!" bentak Dini, melotot. Purbo hanya bisa nyengir dan garuk garuk kepala. Dia lupa, benar benar lupa.

Dini kembali menarik lengan Purbo. Mereka berjalan menapaki jalanan tanah yang entah kapan bisa mendapat perhatian dari pemerintah setempat agar dibangun lebih baik dan lebih layak.

Sampai di tikungan, terdapat sebuah pohon mahoni besar di tepian jalan. Pohon itu nampak tua, dengan beberapa bagian batangnya yang terkelupas. Mereka terus berjalan melewati tikungan tersebut, hingga sampai di sebuah rumah dengan halamannya yang sangat luas.

Rumah joglo, terbentuk atas susunan blabak atau kayu jati berwarna cokelat tua. Halamannya yang luas di tanami beberapa jenis buah buahan. Ada jambu biji, juga mangga. Yang tumbuh paling tinggi dibandingkan lainnya adalah pohon nangka dengan beberapa buahnya terlihat besar tergantung di batangnya yang kokoh.

Sekilas pandang rumah itu terlihat asri, sejuk dan agak menyeramkan. Di sekitar pekarangan rumah merupakan kebun tebu yang luas dengan batangnya yang sudah sangat tinggi. Tak nampak rumah lainnya. Purbo berdiri terpaku di halaman rumah. Tak percaya dan tak yakin, dia tinggal disana.

"Ayuk Mas masuk," Dini menggandeng lengan suaminya, mengajaknya masuk.

Sedikit ragu ragu, Purbo melangkahkan kakinya. Melewati halaman rumah dan sampai di teras depan. Beberapa bunga mawar dan keladi yang terlihat indah dan cantik tertata rapi di pot pot kecil. Pot yang terbuat dari tanah liat yang sudah dibakar.

Mulut Purbo hampir terbuka untuk mengucap salam, saat pintu terbuka dari dalam dengan tiba tiba. Seorang perempuan berjalan tergopoh gopoh dari dalam rumah. Perempuan berusia sekitar 50 an tahun, mengenakan baju lurik dan kain jarit. Wajahnya terlihat meneduhkan, dengan senyuman yang ramah.

"Tuan dan Nyonya sudah pulang," ucap perempuan itu ramah.

"Si siapa?" tanya Purbo setengah berbisik di telinga Dini.

"Itu Mak Nah Mas. Sudahlah ayuk masuk, kamu butuh istirahat," Dini kembali menarik lengan Purbo.

Dini melepas alas kakinya, diikuti oleh Purbo. Lantai rumah yang terbuat dari semen berwarna abu abu, nampak bersih dan halus, seakan setiap saat disapu dan bersihkan terus menerus.

Purbo masih terus mengamati. Daun pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukirannya yang meliuk liuk indah. Begitu masuk ke dalam rumah, sensasi hangat dan nyaman langsung terasa.

Ruang tamu cukup luas, dengan 4 tiang penyangga rumah yang besar di bagian tengahnya. Di langit langit tergantung lampu kurung unik dengan sinarnya yang temaram. Di sudut sudut ruangan juga tergantung ublik atau lampu minyak. Mungkin pembakaran minyak itulah yang menyebabkan sensasi ruangan terasa hangat.

Kursi kayu di tata melingkar dengan sebuah meja bundar di pusatnya. Sebuah sepeda tua tergeletak di sudut ruangan. Tak ada TV, hanya sebuah radio berantena panjang bertenaga baterai diletakkan di atas lemari.

Dini berjalan terburu buru, melewati ruang tamu sembari memegangi perutnya. Dia meninggalkan Purbo yang melongo memperhatikan rumahnya sendiri. Masih saja Purbo merasa asing.

"Tuan, besok besok kalau pulang darimana saja nggak perlu ketuk pintu apalagi ngucap salam ya. Saya selalu berada di rumah, siap kapan saja, dan tahu kapan njenengan datang," ucap Mak Nah, kemudian berjalan menyusul Dini ke belakang.

Purbo menelan ludah, entah kenapa dia merasa Mak Nah sedang marah padanya. Purbo kembali berjalan, melewati ruang tamu, dan sampai di bagian ruang tengah. Ada 4 bilik kamar, 2 kamar di sebelah kiri Purbo dan 2 kamar di sebelah kanan, saling berhadapan.

Duk duk duk duk

Tiba tiba terdengar suara pintu diketuk. Purbo terkesiap, sedikit kaget. Purbo mendengarkan dan memperhatikan, darimana asal suara tersebut?

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Evi Sirajuddin

Evi Sirajuddin

Tetap semangat berkarya 💪
Njenengan penulis yg berbakat

2025-01-20

1

Yuli a

Yuli a

kayaknya time travel ke jaman dulu ... xiexiexiexie....

2025-01-21

1

Yuli a

Yuli a

sejuk.....

2025-01-21

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!