Papat

Tak tahu berapa lama Purbo terlelap. Saat terbangun, dia merasa telah tidur dalam jangka waktu yang sangat panjang. Kelambu berwarna putih yang menyambutnya pertama kali. Purbo mengedarkan pandangan, namun tak menemukan istrinya dimanapun.

Purbo meraih HP yang tergeletak di atas bantal. Dia masih lupa dengan kombinasi angka untuk membuka kunci layar.

"Sudah jam setengah 4," gumam Purbo.

Purbo menyingkap selimut yang menutupi kakinya. Hawa dingin langsung menjalar, berhembus masuk melalui pori pori kulit. Bulu bulu keriting di kakinya meremang seketika.

Dengan memaksakan diri, Purbo melangkah keluar kamar. Hening, sepi, seakan saat ini Purbo sedang sendirian berada di rumah besar dan asing itu. Kamar tanpa gagang pintu yang tadi sempat terdengar ketukan ketukan aneh ada di hadapan Purbo.

"Dini? Sayang? Kamu dimana?" tanya Purbo setengah berteriak.

Tak ada jawaban. Rumah benar benar sepi. Mak Nah juga tak menampakkan diri. Purbo berjalan perlahan ke ruang tamu. Lampu kurung di tengah ruangan berkedip kedip sesaat. Pintu depan terbuka lebar, meniupkan angin yang terasa liar, meliuk liuk menerbangkan dedaunan kering ke teras depan.

Rumah sekecil apapun tetaplah menjadi satu satunya tempat terbaik untuk pulang. Namun bagi Purbo, bangunan yang saat ini ditempati, bangunan yang disebut Dini sebagai rumah, bukanlah tempat yang membuatnya nyaman untuk pulang. Rasa takut menjalar dari ujung kakinya yang berpijak pada lantai semen. Menggerogoti lubuk hatinya yang merasakan kesunyian.

Klik

Bssttt bssttt bssttt

Sebuah suara terdengar dari atas lemari. Radio menyala sendiri, menghasilkan bunyi yang tak jelas. Purbo sedikit terlonjak, mengamati radio yang masih tetap berdengung. Perlahan dia mendekati radio, dan mematikannya. Purbo mengusap peluh yang entah sejak kapan menetes membasahi dahinya.

"Mas sedang apa?" sebuah suara dari belakang mengagetkan Purbo. Dini datang membawa segelas minuman berwarna kuning kecokelatan.

"Duh Yaangg, aku kaget sumpah," Purbo menepuk nepuk dadanya.

"Ihh, masak gitu aja kaget sampek melotot Mas," sergah Dini.

"Ya habisnya radio mu itu nyala sendiri Yang. Aneh banget," Purbo begidik, memegangi tengkuknya.

"Ya nggak aneh Mas. Itu kan radio lama, jadul. Wajarlah kalau rusak. Bunyi sendiri, mati sendiri, kadang jalan jalan sendiri," ucap Dini datar.

"Hah?" Purbo kembali melotot.

"He he he, becanda Mas. Ahh, serius bener," Dini terkekeh.

Dini duduk di kursi kayu setelah meletakkan gelas berisi minuman untuk Purbo. Dia duduk bersandar pada kursi, mencari posisi senyaman mungkin.

"Sayang, lihat itu Bapakmu. Katanya laki laki, tapi penakutnya minta ampun," ucap Dini sembari mengusap usap perutnya.

"Yeee, enak aja," Purbo cemberut dan mengambil duduk di sebelah Dini yang tengah mengolok oloknya.

"Ini minuman apa yang?" tanya Purbo menyentuh gelas yang ada di hadapannya. Terasa hangat. Purbo membuka penutup gelas yang terbuat dari plastik berwarna merah. Asap tipis langsung mengepul di udara.

"Aromanya seger. Apa nih?" Purbo mengulang pertanyaannya.

"Itu wedang parem Mas. Gunanya untuk menghangatkan, menghilangkan capek capek di badan Mas juga," jawab Dini kalem.

"Mumpung masih hangat segera diminum Mas," perintah Dini.

Purbo menurut. Dia meneguk wedang parem yang sudah disiapkan istrinya itu. Rasa asem, kecut dan segar terasa di lidah. Sensasi hangat juga menjalar ke tenggorokan dan perutnya. Purbo mengecap ngecap mulutnya sebentar, kemudian meminum kembali wedang parem hingga tandas, tak tersisa barang satu tetes pun.

"Seger ya. Bener bener cocok diminum pas udara dingin kayak gini," Purbo manggut manggut.

Benar saja apa yang sudah dikatakan Dini, setelah minum wedang parem Purbo merasa tubuhnya terasa lebih ringan dan bugar. Rasa kantuk dan malas langsung sirna.

"Kamu tadi nggak tidur Yang?" tanya Purbo, sesekali masih mengecap mulutnya. Ada rasa asem yang tertinggal di lidah.

"Tidur bentar Mas," jawab Dini singkat.

"Yang, aku masih merasa asing dengan rumah ini. Entahlah, kayak ada sebagian dari diriku yang hilang gitu. Lupa, tapi nggak tahu apa yang aku lupain," ucap Purbo. Ekspresinya menunjukkan kebingungan.

"Aku juga kepikiran soal mobil kita Yaang. Jadi selama ini mobil kita selalu terparkir di luar desa? Dibiarkan gitu saja di pinggir jalan?" Purbo mengernyitkan dahi.

Dini tak langsung menjawab. Dia malah meraba dahi Purbo menggunakan tangan kanannya. Sementara tangan kiri meraba dahinya sendiri.

"Nggak panas tuh. Tapi Mas kok 'ndleming' ya?" ucap Dini sambil tersenyum.

"Ah, kamu becanda terus," sahut Purbo sewot.

"Lha Mas aneh. Kalau tinggal disini tuh nggak bisa bawa kendaraan bermotor. Mas kan tahu sendiri akses jalannya kayak apa," Dini menerangkan.

"Iya kayak bukan jalan yang biasa dilewati manusia saja. Pantasnya bangsa dedemit yang lewat jalan kayak gitu," sambung Purbo cuek.

"Huusss! Mas nggak boleh ngomong kayak gitu!" bentak Dini tiba tiba. Perempuan cantik itu terlihat benar benar marah. Matanya melotot, tangannya mencengkeram erat pada tangan kursi yang terbuat dari kayu jati.

"Kok marah sih?" Purbo nampak bingung dengan perubahan mood istrinya.

"Mas nggak boleh ngomong kayak gitu! Ndak 'ilok' Mas!" Dini masih marah marah.

"Iya iya, maaf deh," ucap Purbo enteng, merasa ucapannya bukan suatu masalah yang besar. Dia berpikir Dini sedang sensitif saja, mungkin efek kehamilannya.

"Emm, tapi mobil disana tuh aman kan ya? Nggak bakal ada yang nge jarah gitu? Spion nya kek, apa kek," Purbo kembali bertanya.

"Mas tadi nggak lihat, semua motor warga desa sini tuh ditinggal di tanah lapang ujung desa tadi lho," sahut Dini masih terlihat jengkel.

"Iya kah? Aku nggak sempat lihat tadi," Purbo mengusap usap dagunya.

"Mas Purbo nggak fokus," Dini memutar bola matanya.

"Eh, aku mau sholat ashar dulu. Sudah jam 4 nih," Purbo melihat layar HP nya yang masih terkunci.

"Aduh Mas, duh," Dini tiba tiba meringis, memegangi pinggulnya.

"Kamu kenapa Yang?" tanya Purbo panik. Dia menggenggam tangan Dini erat erat.

"Nggak tahu, tiba tiba si dedek nendang kuat banget. Apa karena lapar ya. Kan waktunya makan," jawab Dini manja.

"Hah? Kan masih sore Yang. Masak udah lapar? Belum waktunya makan malam," Purbo bertanya heran.

"Lha ini kan permintaan si dedek Mas. Lagipula makan malam itu lebih baik di jam jam segini Mas. Kalau terlalu larut nggak baik untuk kesehatan," ucap Dini meyakinkan.

"Iya juga sih. Ya udah, aku tak sholat dulu, nanti habis itu kita makan," Purbo mengusap usap punggung tangan istrinya.

"Si Dedek maunya sekarang Mas, nggak bisa ditunda. Tuh perutku bunyi krucuk krucuk. Ayuk Mas makan dulu, nanti anakmu lahir ngiler lho," Dini merengek manja.

Purbo menghela nafas. Menatap wajah Dini yang terlihat bulat dan menggemaskan. Purbo mendaratkan cubitan mesra di pipi istrinya itu saking gemasnya.

"Baiklah, ayuk kalau gitu. Kita makan. Tapi bukan makan malam. Makan sore," akhirnya Purbo menurut. Dia menggandeng lengan Dini, membantunya berdiri, kemudian berjalan beriringan menuju dapur.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

rasanya asem, kecut...Yo Podo wae... xiexiexiexie...✌️

2025-01-22

1

Yuli a

Yuli a

tiap mau sholat dihalang-halangi... hemmm....aneh

2025-01-22

1

Bunda Silvia

Bunda Silvia

apakah dini dh meninggoy ya kecelakaan di jalan cmn suaminya nggak metong jadi arwah dini ngga rela meninggoy sendiri

2024-03-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!