Pitu

Senja tiba bersama langit kelam. Sedari siang mendung bergulung gulung, namun rintik hujan tak jua datang. Satu satunya yang selalu ada di desa Ebuh adalah kabut. Setiap saat selalu terlihat gumpalan gumpalan putih tipis melayang di udara.

Purbo duduk di lantai teras depan rumah. Badannya terasa lebih segar bugar. Dia mengenakan kemeja kotak kotak dan sebuah celana yang sedikit kedodoran. Agak aneh, semua celana yang ada di dalam lemari kamar hampir semuanya terlalu besar untuk Purbo kenakan.

Dalam diam, pikiran Purbo mengawang jauh. Dia terus berusaha mengingat tentang kehidupannya. Meskipun hingga detik ini, yang ada dalam ingatan Purbo hanyalah fakta bahwa dirinya tengah berbahagia menunggu kelahiran buah hati pertama bersama sang istri tercinta.

Purbo teringat kembali kejadian saat dia mandi tadi. Sebuah suara dengan jelas dan gamblang membisikkan kalimat 'jangan percaya dengan mereka'. Siapa yang dimaksud dengan mereka? Dalam benak Purbo terus terngiang kalimat itu.

"Mas ngapain disitu?" tanya Dini tiba tiba. Dia berdiri di ambang pintu sambil mengelus elus perut besarnya.

"Ah, ini aku nungguin adzan. Tadi ashar aku kelewatan, maghrib rencana mau ke mushola. Emmm Mushola sebelah mana ya?" tanya Purbo sambil tersenyum.

"Ah ya . . di perkampungan sana Mas," jawab Dini ragu ragu.

Dini duduk di sebelah Purbo. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Purbo yang bidang. Kaki mereka terjuntai ke tanah, berayun ayun secara bersamaan. Pasangan suami istri itu terlihat bahagia sore ini.

"Mas?" panggil Dini pelan.

"Hmmm?" sahut Purbo.

"Aku tuh bahagiaaa banget kalau kita bisa kayak gini terus." Dini bergelayut manja di lengan Purbo.

"Emmm, apakah selama ini aku kurang membahagiakanmu Yang?" Purbo menempelkan telapak tangannya di pipi Dini. Entah kenapa pipi mulus itu terasa begitu dingin.

"Kamu selalu membuatku bahagia kok Mas," sahut Dini cepat.

"Jangan jangan aku adalah pribadi yang buruk sebelumnya? Dan Tuhan membuatku lupa semuanya agar aku bisa memulai dari nol dan menjadi orang yang lebih baik lagi." Purbo mencoba memaknai keadaannya dengan pikiran yang positif.

"Sudahlah Mas. Apapun yang terjadi, saat ini aku merasa bahagia. Dan aku ingin bisa seperti ini selamanya." Dini semakin erat memeluk Purbo.

"Eh sayang, tapi aku mau jujur sama kamu. Aku merasa tempat tinggal kita ini ada yang nggak beres. Mungkin nggak sih ada penunggunya gitu?" tanya Purbo mengalihkan pembicaraan.

"Ya bukankah setiap tempat memang selalu ada yang kayak begitu Mas?" Dini balik bertanya.

"Bener juga sih. Kita memang hidup berdampingan, antara yang ada dan tiada. Asalkan tidak saling mengusik." Purbo menghela nafas, mengurungkan niatnya untuk bercerita soal suara bisikan tadi. Dia tidak ingin membuat istrinya yang tengah hamil tua itu cemas.

"Ngomong ngomong kok nggak terdengar suara adzan ya?" tanya Purbo heran. Dini diam saja tak menyahut.

Perlahan di kejauhan, rintik hujan mulai jatuh satu persatu. Suara hujan berirama terdengar merdu dan syahdu. Hujan selalu bisa membuat hati tenteram. Begitupun hati Purbo, terasa sejuk saat duduk di teras bersama orang terkasih menikmati beberapa butir air yang terciprat dari ujung genteng rumah.

Tiba tiba saja Purbo merasakan pusing yang tak tertahankan. Di dalam kepalanya terdengar suara suara yang bersahutan. Ada pula sekelebat bayangan di benak Purbo. Bayangan seorang perempuan berpayung hitam, berputar putar di tengah derasnya hujan.

"Arrgghhh!" Purbo mengaduh memegangi keningnya yang terasa berdenyut.

Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Purbo ambruk ke lantai. Mengerang dan mengejang dengan bagian mata yang terlihat putih semua.

"Mas! Mas kenapa?" Dini panik.

"Mak Nah?! Mak Nah?!" teriak Dini sekuat tenaga, namun bunyi hujan menenggelamkan suaranya.

Dini berjalan cepat ke dalam rumah dan terus menerus memanggil Mak Nah. Tak berselang lama, nampak Mak Nah berlari lari kecil dari arah dapur. Perempuan tua itu tengah nyirih atau nginang. Mulutnya nampak merah akibat mengunyah gulungan sirih racikannya sendiri.

"Ini Mas Purbo kenapa Mak?" Dini histeris, panik dan menangis.

Mak Nah tak menjawab. Dia meludahkan air sirih di mulutnya ke telapak tangan. Kemudian mengusapkan pada wajah Purbo. Purbo menggigil sesaat kemudian diam dengan mata terpejam.

"Biarkan saja seperti ini," perintah Mak Nah.

"Apa yang terjadi Mak?" Dini masih terlihat gusar.

"Ada yang mengganggu. Lagipula suami mu ini agak sulit diatur," jawab Mak Nah jengkel. Wajah kalem dan teduh yang biasanya dia tunjukkan, berubah menjadi tegas dan galak.

"Terus gimana Mak? Yakin nggak pa pa seperti ini?" tanya Dini ragu ragu.

"Dari awal saya sudah ngomong ke njenengan. Posisi saya itu cuma membantu. Berhasil dan tidaknya tergantung dari usaha njenengan. Ingat, waktunya adalah 40 hari!" ucap Mak Nah setengah membentak.

"Aku benar benar menyukainya Mak," ucap Dini memandangi wajah Purbo yang memerah akibat air sirih dari mulut Mak Nah.

"Ayo bantu saya menyeret tubuh suami njenengan ini ke kamar," Mak Nah memegang lengan kanan Purbo.

"Diseret Mak?" tanya Dini tak yakin.

"Iya. Tubuh sebesar ini siapa yang kuat mengangkatnya. Apalagi njenengan sedang hamil tua," jawab Mak Nah sewot.

Dini akhirnya menurut. Dia memegangi lengan kiri Purbo. Secara bersamaan Mak Nah dan Dini menarik lengan Purbo dan menyeret tubuh gempal itu masuk ke dalam rumah. Beberapa kali kepala Purbo terantuk, namun laki laki itu tetap diam dengan mata terpejam.

Sampai di kamar, Mak Nah dengan susah payah mengangkat Purbo dan menidurkannya di ranjang. Dini segera memasang selimut dengan wajah cemas.

"Untungnya tadi sudah minum jamu. Saya rasa njenengan tak perlu terlalu khawatir. Besok saya tak ke rumah Mbah Modo," ucap Mak Nah menenangkan.

"Aku manut. Mak Nah atur saja lah pokoknya," jawab Dini pasrah.

Mak Nah mengangguk dan beringsut mundur keluar kamar. Dia sempat memandangi kamar yang berhadap hadapan dengan kamar majikannya, sebelum akhirnya berjalan kembali ke dapur.

Dini membelai lembut punggung tangan Purbo. Matanya sembab karena menangis. Dia merasa tak tega melihat Purbo tadi berteriak kesakitan.

"Setiap insan menapaki jalan hidup yang digariskan untuknya. Tapi mengapa jalan hidupku begitu berat? Tak bolehkah aku mendapatkan kebahagiaan walau hanya sedikit saja?" Dini masih terisak. Dia memandangi tangannya yang putih pucat.

Dini beranjak ke meja rias. Menatap cermin yang terlihat buram. Dia membuka laci di bagian meja sebelah kanan. Secawan bunga tujuh rupa tertumpuk disana. Aroma wangi semerbak memabukkan menyebar di udara.

Di bawah lampu kamar yang bersinar kuning temaram, Dini mengambil segenggam bunga dari cawan. Kemudian mengunyahnya satu persatu. Kuncup bunga kantil terdengar renyah saat dikecap. Sementara bunga kenanga menghasilkan aroma wangi langu yang khas. Dini masih menangis terisak. Rintihan yang terdengar bergema di rumah paling ujung desa Ebuh.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

kok makan unga sih... bukan manusia Tah..

2025-01-22

1

Rommy Wasini Khumaidi

Rommy Wasini Khumaidi

kalau udah baca karya bung Kus itu gk mau berhenti,untung bacanya udah tamat.kemaren baca Narsih ya maraton

2024-02-22

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

apa dini kayak Narsih

2024-02-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!