Telulas

Duk duk duk duk

Suara ketukan bertubi tubi membangunkan Purbo dari tidur lelapnya. Purbo menggeliat, menyadari malam telah pergi, berganti pagi yang terasa sedikit lebih hangat.

Entah mengapa Purbo merasa tidurnya bagai orang pingsan. Tak ada mimpi, begitu nyenyak, pulas dan tak pernah terganggu ataupun terbangun walau hanya sekejap.

Duk duk duk duk

Lagi, terdengar suara ketukan. Sepertinya dari pintu depan. Purbo menyingkap selimut bermotif bunga bunga yang menutupi kakinya. Sambil menguap lebar dia berjalan keluar kamar.

Keadaan rumah hening dan sepi. Purbo teringat Dini kemarin malam meminta ijin untuk ke tempat Mbok Yem bersama Mak Nah. Artinya, saat ini Purbo tengah sendirian di rumah.

Pintu depan terbuka lebar. Kabut tipis terlihat menerobos masuk ke ruang tamu, mengubah suasana rumah terasa lebih suram. Purbo memegangi tengkuknya yang terasa dingin dengan bulu bulu halus yang berdiri.

"Halloo, si siapa yang tadi ketuk ketuk pintu?" Purbo berhenti di depan kursi kayu ruang tamu. Dia ragu untuk melihat keluar. Pikirannya penuh dengan bayangan kepala terlilit kain putih yang menerornya kemarin sore.

Berkali kali Purbo menelan ludah. Jakunnya naik turun. Namun rasa takut yang besar, juga dibarengi rasa penasaran yang sulit dihiraukan. Beberapa saat lamanya Purbo menimbang nimbang. Apakah dia harus memilih kembali ke dalam kamarnya, ataukah melihat siapa yang tadi ketuk ketuk pintu. Bisa saja kan memang ada tamu yang datang.

"Ahhh, sial!" Purbo kesal sendiri.

Akhirnya sebagai seorang laki laki, Purbo memutuskan untuk mengatasi rasa takutnya. Dia berjalan dengan kaki yang dihentakkan, berharap siapapun atau apapun yang ada di luar rumah akan sadar jika Purbo tidak ada rasa takut.

Purbo sampai di teras depan, dan tidak ada siapapun disana. Hanya kabut putih tipis yang menyambutnya, bersama tiupan angin yang terasa cukup kencang.

Duk duk duk duk

Suara ketukan terdengar kembali. Purbo menoleh, memperhatikan pintu. Ternyata, ketukan itu berasal dari daun pintu yang bergerak tertiup angin dan bagian ujungnya mengenai dinding rumah.

"Ahh, bener bener kurang asem. Kenapa sih tuuu pintu kamu bikin aku jantungan saja," gerutu Purbo menunjuk nunjuk daun pintu seperti orang yang tak waras.

Purbo bergegas masuk kembali ke dalam rumah, membiarkan pintu depan yang terus saja menimbulkan suara ketukan. Purbo ke dalam kamar dan menyambar handuk yang tergantung di sebelah meja rias.

"Lebih baik aku mandi, terus ngopi di desa sana daripada stres di rumah sendirian," ucap Purbo mengalungkan handuk berwarna putih polos itu di lehernya.

Purbo mempercepat langkah kala melewati ruangan kosong yang disebut oleh Dini sebagai ruang kerja itu. Pada akhirnya Purbo sampai di depan kamar mandi tanpa menemukan keanehan apapun. Purbo menghela nafas lega. Namun belum sempat dia masuk ke dalam bilik kamar mandi terdengar suara aneh yang lain. Kali ini bukan suara ketukan.

Sraakkk sraakk sraakkk

Sebuah suara, seperti daun kering yang diseret. Seolah ada orang yang sedang menyapu di halaman belakang. Sekali lagi tengkuk Purbo meremang hebat. Hawa dingin menjalar dari pori pori di bagian lehernya, merambat turun ke pundak dan punggung. Kini bagian tubuh belakang Purbo terasa seperti ditempeli es batu.

Rasa penasaran, lagi lagi membuat Purbo bertindak nekat. Atau mungkin lebih tepat disebut konyol. Dia mempererat ikatan handuk di lehernya untuk mengatasi tengkuknya yang terasa dingin dan merinding. Dengan berjingkat dia melewati pintu dapur dan melihat halaman belakang.

Seorang laki laki berpakaian serba hitam terlihat menyapu dedaunan kering. Laki laki itu mengumpulkan sampah, daun dan ranting di bagian tengah halaman. Purbo memperhatikannya penuh tanya. Siapa gerangan laki laki itu?

"Ehem," Purbo berdehem, mencoba mencari perhatian.

Laki laki yang tengah menyapu itu langsung menoleh. Nampak wajahnya penuh dengan kerutan. Dari yang terlihat, Purbo menduga usia laki laki itu lebih tua dari Mak Nah.

"Mohon maaf, Anda siapa?" tanya Purbo sambil berjalan mendekat. Dia juga melonggarkan ikatan handuknya. Hawa dingin yang tadi terasa mencengkeram leher, kini telah sirna.

"Ah, nama saya Yono Tuan. Orang orang memanggil saya Mbah Yon," ucap laki laki tua bernama Mbah Yon itu. Dari dekat terlihat rambutnya yang tipis, namun tetap hitam tanpa uban meskipun wajahnya terlihat sudah sepuh.

"Maaf Mbah Yon, njenengan siapa? Dan kenapa menyapu halaman belakang rumah saya?" tanya Purbo heran.

"Rumah njenengan?" Mbah Yon mengamati Purbo dari ujung rambut hingga ujung kaki. Laki laki tua itu menunjukkan ekspresi yang aneh. Seperti ragu dengan ucapan Purbo.

"Iya, rumah saya," jawab Purbo. Dia mengira mungkin saja Mbah Yon mengalami kepikunan.

"Ahh, iya. Saya memang biasanya nyapu disini," ucap Mbah Yon, kembali mengayunkan gagang sapunya.

"Oohh, disuruh sama Dini ya Mbah. Mungkin juga biar aku nggak sendirian di rumah ya, makanya manggil Mbah Yon kemari," Purbo manggut manggut.

"Dini?" Mbah Yon kembali bertanya, dan menggaruk garuk kepala.

Purbo semakin yakin laki laki tua yang ada di hadapannya itu sudah pikun. Purbo kini menduga jangan jangan Mbah Yon keluyuran tanpa diketahui keluarganya dan tanpa sengaja masuk ke halaman belakang rumah Purbo.

"Mbah Yon rumahnya mana?" tanya Purbo sambil tersenyum.

"Saya dari jauh Tuan. Dusun paling ujung sana," sahut Mbah Yon sambil jari tangannya menunjuk nunjuk tak tentu arah.

"Lhah, kesini tadi jalan kaki?" tanya Purbo lagi. Tanpa sengaja dia melihat kaki renta Mbah Yon yang menghitam penuh lumpur.

"Iya Tuan," jawab Mbah Yon singkat.

"Emm, baiklah Mbah Yon, saya mau mandi dulu. Njenengan sudah cukup saja nyapunya ya. Biar saya saja nanti yang melanjutkan," ucap Purbo. Namun, Mbah Yon tak menggubrisnya. Dia masih saja meneruskan menyapu halaman belakang yang memang penuh dengan daun bambu kering.

Purbo akhirnya meninggalkan laki laki tua itu sendirian. Dia melanjutkan niat awalnya untuk mandi. Mandi pagi di desa Ebuh itu bagaikan menyiram sekujur badan dengan air lelehan es. Dinginnya benar benar menusuk dan menembus tulang. Rasa kantuk lenyap seketika.

Selesai mandi, Purbo kembali ke halaman belakang. Mbah Yon terlihat berjongkok membakar sampah. Asap hasil pembakaran yang seharusnya beraroma sangit, ternyata malah tercium wangi semerbak. Seakan yang dibakar bukanlah dedaunan kering melainkan sekumpulan bunga yang segar.

"Mbah kalau capek istirahat saja lho," teriak Purbo dari kejauhan.

Mbah Yon tak menjawab. Laki laki itu terlihat bergumam sendirian. Entah apa yang diucapkan, Purbo tak bisa mendengarnya.

Pada akhirnya, Purbo membiarkan kakek kakek yang entah darimana datangnya itu sendirian di halaman belakang. Purbo memilih segera ganti baju untuk nongkrong atau ngopi di pasar.

Memakai kemeja biru dengan celana jeans yang sedikit kedodoran, Purbo melangkahkan kakinya keluar rumah. Dia menutup pintu depan dan setengah berlari menuju ke pasar desa.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

Mbah Yon ini tukang bersih-bersih dikuburkan kali ya...

2025-01-22

1

K & T K & T

K & T K & T

msh bingung

2025-03-25

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

sopo iku

2024-02-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!