Patbelas

Suasana pasar desa pagi ini terasa lebih cerah. Nyaris tidak ada kabut yang menutupi jalanan. Sayangnya pasar malah nampak lebih sepi. Cukup banyak kios yang kosong. Entah kemana perginya para pedagang yang kemarin terlihat memenuhi setiap sudut pasar.

Warung kopi angkringan tetap buka, dengan bapak bapak berkalung sarung duduk di sekitarnya. Purbo ragu ragu, langsung gabung dengan mereka, menyapa dengan sok akrab atau lebih baik pesan minum dan diam saja menunggu ada yang menyapa lebih dulu.

Akhirnya Purbo memilih untuk membungkuk dan mengangguk saja pada orang orang yang menatap kedatangannya. Ada rasa canggung saat bertemu mata dengan warga desa. Entah kenapa warga desa terlihat tidak ramah padanya. Saat Purbo mengangguk sambil tersenyum pun tidak ada yang membalas. Mereka acuh tak acuh dengan raut wajah datar.

"Pak?" panggil Purbo pada penjaga warung yang berjongkok membelakanginya.

Penjaga warung nampak sibuk memasuk masukkan arang ke perapian. Menjaga air yang ada di dalam teko alumunium tetap hangat. Asap tipis mengepul di udara meniupkan udara hangat yang terasa nyaman menyentuh kulit wajah Purbo.

"Paakk?" panggil Purbo sekali lagi, namun sang penjaga warung tetap mengacuhkannya.

"Mas seee, kalau manggil si Tomi harus lebih kenceng lagi," seloroh seseorang dari belakang. Purbo menoleh, ternyata si Ceking yang kemarin sempat berdebat dengan Mak Nah.

"Tomi?" Purbo mengernyitkan dahi.

"Iya, tuh yang jaga warung. Namanya Tomejo panggilannya Tomi. Dia tuh mohon maaf nih ya telinganya agak kurang, jadi kalau manggilmu lembek kayak gitu nggak bakal denger," ucap Ceking menjelaskan.

"Aku contohin ya," lanjut Ceking.

"Hoeee Tomiii!" teriak Ceking tiba tiba.

Brakkk

Sang penjaga warung kaget dengan teriakan ceking. Seketika melompat dan kepalanya terantuk gerobak dagangannya sendiri. Dia menoleh sambil mengusap usap dahi.

Betapa terkejutnya Purbo saat sang penjaga warung berjuluk Tomi itu menoleh. Separuh wajahnya penuh dengan bekas luka bakar. Terlihat mengkerut, dengan kulit ari yang berwarna merah muda.

"Astaghfirullah," ucap Purbo refleks lalu menutup mulut menggunakan telapak tangan kanannya.

Semua orang langsung menoleh. Menatap dan memelototi Purbo dengan penuh amarah. Purbo kikuk dan benar benar merasa bersalah.

"Duduk kamu!" bentak Ceking menarik bahu Purbo sedikit kasar.

Purbo menurut, meskipun sedikit ndongkol juga dengan ulah Ceking bak preman pasar.

"Maaf aku nggak bermaksud apa apa tadi," Purbo meminta maaf.

"Si Tomi itu dulu rumahnya kebakar, terus ya kayak gitu jadinya. Kamu itu mbok ya ada sedikit empati," Ceking duduk di hadapan Purbo.

"Kenalin dulu, namaku Ceking," Ceking mengulurkan tangannya.

"Ah iya, aku," ucap Purbo hendak menyalami.

"Aku sudah tahu. Kamu yang di 'openi' Mak Nah," potong Ceking menarik tangannya. Akhirnya Purbo hanya berjabat tangan dengan angin.

"Emm, mohon maaf nih Mas Ceking. Kenapa kemarin Mas ngomong kalau saya warga baru disini?" tanya Purbo tiba tiba.

Gelagat Ceking langsung berubah aneh mendengar pertanyaan Purbo. Dia meraih putung rokok yang tadi di letakkan di atas meja. Apinya sudah padam, Ceking menyulutnya kembali.

"Memangnya aku ngomong begitu?" sahut Ceking datar.

"Iya. Saya memikirkannya sedari kemarin maksud perkataan njenengan," sergah Purbo.

Ceking enggan menjawab, dia malah melengos, berbalik badan dan beralih menatap Tomi.

"Dua gelas kopi yang biasa," pesan Ceking sambil mengangkat dua jarinya.

"Kopi biasa?" tanya Tomi memastikan. Ceking mengangguk.

"Yakin?" Tomi bertanya sekali lagi. Purbo merasa aneh, hanya pesan kopi saja sampai ditanya yakin atau tidak.

"Iya iya! Cerewet lambemu koyok bojoku! As*!" bentak Ceking sambil menggebrak meja.

Tomi menurut kali ini. Dia segera mengambil dua buah cangkir yang terbuat dari seng dengan motif loreng abu abu. Kemudian begitu cekatan mengambil serbuk kopi di toples dan menuangkannya ke cangkir bersama air panas mendidih.

Aroma kopi menari nari di udara. Wangi yang membuat rasa malas menghilang. Purbo baru tahu ada aroma kopi sewangi ini. Kopi telah siap, Tomi menyodorkannya ke hadapan Ceking. Kemudian Ceking meletakkan kopi itu di meja depan tempat duduk Purbo.

"Aku mau pesan wedang jahe saja," sahut Purbo. Dia teringat belum sarapan. Agak beresiko bagi perutnya kalau minum kopi sekarang.

"Ini aku yang traktir. Mbok ya dihargai to Mas Mas," protes Ceking.

"Tapi Mas,"

"Nggak usah tapi tapi. Minum saja, sambil kita ngobrol. Nanti tak jawab pertanyaanmu tadi," potong Ceking.

"Ah, baiklah kalau begitu terimakasih Mas," ucap Purbo mengalah. Bagi Purbo Ceking adalah pemuda yang terasa menyebalkan. Sok berkuasa dan suka memaksa. Dan entah kenapa semua orang terlihat biasa saja dengan kelakuan mengganggu dari Ceking.

"Mari Mas diminum," ajak Ceking.

Purbo menyentuh cangkir, dan terasa masih sangat panas.

"Masih panas banget Mas," jawab Purbo kemudian.

"Kopi ini tuh enaknya disruput pas lagi panas lho Mas," ucap Ceking seraya meniup niup cangkirnya.

"Slluurrrrpppp, aaahhhh," Ceking menyeruput kopinya dengan mata terpejam, terlihat benar benar menikmati.

"Nikmat tenan Mass. Ayok lah, enak banget ini," Ceking tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang kecil dan bergerigi.

Sedikit ragu, akhirnya Purbo meniru apa yang dilakukan Ceking. Dia meniup niup cangkirnya. Aroma wangi kopi menusuk hidung. Purbo baru sadar, wangi kopinya agak lain. Ada sedikit bau amis yang tipis.

"Sluurrrppp," Purbo menyeruput dan menyesap kopinya perlahan.

Sensasi pertama yang terasa adalah hangat di lidah. Namun setelahnya, muncul rasa lengket dan pahit yang teramat sangat. Aroma amis pun menyengat menusuk hidung.

Kepala Purbo tiba tiba terasa pusing dan berputar putar. Purbo melihat sekeliling, wajah Ceking dan semua orang nampak berubah pucat. Entah apakah Purbo sedang berhalusinasi atau tidak, semua orang terlihat tertawa terbahak bahak. Mereka menertawakan Purbo, mengerubutinya, seolah mengejek Purbo yang sedang tersiksa.

"Hoeeekkk! Hooeekkkk!" Purbo memuntahkan isi perutnya. Cairan hitam pekat bagai oli bekas keluar dari mulut Purbo. Begitu banyak, tumpah ke tanah. Perut Purbo terasa bergemuruh. Sakit dan panas.

"Haa haahh haahhh," Purbo terengah engah. Keringat mengucur di dahi dan pelipis. Dia berjongkok di tanah bertumpu pada lututnya.

"Tuan!" suara perempuan berteriak. Mak Nah datang setengah berlari.

"Apa yang kamu lakukan?" Bentak Mak Nah pada Ceking.

Telinga Purbo berdenging, dia kesulitan mendengar perkataan Mak Nah. Samar samar Purbo bisa melihat Mak Nah menampar pipi Ceking, kemudian menunjuk nunjuk wajahnya.

Purbo semakin tak tahan, kepalanya terasa berat. Bagian belakang kepalanya seperti ditarik dan dijambak. Dia pasrah, dan akhirnya jatuh terlentang di tanah yang penuh cairan muntahan berwarna hitam tadi.

Sebelum pingsan Purbo sempat mendengar bisikan bisikan di telinganya. Suara yang entah darimana datangnya. Suara perempuan, yang terdengar familiar dan begitu Purbo rindukan.

"Mas, pulanglah!"

Dan pada akhirnya, suara itu menghilang, bersama dengan pandangan mata Purbo yang menghitam.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

istrinya itu yang manggil...mas pulang lah ...😞😞😞

2025-01-22

1

Mom Young

Mom Young

apa ini Kira2 ya😣

2025-03-01

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

apa ceking sengaja kasih tuh kopi biar Purbo tau yang sebenarnya

2024-02-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!