"Untuk apa kamu ada di tempat ini Ngger?" suara serak terdengar dari sepotong kepala terlilit kain putih di hadapan Purbo.
Purbo tak bergeming, berdiri terpaku tanpa mampu berbuat apapun. Kakinya gemetar, lidah terasa kelu, sedangkan keringat terus menetes meskipun suhu udara sedang dingin.
"Untuk apa kamu ada di tempat ini Ngger?" untuk ketiga kalinya, suara serak itu terdengar kembali mengucapkan pertanyaan yang sama.
Beberapa saat lamanya Purbo hanya bisa diam mematung. Hingga akhirnya sebuah tepukan dari belakang di bahu Purbo, membuatnya terlonjak kaget.
"Ahh ahh ahhh," pekik Purbo, menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya.
"Tuan sedang apa?" suara perempuan bertanya, terdengar kalem.
Ternyata Mak Nah yang telah menepuk bahu Purbo. Dahinya yang keriput nampak mengkerut. Ekspresinya menunjukkan kalau Mak Nah penasaran, apa yang tengah dilakukan majikannya itu. Apalagi Purbo terlihat sangat ketakutan.
"Ah Mak Nah. Ada kepala!" teriak Purbo menunjuk tanah tempat sepotong kepala berbalut kain putih tergeletak.
Betapa terkejutnya Purbo, kepala yang beberapa saat lalu telah menerornya, kini lenyap. Hanya ada sebongkah batu hitam seukuran kepalan tangan disana.
"Hah?" Purbo kebingungan, mengucek ngucek kedua matanya untuk memastikan. Hasilnya nihil, memang tidak ada apapun. Bahkan sprei putih yang tadi Purbo rentangkan pun ikut lenyap.
"Tuan, njenengan sehat kan?" tanya Mak Nah memastikan.
"Ah eng, tadi anu Mak," Purbo meracau kebingungan.
"Maaf Tuan kalau saya membuat njenengan kerepotan, harus membantu menjemur cucian," ucap Mak Nah sedikit membungkuk. Purbo garuk garuk kepala.
"Yasudah lah Mak. Aku mau ke kamar saja," ucap Purbo asal asalan. Dia segera berlari masuk ke dalam rumah.
Mak Nah yang merasa aneh dengan tingkah laku Purbo tadi, memutuskan untuk berjalan mengelilingi halaman belakang. Sesekali bibirnya nampak komat kamit seperti sedang merapal mantra.
Purbo masuk ke dalam kamar, menemukan istrinya tengah mendengarkan radio di depan meja rias. Lagu campursari mengalun merdu menenangkan.
"Mas, jemurnya udah?" tanya Dini tanpa menoleh. Dia sibuk memperhatikan cermin di hadapannya.
Purbo tak menyahut. Dia menjatuhkan tubuhnya di sudut ranjang. Purbo masih syok dan ketakutan. Meskipun bisa saja apa yang dilihatnya tadi hanyalah ilusi semata.
"Yang? Jangan jangan aku memang kena guna guna," ucap Purbo gelisah.
"Hah? Kok Mas ngomong gitu? Ada apa?" Dini mematikan radionya. Kini dia menoleh memperhatikan suaminya yang terlentang di atas ranjang.
"Aku baru lihat penampakan," jawab Purbo lirih.
"Dimana Mas? Penampakan apa? Jangan aneh aneh deh Mas. Mana mungkin disini ada penampakan?" Dini mendebat tak percaya.
"Aku berani sumpah Yang. Tadi aku njemur sprei warna putih, terus ada potongan kepala, ngomong ke aku pula. Mengerikan!" Purbo begidik teringat kejadian tadi.
"Sprei putih? Nggak ada sprei putih Mas. Kamu salah lihat mungkin, atau melamun?" Dini mendekat ke ranjang, dan duduk di sebelah Purbo yang nampak pucat pasi.
"Entahlah, aku bingung," sambung Purbo sambil memijat mijat keningnya.
"Yang jelas, suara yang kudengar itu benar benar nyata. Aku yakin sekali," lanjut Purbo.
"Suara apa Mas?" Dini mengernyitkan dahi, penuh tanya.
"Ya itu penampakannya, ngomong ke aku Din!" Purbo sedikit membentak.
"Ngomong apa?" tanya Dini sekali lagi.
"Pokoknya penampakan itu bertanya padaku. Untuk apa aku ada di tempat ini. Hal yang menurutku paling menakutkan adalah sesuatu yang tidak bisa aku pahami. Dan saat ini, aku benar benar nggak faham apa yang sebenarnya terjadi pada hidupku, Dini," Purbo bangun dari tidurnya, memegangi kepalanya yang terasa berat.
"Mas yang tenang ya. Ada aku di sampingmu Mas," ucap Dini menenangkan. Dia terlihat panik, meskipun mencoba untuk tetap tersenyum.
"Aku merasa aneh Dini. Hidupku seolah baru dimulai kemarin. Hanya dua hari ini saja yang kuingat dalam otakku. Bagaimana dengan hari hari sebelumnya? Kenapa aku bisa lupa, Dini?" Purbo menghela nafas. Emosinya bergejolak. Dia ingin marah, tapi marah pada siapa?
"Mass, aku sudah katakan padamu bukan? Apapun yang terjadi asalkan kita sama sama, kamu sama aku, semua akan baik baik saja. Kita bisa melewatinya kok," Dini menatap Purbo dengan wajah sendu.
Purbo terdiam, memperhatikan raut wajah Dini yang nampak sedih. Hatinya terasa diiris, perih. Bagaimana mungkin sebagai seorang laki laki, dia membuat istrinya yang tengah hamil tua bersedih?
"Maafkan aku," ucap Purbo, kemudian memeluk Dini. Mengecup perut istrinya yang dalam beberapa kesempatan terasa tendangan tendangan kecil dari dalam.
"Mas disini dulu ya, biar ku ambilkan minum. Wedang parem mungkin bisa membuatmu lebih tenang," tukas Dini melepaskan pelukan Purbo. Perlahan, Dini berjalan keluar kamar.
Purbo menghela nafas. Dia merasa beruntung memiliki istri sebaik dan selembut Dini. Mungkin memang benar jika yang dinamakan jodoh itu adalah menyatukan dua perbedaan dalam sebuah hubungan. Bagaimana sifat Purbo yang cenderung labil, mendapatkan istri seperti Dini yang tenang dan kalem.
Sambil menunggu minuman dari istrinya, Purbo merogoh saku celananya dan mengambil liontin bermata manik manik yang tadi dia pungut di tempat jemuran. Purbo membuka liontin itu, dan memandangi foto yang ada disana.
"Apakah aku dulu laki laki nakal? Mungkinkah aku berselingkuh? Atau jangan jangan perempuan di foto ini ada hubungannya dengan kondisiku saat ini?" Pertanyaan demi pertanyaan berputar putar di benak Purbo.
Purbo menutup liontin tersebut. Tak ingin berlama lama menatap foto yang ada di dalamnya. Karena entah bagaimana, wanita yang ada di dalam foto itu membuat dada Purbo berdesir. Seakan ada rindu dan perasaan yang sulit diungkapkan.
Takut dengan perasaannya sendiri, Purbo memasukkan kembali liontin itu ke dalam saku celananya. Dia mengalihkan pikirannya pada radio yang tergeletak di atas meja rias. Radio yang kemarin sempat disangka rusak, nyatanya masih berbunyi merdu kala digunakan istrinya.
Purbo duduk di meja rias, memperhatikan radio yang terkesan lawas itu. Dia memutar tombol untuk menyalakannya. Suara berdenging langsung terdengar memekakkan telinga.
"Bukannya tadi lagu campursari?" gumam Purbo jengkel.
Sedikit kasar Purbo memutar mutar tombol untuk mengganti frekuensi siaran. Hanya bunyi bunyian tak jelas yang terdengar. Seperti plastik yang digesek gesekkan secara sembarangan.
Purbo hampir menyerah, hendak mematikan radio karena terasa berisik dan mengganggu. Hingga tiba tiba sebuah lagu pop lama terdengar. Lagu dari tahun 90 an yang entah bagaimana dia hafal liriknya. Lagu yang membuatnya rindu. Bersamaan dengan itu, sekelebat gambaran perempuan berpayung hitam terlintas di otak Purbo.
"Bukankah kamu telah berjanji mengajakku liburan ke pantai setelah pekerjaan selesai?" ucap perempuan berpayung hitam.
Purbo ingin melihat wajah perempuan itu, namun tak bisa. Perempuan itu berjalan menjauh. Lagu pop yang mengalun merdu di radio telah usai, menyisakan suara berdenging yang menganggu dan menyadarkan Purbo dari lamunannya.
Pada saat itu, Dini masuk ke dalam kamar, membawa secangkir wedang parem hangat yang mengepulkan asap putih tipis. Tanpa diminta, Purbo segera menenggak minuman hangat itu hingga tandas. Dan seperti yang sudah terjadi sebelumnya, perasaan dan hati Purbo kembali tenang.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Yuli a
minum lagi... minum lagi...
udah lah Pur, nanti makin mabuk Lo...
pusing karena minuman ini mah...🤣
2025-01-22
1
Zuhril Witanto
jampi2 nih
2024-02-08
1
istiqlal👻👻
perasaan ya parem bukn buat olesan kalau lagi pegel2 gitu ya..terkhusus buat perempuan hbis melahirkan.
2023-12-26
2