Limo

Ruang makan terletak di bagian belakang. Purbo dan Dini berjalan melewati bilik bilik kamar tidur, kemudian sampai di sebuah ruangan yang cukup luas dengan warna cat putih kusam. Hanya ada sebuah lemari usang di sudut ruangan. Beberapa figura kosong terpasang di dindingnya. Sarang laba laba nampak bergelantungan di tepian figura yang terbuat dari kayu itu.

"Yangg, ini ruangan apa sih? Kok kosong?" tanya Purbo celingak celinguk.

"Mas juga nggak ingat ini ruang apa?" Dini geleng geleng kepala.

"Ini tuh ruang kerja kita Mas," lanjut Dini menghela nafas.

"Ruang kerja kita?" Purbo menghentikan langkah, mengedarkan pandangan dengan ekspresi tak percaya. Dia masih tetap merasa asing dengan seluruh bagian rumah. Meskipun Dini sudah berkali kali meyakinkan bahwa ini adalah rumahnya.

"Memangnya apa pekerjaan kita?" sekali lagi Purbo bertanya.

Wajah Dini berubah sendu. Sorot matanya menggambarkan kesedihan. Tenggorokannya tercekat, dia berdehem sejenak. Kemudian menyandarkan kepalanya di dada bidang Purbo. Dini memeluk suaminya itu.

"Pekerjaan kita melukis Mas. Lemari di sudut ruangan itu berisi kuas, kanvas, cat minyak, dan beberapa peralatan lukis," terang Dini, masih mendekap Purbo. Suaranya terdengar bergetar.

"Aku benar benar nggak ingat," Purbo masih termenung.

"Jangan jangan ada yang salah dengan memori otakku Yang," ucap Purbo. Wajahnya berubah ketakutan.

"Tenang Mas. Selama Mas ingat aku, nggak akan ada masalah. Yang kita butuhkan hanyalah perasaan saling memiliki. Aku akan membuatmu ingat semuanya. Yang terpenting kita bisa sama sama. Meskipun seandainya di dunia ini tidak ada siapapun lagi, asalkan aku bersamamu itu sudah cukup Mas," Dini meraih wajah Purbo, menatap mata cokelatnya dalam dalam.

"Yah benar juga. Aku nggak perlu takut apapun, selama bersamamu," sahut Purbo. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Dini ikut tersenyum malu malu melihat suaminya yang gagah dan rupawan.

Purbo dan Dini kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan ruang kerja yang terkesan tak terurus itu. Dini menyibak korden yang ada di ujung ruangan dan sampailah mereka di ruang makan.

Ruang makan berukuran sekitar 3 x 5 meter. Dengan lampu gantung kuno memancarkan cahaya kekuningan yang klasik. Di tengah ruangan ada sebuah meja makan berbentuk kotak dengan 4 kursi rotan yang sedikit usang. Sebuah tudung saji tergeletak rapi di atas meja. Sementara di sudut ruangan ada dua buah rak dan meja berbahan logam, serta satu lemari kecil dari kayu yang sedikit berjamur.

Purbo mengedarkan pandangan, dan mengamati. Tembok ruang makan juga bercat putih. Sebuah jam dinding besar terpasang di salah satu sisi. Jam dinding yang tak berdetak. Mungkin kehabisan baterai. Di ujung ruangan ada pintu ber cat hitam. Pintu yang desainnya berbeda dengan bagian depan rumah, kayu polos tanpa ukiran atau hiasan.

Dini menyeret salah satu kursi dan duduk di depan meja makan. Purbo memperhatikan istrinya itu. Ada rasa iba di benak Purbo. Bagaimana perjuangan seorang perempuan menjaga janin di dalam perutnya. Untuk duduk nyaman pun terlihat kesulitan.

"Gimana sayang, apakah perutmu masih terasa tidak nyaman?" tanya Purbo. Dia ikut duduk di sebelah Dini, kemudian mengelus elus perut istrinya itu.

"Mmm, si dedek sepertinya sudah tenang Mas," Dini tersenyum menatap Purbo.

Terdengar bunyi pintu terbuka. Mak Nah berjalan masuk ke ruang makan membawa nampan berisi potongan buah buahan. Ada manggis dan pisang emas yang terlihat segar.

Mak Nah meletakkan buah buahan itu di atas meja. Kemudian dia membuka tudung saji. Serta merta asap putih mengepul di atas meja makan. Masakan Mak Nah masih hangat. Aroma wangi, lezat dan menggiurkan menyapa hidung Purbo dan Dini yang sudah merasakan lapar.

"Silahkan. Hari ini saya masak makanan kesukaan Tuan Purbo. Nasi gurih, ayam lodho, urap, serta sambal pete. Tak lupa perkedel kentang," ucap Mak Nah sambil tersenyum.

Mak Nah beranjak mengambil dua buah gelas dan kendhi yang terletak di atas rak. Kemudian meletakkan gelas itu di hadapan Purbo dan Dini. Mak Nah menuangkan air yang ada di dalam kendhi. Betapa terkejutnya Purbo saat melihat air yang keluar dari dalam kendhi berwarna merah pekat kehitaman.

"Mak? Air apa itu?" Purbo melotot memandangi Mak Nah yang menahan tawa.

"Tadi, istri njenengan cerita sama saya. Njenengan jadi aneh hari ini, lupa sama rumah, lupa sama saya juga. Nah ini jamu racikan saya sendiri Tuan. Warna merah ini berasal dari darah ayam cemani. Fungsinya biar njenengan nggak ada yang mengganggu jiwa dan batinnya," terang Mak Nah sambil tersenyum.

"Hah? Darah? Jadi, aku harus minum darah Mak?" tanya Purbo terhenyak.

"Iya Mas, itu jamu," jawab Dini.

"Tapi kan,"

"Untuk jamu Mas, boleh nggak pa pa," sergah Dini memotong ucapan Purbo. Dia meyakinkan Purbo untuk meminumnya.

"Monggo, silahkan njenengan minum," Mak Nah menyodorkan air 'jamu' yang ada di gelas.

Purbo masih ragu ragu. Dia menatap air merah itu. Kemudian beralih memandang Mak Nah, dan yang terakhir menatap Dini. Istrinya itu tersenyum dan mengangguk meyakinkan.

Glekk

Purbo menelan ludah. Meski ragu, akhirnya dia meminum air merah yang dikatakan jamu itu. Awalnya terasa sedikit pahit dengan aroma anyir. Namun setelah tegukan pertama, rasa berubah menjadi agak manis dan gurih.

"Gimana rasanya Mas?" tanya Dini sesaat setelah Purbo menghabiskan minumannya.

"Awalnya aneh, tapi kemudian jadi kayak sup ya. Gurih gurih gimana gitu," jawab Purbo menerangkan.

Dini dan Mak Nah saling bertukar pandang. Tanpa Purbo sadari seulas senyum tersungging di bibir Dini yang merona.

"Kuambilkan nasi ya Mas," ujar Dini kemudian.

"Aku bisa sendiri Yangg. Kamu duduk saja, biar aku yang mengambilkan nasi untukmu," Purbo meraih tangan Dini dengan lembut, memintanya untuk tetap duduk. Dengan cekatan, Purbo mengambil nasi untuk dirinya sendiri, juga untuk istrinya.

"Kamu yang banyak lho maem nya. Ada si dedek di perutmu," ucap Purbo menasehati istrinya. Dini mengangguk pelan.

"Waahh Tuan dan Nyonya selalu bisa membuat saya kagum. Kehidupan rumah tangga yang selalu mesra dan saling menyayangi. Bahkan Rama dan Sinta pun bisa iri melihat njenengan berdua," goda Mak Nah. Dini nampak tersipu malu.

"Maaf nih Mak. Aku jadi kepikiran. Kalau Mak Nah sudah berkeluarga juga kan?" tanya Purbo tiba tiba.

"Dulu pernah, tapi gagal. Kalau sekarang saya fokus mengurus keluarga njenengan," ucap Mak Nah sungguh sungguh.

"Sudah Mas, jangan ngomong terus di meja makan," sergah Dini mengingatkan.

Purbo tersenyum, kemudian menyantap sajian yang dikatakan Mak Nah sebagai makanan kesukaannya itu. Namun, ada yang mengganjal di sudut hati Purbo. Benarkah lodho nasi gurih adalah makanan kesukaannya? Purbo masih merasa bimbang dan bingung dengan kehidupannya saat ini.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

darah kok diminum..., jangan lah Purbo....

2025-01-22

1

Karin Nurjayanto

Karin Nurjayanto

dini dan mak nah kayak e memedi deh 😁

2025-01-15

1

K & T K & T

K & T K & T

sampe limo msh bingung🙄

2025-03-25

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!