Nembelas

Meskipun Dini berkali kali meyakinkan Purbo kalau mereka sudah lama tinggal di rumah pedalaman hutan itu, namun perasaan Purbo tetap mengatakan dia berada di tempat asing. Bagi Purbo, saat ini adalah malam ketiga dirinya berada di desa Ebuh.

Selama tiga hari ini pula, Purbo selalu melewatkan waktu beribadahnya. Bahkan dia sudah mulai terbiasa dengan kesunyian, tak pernah sekalipun mendengar suara adzan. Dan di setiap kesempatan, wedang parem Mak Nah terus menerus dia konsumsi. Rasa hangat dan nyaman, membuat Purbo merasa kecanduan.

Suara derik jangkrik menjadi teman malam yang sunyi. Beberapa koran bekas tergeletak di laci meja ruang tamu. Purbo mengambilnya dan membolak balik kertas berisi artikel awal tahun 2000 an itu.

Dini menyusul suaminya ke ruang tamu. Dia berjalan sembari memegangi perutnya yang terlihat bulat menggantung.

"Kenapa nggak istirahat di kamar saja sih Mas?" tanya Dini setelah duduk di sebelah Purbo.

"Boring Yang. Ini koran kok dari tahun 2000 2001 ya Yang. Yang tahun sekarang nggak ada kah?" Purbo balik bertanya.

"Yahh, mungkin itu koleksinya Mak Nah," sahut Dini acuh.

"Aku tuh ngerasa kita kayak terisolir. Desa ini ada di pedalaman hutan, antena TV tak terjangkau, HP ku terkunci pula. Hmm, apa sebaiknya besok aku ke kota ya buat benerin HP? Sekalian mau manasin mobil Yang," ucap Purbo.

"Jangan besok deh Mas," sahut Dini cepat.

"Lhah kenapa?" tanya Purbo heran.

"Besok aku mau ngajak kamu ke tempat Mbah Modo," sambung Dini.

"Ngapain Yang?" Purbo semakin penasaran.

"Ya sowan. Kamu kan sering dapat gangguan Mas. Kurasa perlu untuk menghadap Mbah Modo," jelas Dini.

Purbo tak menyahut. Sudut hatinya tak terlalu setuju dengan ajakan Dini. Bagi Purbo lebih penting untuk pergi ke kota, menyegarkan pikirannya yang terasa bermasalah. Tapi, tak mungkin juga dia menolak ajakan Dini.

"Ya kamu atur saja deh," ucap Purbo mengalah.

Dini tersenyum sumringah. Kemudian dia menyandarkan kepalanya di bahu Purbo. Setiap melihat bahu Purbo, Dini selalu tak bisa menolak keinginannya untuk bersandar disana. Bagi Dini, Purbo adalah rumah. Segala penat, lelah bahkan rasa sakit pun lenyap saat tubuhnya berdekatan dengan Purbo.

Dengan lembut Purbo mengusap usap rambut Dini. Purbo hendak mengecup kening istrinya itu, saat dirinya menyadari ada banyak helai rambut di tangannya. Rambut Dini rontok parah.

"Yang, rambutmu kenapa?" tanya Purbo dengan tatapan nanar. Dia khawatir dengan kesehatan istrinya yang tengah hamil tua itu.

Dini buru buru bangkit dan duduk menjauh dari suaminya. Dia meraba mahkota kepalanya, dan benar saja, helai demi helai rambut berjatuhan ke lantai.

"Yangg, kamu kenapa?" tanya Purbo cemas.

"Emmm kayaknya salah sampo Yang," jawab Dini beralasan.

"Aku tak ke belakang dulu sebentar," lanjut Dini. Dia langsung berdiri dan berjalan tergesa gesa meninggalkan Purbo yang masih kebingungan.

Purbo ikut beranjak dari duduknya. Dia berjalan menyusul Dini. Rasa khawatir membuat dadanya terasa sesak. Purbo takut Dini sedang kurang sehat, tapi tak mau berterus terang padanya.

"Yang? Dini? Kamu kenapa?" tanya Purbo setengah berlari. Namun Dini tak terkejar. Dia sudah menghilang. Begitu cepat jalan perempuan itu, padahal tengah hamil tua.

Melewati ruang kerja, akhirnya Purbo sampai di depan bilik kamar mandi. Mak Nah terlihat berdiri di depan salah satu pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

"Mak, Dini dimana?" tanya Purbo sambil mengatur nafas.

"Sedang di dalam kamar mandi Tuan," jawab Mak Nah sedikit membungkuk.

"Din! Dini? Kamu baik baik saja kan?" tanya Purbo setengah berteriak.

Duk duk duk

Karena tak ada jawaban Purbo menggedor gedor pintu kamar mandi.

"Din? Kamu kenapa? Buka pintunya Din!" teriak Purbo tak sabar.

"Maaf Tuan. Njenengan tenang saja, jangan mengganggu, biarkan Nyonya Dini bebersih," Mak Nah menarik lengan Purbo. Tenaganya terasa cukup kuat padahal usia Mak Nah sudah renta.

"Hah? Tenang gimana Mak? Coba jelaskan padaku, Dini sedang sakit apa?" Purbo memelototi Mak Nah, namun perempuan itu tetap tersenyum tenang.

"Nyonya tidak sakit Tuan. Percaya sama saya. Sebentar lagi istri njenengan akan keluar dari kamar mandi dengan senyumnya yang cantik mempesona," jawab Mak Nah kalem.

"Sudah gila apa!" Purbo hendak mengumpat, tapi masih bisa menahan diri karena di depan orang yang lebih tua.

"Mak coba jelaskan padaku, ada apa dengan Dini? Rambut rontok itu memang hal yang wajar, tapi nggak sebanyak ini juga!" bentak Purbo sambil menunjukkan gulungan rambut di genggamannya.

"Nggak pa pa Tuan. Njenengan diam saja dan tunggu. Nyonya hanya salah sampo kok," Mak Nah terus mengulang jawabannya.

Purbo geram dan kehabisan kesabaran. Dia hendak mendobrak pintu kamar mandi, hingga tiba tiba pintu terbuka dari dalam. Dini berdiri di ambang pintu dengan rambutnya yang basah.

"Hey, kamu nggak pa pa kan?" tanya Purbo sambil meraih tangan Dini. Dia menggenggam erat jari jemari yang kecil runcing itu.

"Nggak pa pa Mas," jawab Dini kalem.

Purbo mengendus aroma wangi bunga yang menyengat dari badan Dini. Kemudian Purbo melongok ke dalam kamar mandi. Ada sebuah ember hitam besar berisi air rendaman berbagai macam jenis bunga. Asap tipis mengepul, yang artinya air dalam ember adalah air panas.

"Kamu mandi? Secepat itu? Untuk apa? Pakai air kembang pula," Purbo bertanya heran.

"Aku nggak mandi Mas. Hanya membilas rambutku saja memakai ramuan Mak Nah," ucap Dini santai.

"Tapi aku langsung menyusulmu tadi. Bagaimana bisa secepat itu kamu sudah membilas rambut? Dan lagipula untuk apa itu semua? Jelaskan padaku! Jangan membuatku bingung," Purbo menatap Dini dan Mak Nah bergantian.

"Tuan tidak usah bingung. Nanti njenengan juga bakal terbiasa. Intinya njenengan saat ini lupa dengan adat kebiasaan warga desa Ebuh," sahut Mak Nah.

"Kebiasaan apa? Ah, jangan aneh aneh!" Purbo merasa jengkel.

"Sudahlah Mas, yang penting lihat nih rambutku sudah nggak rontok lagi," Dini menarik narik rambut panjangnya. Terlihat kuat dan tidak mudah rontok.

"Hah?" pekik Purbo. Dia ikut mencoba sedikit menjambak rambut Dini, namun rambut itu tetap kokoh tertancap di kulit kepala istrinya.

"Apapun itu, kurasa kamu perlu periksa ke dokter," Purbo masih khawatir dengan keadaan istrinya.

"Aku nggak pa pa Mas. Percayalah," ucap Dini meyakinkan.

"Kamu membuatku ketakutan Din," Purbo merangkul Dini, memeluknya erat. Anehnya Purbo merasa nyaman, suhu tubuh Dini tidak dingin seperti biasanya.

"Kamu nggak dingin lagi Din," ucap Purbo heran. Dia menempelkan punggung tangannya di dahi Dini. Benar saja, suhu tubuh istrinya itu terasa wajar. Suhu hangat seperti manusia pada umumnya.

"Ehem!" Mak Nah berdehem.

"Njenengan berdua waktunya istirahat. Sudah larut malam. Saya mau mengunci pintu rumah dulu," ucap Mak Nah sambil tersenyum.

"Hmmm, Mak Nah benar," sambung Dini kemudian menggamit lengan Purbo, dan mengajaknya ke kamar tidur. Seperti terhipnotis, Purbo hanya bisa pasrah dan menurut.

Setelah memastikan kedua majikannya pergi tidur, Mak Nah masuk ke dalam bilik kamar mandi. Dia menumpahkan ember berisi air rendaman kembang yang tadi dipakai Dini untuk membilas kepalanya. Di dasar ember, nampak untaian rambut hitam legam yang panjang, penuh dengan belatung dan serangga serangga kecil lainnya. Aroma busuk bercampur dengan aroma wangi bunga menguar di udara.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

duh.......

2025-01-22

3

Nur Bahagia

Nur Bahagia

duh jadi takut lanjutin baca..takut ending nya Dini sedih 🥺 tp penasaran sama ceritanya.. gimana inii

2024-02-11

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

astaghfirullah...kunti

2024-02-08

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!