Pitulas

Tidur yang sangat lelap dan panjang, itulah yang Purbo rasakan setiap malam. Pagi ini dia bangun dan menemukan Dini di sebelahnya masih dalam keadaan mata terpejam. Purbo mengamati wajah istrinya yang tengah tertidur itu.

Rambut Dini hitam, panjang dan terurai. Terlihat cantik mengenakan piyama putih berenda. Kulitnya yang putih sedikit pucat dengan bibir mungil merona bagaikan buah ceri yang telah ranum.

Purbo menyentuh dahi Dini pelan pelan, takut mengganggu tidurnya. Dahi yang biasanya terasa beku itu pagi ini berubah sedikit hangat. Purbo juga mengamati rambut Dini yang tadi malam sempat mengejutkannya karena secara tiba tiba mengalami kerontokan yang parah.

Rambut yang tetap terlihat lebat dan indah. Ada aroma wangi bunga melati yang tertinggal, tercium semerbak di indera penciuman Purbo. Di antara helai rambut hitam legam itu, terselip rambut berwarna putih mengkilap. Purbo tersenyum lebar. Seakan menemukan sebuah mainan, sifat jahil laki laki berhidung mancung itu keluar.

Sambil menahan nafas, Purbo menarik satu helai rambut yang berwarna putih keperakan itu. Berharap uban segera terlepas dari kulit kepala istrinya. Dan Purbo hendak menertawai Dini yang sudah memiliki tanda penuaan.

Ternyata, uban tak mau lepas dari kulit kepala Dini. Semakin Purbo menariknya semakin panjang pula uban itu. Bagaikan benang baju yang ditarik malah merusak jahitan yang lainnya. Begitulah, Purbo heran dibuatnya.

Tidur Dini tak terusik meski Purbo terus menarik rambut yang memutih di kepalanya. Sampai akhirnya rambut putih itu terlepas. Purbo memandangi satu helai rambut yang sangat panjang itu, memenuhi genggaman tangannya.

Purbo kali ini memeriksa kepala Dini. Bagaimana mungkin ada rambut yang tertanam sangat panjang di kepala istrinya? Sungguh di luar nalar, Purbo juga menemukan retakan retakan di kulit kepala Dini.

Jakun Purbo naik turun melihat keanehan di depan matanya. Purbo mulai berkeringat. Dikuasai oleh rasa penasaran, dia menyentuh retakan pada kepala Dini. Di kulit kepala istrinya itu, seperti ada bekas jahitan yang kini sudah lepas. Aroma wangi kembang yang tadi begitu semerbak, kini berganti dengan aroma busuk menyengat.

Jari Purbo yang menyentuh kulit kepala Dini, merasakan sensasi lembek dan lengket. Kulit kepala istrinya terkelupas oleh sentuhan Purbo. Menampakkan daging berwarna ke ungu an dengan beberapa belatung yang menggeliat menjijikkan.

"Mas sedang apa?" Sebuah suara terdengar dari luar kamar.

Refleks Purbo menoleh. Ada Dini yang berdiri di ambang pintu kamar, memegangi perutnya. Purbo tersentak, matanya membulat, sementara tengkuknya mulai meremang hebat. Jika Dini sedang berdiri di depan pintu, lalu siapa yang tengah tidur di sebelahnya.

Purbo kembali menoleh, melihat sosok perempuan yang tadi dia kira istrinya itu. Dan ternyata, sosok itu telah lenyap. Hanya ada guling berbungkus selimut warna putih tergeletak di atas sebuah bantal.

"Mas, kenapa sih?" Dini bertanya sekali lagi. Dia berjalan mendekati Purbo yang nampak kebingungan.

Purbo mengatur nafas, memegangi dadanya yang terasa nyeri. Saat Dini mendekat padanya, Purbo terlihat sedikit menghindar. Dia masih syok. Otaknya berusaha mencerna apa yang telah terjadi.

"Mas kenapa?" tanya Dini sekali lagi.

Purbo tak menjawab. Dia malah meraih kepala Dini. Sedikit menekan ubun ubun Dini, dan memeriksa helai demi helai rambut istrinya itu.

"Hey, Mas kenapa? Kenapa rambutku diacak acak?" Dini melotot tajam pada Purbo. Istri mana yang tidak jengkel, suami yang baru bangun tidur langsung bertingkah aneh.

"Bangun tidur, bukannya ngecup kening istrinya malah meraba ubun ubun. Emangnya Mas nyari paku?" tanya Dini setengah bercanda.

"Hah? Emang ada?" Purbo balik bertanya dengan wajah serius.

"Ha ha ha, ya nggak lah, itu cuma ada di khayalan saja," Dini tergelak, tawanya pecah nyaring di pagi hari.

"Kamu itu lho kenapa Mas? Ah, risih aku kamu tekan tekan kepalaku," ucap Dini manja.

Purbo menghela nafas, memijat mijat keningnya sendiri.

"Aku hanya mimpi sepertinya," ucap Purbo kemudian.

"Hmmm, yasudah cepet mandi sana gih," perintah Dini.

"Hah? Kok mandi? Emang aku bau ya?" Purbo mengendus endus kaos yang dikenakan.

"Bukan begitu, Mas lupa ya kita mau sowan ke Mbah Modo," jawab Dini.

"Oh iya," Purbo menepuk dahinya sendiri.

Purbo segera berdiri, namun Dini menarik lengan suaminya itu.

"Apa lagi?" Tanya Purbo heran.

"Hmm hmm," Dini menyodorkan pipinya dengan manja. Purbo tersenyum dan mendaratkan sebuah kecupan mesra.

"Aku mandi dulu," ucap Purbo menyambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar. Kemudian setengah berlari menuju ke kamar mandi.

Dini hanya geleng geleng kepala melihat tingkah suaminya. Mungkin memang benar, se dewasa apapun laki laki kelakuannya seringkali tetap seperti bocah.

Setelah Purbo pergi, Dini mengambil kemoceng di dalam laci lemari. Dengan telaten dia membersihkan tempat tidur suaminya. Saat Dini melipat selimut, dia melihat beberapa ulat dan belatung menggeliat di dalam lekukan kain katun berwarna putih itu.

Buru buru Dini mengambil plastik dan memasukkan serangga serangga menjijikkan itu ke dalamnya. Dini segera menemui Mak Nah yang tengah menyapu di halaman depan rumah.

"Mak, lihat ini," ucap Dini sambil menyodorkan plastik berisi belatung.

"Darimana njenengan dapat ini?" tanya Mak Nah penuh selidik.

"Di atas tempat tidur Mas Purbo," sahut Dini. Perempuan itu terlihat cemas.

"Ini bukan dari tubuh njenengan Nyonya. Karena saya yakin tadi malam sudah membersihkannya," ujar Mak Nah.

"Lalu, suami njenengan gimana?" tanya Mak Nah lagi.

"Entahlah Mak. Kelihatannya Mas Purbo tidak lihat ada ulat ini di tempat tidurnya. Tapi waktu Mas Purbo bangun tidur tadi, dia bersikap aneh. Mas Purbo memijat mijat kepalaku. Apa jangan jangan dia mulai curiga?" tanya Dini gusar.

"Rasanya nggak mungkin. Ini kan baru hari ke empat," sergah Mak Nah. Dini nampak menggigiti kuku jarinya sendiri.

"Njenengan juga jangan sembrono. Jangan sampai lupa mandi kembang," ucap Mak Nah mengingatkan.

"Hari ini jadi kan ke rumah Mbah Modo?" Mak Nah bertanya sambil menatap Dini yang terlihat gelisah.

"Jadi Mak. Apapun akan kulakukan untuk mempertahankan kebahagiaanku ini. Aku nggak mau ditinggalkan sendirian lagi Mak," Dini mendengus. Kakinya dihentak hentakkan ke tanah.

"Iya percaya saja sama saya. Tapi tolong jangan bertingkah berlebihan dengan menghentak hentakkan kaki njenengan. Ingat bayi di dalam perut njenengan itu lebih berharga dari apapun yang ada di desa ini!" Mak Nah menekankan kalimatnya.

Dini langsung terdiam.

"Nyonya, sudah lama saya ingin menyampaikan hal ini pada njenengan. Tidak perlu ragu melakukan apapun untuk kehidupan njenengan. Karena yang namanya kebahagiaan itu layak untuk diperjuangkan. Saya akan selalu ada di samping njenengan untuk menjadi pendukung nomor satu," ucap Mak Nah sembari menggenggam erat tangan Dini.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

tadinya udah deg degan banget.. takutnya pas dicabut berubah jadi sesuatu....🤣

2025-01-22

1

Yuli a

Yuli a

entah mau kasihan sama dini atau Purbo...😄

2025-01-22

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

dini mayit

2024-02-09

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!