Duk duk duk duk
Suara pintu diketuk bertubi tubi. Pintu kamar di sebelah kiri tempat Purbo berdiri. Semakin jelas, suara itu berasal dari daun pintu yang tidak memiliki gagang kunci.
Purbo mendekat perlahan. Disentuhnya daun pintu berbahan kayu jati itu. Ukiran meliuk dengan gambar segi enam di bagian tengahnya. Tak ada lagi suara ketukan pintu yang sedari tadi mengganggu. Purbo menempelkan telinganya pada pintu. Hening, tak terdengar bunyi apapun.
"Tuan? Njenengan sedang apa?" tanya Mak Nah tiba tiba. Purbo terkejut, sedikit terlonjak dan mundur menjauhi pintu.
Mak Nah berdiri menggandeng tangan Dini. Purbo memperhatikan wajah istrinya, terasa sedikit berbeda. Perempuan cantik itu nampak lebih sumringah dibanding saat dia mengeluh perutnya bermasalah tadi.
"Emm, Dini kenapa Mak Nah?" tanya Purbo setelah diam beberapa saat.
"Tidak apa apa kok. Monggo segera istirahat saja," jawab Mak Nah, kemudian beringsut mundur.
"Kalau aku kenapa kenapa, itu artinya satu Mas," ucap Dini sambil tersenyum.
"Hah? Apa itu?" tanya Purbo tak mengerti.
"Artinya aku kurang kasih sayang," Dini tergelak. Tawanya yang nyaring pecah. Purbo cemberut merasa dikerjai.
"Sudah ah, yuk ke kamar. Kita tidur siang. Aku capek, Mas juga capek," ajak Dini.
"Ini jam berapa sih?" tanya Purbo, celingak celinguk tak menemukan penunjuk waktu.
"Jam 2 siang Mas," jawab Dini cepat.
"Kok kamu tahu?" tanya Purbo lagi.
"Kan ada HP Mas. Lihat sendiri di HP mu Mas," Dini melengos, membuka salah satu bilik kamar yang berhadapan dengan kamar aneh tadi.
Purbo mengekor di belakang Dini. Dia merogoh saku celananya, dan menemukan sebuah HP berwarna hitam disana. Purbo memencet tombol di bagian kanan, HP menyala menunjukkan layar yang terkunci. Tertulis di layar pukul 14.11.
Memasuki kamar tidur, Purbo cukup takjub dengan desainnya yang klasik. Warna cokelat muda mendominasi. Dengan ranjang yang terbuat dari besi berkelambu putih. Ranjang yang terkesan jadul nan antik.
Dini duduk di depan meja rias yang sederhana. Dia melepas ikatan rambutnya. Membiarkan rambut hitam legam itu terurai panjang. Dini mengambil sisir besar berwarna hijau tua di atas meja rias. Membelai rambutnya sebentar, kemudian menyisirnya perlahan sambil mendendangkan sebuah lagu berjudul 'Putih'.
"Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulan
Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan
Tegang, membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga
Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar ke ruang tengah
Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah,"
Dini berdendang lirih. Suaranya pelan, terdengar merdu dan menggema dalam kamar. Lagu yang indah, namun membuat bulu kuduk Purbo meremang hebat.
"Yangg?" Purbo memanggil Dini perlahan.
Secara tiba tiba Dini menghentikan aktivitasnya menyisir rambut. Bibirnya masih terlihat bergerak, seakan tetap meneruskan berdendang namun tak ada suara yang terdengar. Keheningan yang tak nyaman langsung terasa di dalam kamar.
"Ya yaanngg?" Purbo mengulangi panggilannya.
"Ada apa Mas?" kali ini Dini menyahut, tak menoleh. Dia terus menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Ah nggak. Aku hanya mau bilang suaramu bagus. Tapi, pemilihan lagumu membuatku takut yang," ucap Purbo mengusap usap tengkuknya. Dini terkekeh lirih.
"Hmmm, memangnya Mas mau dinyanyi in lagu apa?" tanya Dini masih terkikik.
"Lagu dangdut mungkin. Bisa nggak?" Purbo tersenyum kemudian duduk di sudut ranjang.
"Mas Purbo mau tidur apa mau nyawer? Hah?" Dini pura pura cemberut.
"Ha ha ha," Purbo tertawa. Badannya yang kekar nampak berguncang guncang.
Purbo kembali meraih HP nya. Dia hendak membuka layar yang terkunci, namun lupa kombinasi angka yang digunakan sebagai password.
"Duh, kamu tahu berapa password ku yang?" tanya Purbo sambil memandangi layar HP nya.
"Aku nggak tahu Mas," jawab Dini. Wajah cantiknya tiba tiba terlihat sendu.
"Mas juga lupa password HP?" Dini balik bertanya. Purbo mengangguk cepat.
"Hmmm, mungkin Mas sebaiknya tidur deh. Kupikir Mas kelelahan. Pikiran Mas perlu diistirahatkan," Dini memberi saran.
Perlahan ibu hamil itu beranjak dari meja riasnya. Dini merangkul Purbo. Mengusap pundak suaminya itu sepenuh hati.
"Mas, aku beruntung sekali memilikimu," ucap Dini pelan.
"Kita sama sama beruntung sayang. Bisa saling memiliki, baik dalam suka maupun duka," sahut Purbo.
"Tapi Yang, aku merasa tubuhku berbeda hari ini. Entah mengapa aku merasa asing berada disini. Yang kuingat dari semua ini hanyalah kamu. Bukankah ini aneh?" Purbo memijat mijat keningnya.
"Sudahlah Mas. Itu tandanya Mas Purbo butuh istirahat," Dini merangkul Purbo, mengajaknya untuk merebahkan badan di kasur.
Tak ada pilihan lain, Purbo menurut saja. Dia merebahkan badannya di kasur berbahan kapuk yang cukup nyaman. Aroma wangi semerbak tercium dari spreinya. Wangi yang tak asing, wangi yang memabukkan.
Pikiran Purbo teralihkan. Rasa nyaman, nyatanya membuat kantuk datang. Ditambah usapan lembut tangan Dini yang berulang di kepalanya. Dalam sekejap Purbo sudah terlelap.
Dengkuran dengkuran kecil terdengar dari bibir Purbo yang berwarna merah kehitaman. Dini mencoba mengguncang guncangkan bahu Purbo. Memastikan apakah suaminya itu sudah terlelap.
Setelah merasa yakin Purbo sudah tidur, Dini beranjak dari ranjangnya. Dengan memegangi pinggulnya, dia berjalan perlahan keluar kamar. Sedikit berjingkat dia menuju ke teras depan.
Mak Nah berdiri bersedekap, bersandar pada tiang kayu jati menghadap halaman depan. Dini terlihat ragu ragu mendekatinya.
"Mak? Aku kurang yakin dengan semua ini," ucap Dini, masih memegangi pinggulnya.
"Pilihannya ada di njenengan," sahut Mak Nah dingin.
"Bagaimana jika Mas Purbo sadar? Dia pasti akan menyalahkanku atas semua yang terjadi," Dini menghela nafas. Tangannya mencengkeram erat pada tiang rumah. Dia gusar dan khawatir.
"Dia tidak akan sadar. Sekarang saya tanya pada njenengan. Njenengan ingin seperti ini atau tidak? Njenengan bahagia atau tidak?" Mak Nah bertanya, sedikit meninggikan nada bicaranya.
"Ya, kehidupan seperti ini yang selalu kuimpikan Mak. Dulu aku pernah gagal, aku tak ingin gagal lagi disini. Tidak kali ini," bola mata Dini bergetar menahan tangis.
"Njenengan harus jaga suami njenengan. Biarkan kamar itu tetap tertutup. Biar saya yang urus sisanya. Saya itu disini hanya membantu. Keputusan ada di tangan njenengan. Kalau njenengan mau nya begini, ya lakukan dengan tekad bulat. Rawe rawe rantas malang malang putung!" Mak Nah yang berwajah kalem itu terlihat melotot hingga bola matanya menonjol keluar.
"Saya permisi ke belakang. Mau nyiapin makan malam. Nanti kalau Mas njenengan itu sudah bangun, panggil saya. Tak siapin wedang parem," Mak Nah menggenggam tangan Dini sesaat, kemudian berjalan pergi menuju ke dapur.
Dini menghela nafas, memandang jalanan yang berkabut. Sepanjang hari, sepanjang waktu tak pernah hilang kabut dari desa Ebuh.
Bersambung ____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Yulay Yuli
jangan² istrinya kunti
2025-03-20
0
Yuli a
perah gagal....why..??
2025-01-22
0
Zuhril Witanto
ternyata hilangnya ingatan Purbo ada kaitannya dengan dini...kenapa
2024-02-08
0