Aroma minyak kayu putih menusuk hidung. Perlahan Purbo mulai membuka mata. Lampu temaram bersinar di atas kepalanya, terhalang oleh kelambu putih yang berenda.
"Uukkhhh," Purbo menggeliat, kepalanya terasa pening.
Dini yang duduk di sebelah tempat tidur Purbo terlihat gusar dan cemas. Saat Purbo mulai siuman, Dini terdengar menghela nafas lega.
"Syukurlah Mas," ucap Dini sambil menyeka air mata yang ada di sudut netra nya.
"Ah, Dini. Kepalaku pusing," ucap Purbo lirih.
"Kamu tiduran saja ya Mas," Dini mengusap usap dahi Purbo.
"Tanganmu dingin," Purbo merintih, sedikit tersenyum.
"Kok Mas Purbo senyum, apanya yang lucu ih," Dini ikut ikutan tersenyum manja.
"Ya lucu saja. Aku tuh belum bisa terbiasa dengan suhu tubuhmu yang sedingin es. Entah kenapa saat baru siuman gini jadi kepikiran, bagaimana cara kita malam pertama Yang? Aku lupa soalnya," Purbo terkekeh. Dia sendiri merasa heran, kenapa pikirannya sedikit nakal kala baru tersadar dari pingsan. Dini diam saja tak menyahut.
Samar samar terdengar orang bercakap cakap di ruang tamu. Purbo mencoba untuk duduk bersandar pada dinding di belakang tempat tidurnya. Dia diam mendengarkan, siapa gerangan yang ada di ruang tamu rumahnya?
"Yang, suara siapa itu?" tanya Purbo.
"Warga desa Mas. Tadi kamu kan pingsan. Pulang kesini ditandu sama warga," ucap Dini menjelaskan.
"Oh iya. Aku tadi minum kopi pahit banget, terus muntah muntah. Aku pingsan rupanya," Purbo mengingat ingat.
"He em Mas," Dini mengangguk.
"Memangnya kopi apa sih tadi? Kok ada kopi se pahit itu. Mengingatnya saja membuat perutku terasa mual. Rasanya kayak campuran tanah liat dan sesuatu yang busuk, tapi aromanya wangi kembang yang menyengat. Ahhh, aku nggak bisa minum yang seperti itu lagi," Purbo begidik jijik.
"Njenengan dikerjai sama Ceking Tuan," sahut Mak Nah. Dia berjalan masuk ke dalam kamar, membawa nampan berisi wedang parem hangat dan sepiring bubur sumsum.
"Iya kah? Kenapa dia kok sejahat itu ke aku? Apakah aku dulu punya salah padanya?" tanya Purbo meminta penjelasan.
"Tidak ada yang salah dengan njenengan Tuan. Memang si Ceking tak tahu adab. Sampah masyarakat, saya pastikan dia mendapat hukuman," jawab Mak Nah geram.
"Tapi minuman tadi bukan racun kan?" tanya Purbo lagi.
"Bukan Tuan. Tenang saja, njenengan tidak apa apa. Lebih baik minum wedang parem ini, agar perut njenengan terasa lebih nyaman," ucap Mak Nah menyodorkan wedang parem.
Purbo mengangguk, dengan bantuan Dini dia meraih dan meminum wedang parem dari Mak Nah. Perutnya terasa lebih hangat dan nyaman kini.
"Tolong sampaikan ucapan terimakasih untuk warga desa yang sudi mengantar saya pulang Mak," ucap Purbo kemudian.
"Baik Tuan. Mereka sepertinya masih asyik berbincang di ruang tamu. Apa suara mereka mengganggu? Njenengan mau istirahat? Biar saya sampaikan pada mereka," tukas Mak Nah hendak keluar kamar. Namun Purbo mencegahnya.
"Jangan Mak Nah. Biarkan saja. Aku malah seneng kalau semakin banyak orang di rumah ini. Aku lebih pilih ramai kayak gini daripada sepi kayak kuburan," seloroh Purbo.
Seketika Mak Nah terlihat melotot. Dia seperti tidak suka dengan pemilihan kalimat yang diucap oleh Purbo.
"Saya permisi Tuan," ucap Mak Nah, langsung berbalik badan dan keluar kamar.
"Apa aku salah ngomong Sayang?" tanya Purbo pada Dini, setelah Mak Nah pergi.
"Hmmm, Mak Nah tuh nggak suka kalau Mas ngomong sembarangan. Biasa, kan Mak Nah orang sepuh. Pengennya adab, unggah ungguh itu tetap diterapkan Mas. Jadi kalau ngomong yang baik baik saja, begitu," jawab Dini menasehati.
Purbo mengangguk, meskipun dalam hati merasa perkataannya yang tadi tidaklah keterlaluan. Agak aneh juga Mak Nah marah karena Purbo menyebut rumah sepi seperti kuburan.
"Mau makan bubur Mas?" Dini menawarkan bubur sumsum. Purbo mengangguk pelan.
"Maafkan aku ya sayang," ucap Purbo dengan tatapan sendu.
"Maaf? Untuk apa?" tanya Dini heran.
"Ya kamu tengah hamil tua tapi aku malah bikin kamu repot. Adaa aja ulahku. Dari yang lupa segala hal, kini juga malah pake acara pingsan pula," Purbo terlihat benar benar merasa bersalah.
"Mas, jangan meminta maaf. Namanya juga suami istri Mas. Harus saling dukung, ada saat dibutuhkan. Dan tidak meninggalkan pasangannya dalam keadaan sesulit apapun," sambung Dini. Perlahan dia menyuapkan bubur sumsum pada Purbo.
Bubur sumsum yang terasa begitu manis. Entah memang benar manis ataukah rasa itu dipengaruhi oleh suapan dari orang tercinta. Purbo begitu lahap menerima suapan demi suapan dari istrinya.
Sementara itu, ruang tamu yang semula terdengar riuh, kini terasa hening. Tak ada lagi suara orang bercakap cakap. Purbo meminta Dini menghentikan suapannya.
"Orang orang sudah pulang Yang?" tanya Purbo setelah menelan bubur sumsum yang memenuhi mulutnya.
"Kelihatannya sih begitu Mas," sambung Dini.
"Yah padahal aku seneng lho rame. Kalau aku sehat gitu pasti ikutan nimbrung," Purbo menghela nafas pelan, nampak kecewa.
"Besok kalau udah sehat, Mas boleh saja kok main main lagi ke warung sana. Ngobrol tuh sama warga sepuas puasnya," hibur Dini.
"Ah, nanti aku dikerjai lagi jangan jangan," Purbo kembali merasa mual, teringat minuman kopi aneh tadi.
"Nggak bakal. Ceking sudah dihukum kok sama Mbah Modo," sahut Dini sambil tersenyum.
"Mbah Modo itu siapa?" tanya Purbo, merasa ngga kenal dengan nama yang disebut oleh Dini.
"Mbah Modo itu lurahnya desa Ebuh Mas."
"Oohhh, aku belum pernah ketemu," Purbo manggut manggut.
"Ya suatu saat Mas juga bakalan ketemu. Beliau lurah yang sangat perhatian pada warganya. Eh, maem lagi bubur sumsumnya?" Dini kembali menyodorkan satu sendok bubur sumsum.
"Satu ini ya. Aku udah kenyang," Purbo membuka mulutnya saat Dini mengangguk.
"Ngomong ngomong, Mbah Yon sudah pulang Yang?" tanya Purbo, teringat sosok Mbah Yon.
"Mbah Yon? Siapa Mbah Yon Mas?" Dini terlihat bingung.
"Lhah, kakek tua yang tadi nyapu halaman belakang," Purbo menjelaskan.
Dini mengerutkan keningnya. Dia menempelkan punggung tangannya di dahi Purbo.
"Kamu ngipi atau nglindur Mas?" Dini geleng geleng kepala.
"Beneran Yang. Tadi pagi tuh ada kakek kakek nyapu halaman belakang. Orangnya agak pikun, namanya Mbah Yon," tukas Purbo.
"Hmm, ya nanti coba tak tanya pada Mak Nah. Sekarang Mas istirahat dulu ya," Dini tersenyum sekilas, kemudian buru buru membawa nampan berisi piring dan gelas kosong keluar kamar. Purbo dibuat heran dengan tingkah Dini yang tiba tiba berubah aneh.
Dini berjalan ke dapur, meletakkan piring dan gelas kotor di tempat cucian. Mak Nah nampak asyik mengoleskan sirih di mulutnya.
"Mak? Siapa sebenarnya yang sudah mengganggu kita? Tadi Mas Purbo cerita kalau dia ketemu kakek kakek di halaman belakang," ucap Dini jengkel.
"Saya kurang tahu. Mungkin sebaiknya suami njenengan itu kita bawa langsung ke rumah Mbah Modo. Biar dikasih pageran," usul Mak Nah, yang langsung disambut dengan anggukan kepala dari Dini, tanda setuju.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Yuli a
kuburan nih beneran...
2025-01-22
1
Zuhril Witanto
hii.... serem
2024-02-08
1
Erlina Arlena
mkn gk baca bismillah,,
2024-01-11
2