KOBENG
Awan hitam bergerak liar di langit. Beberapa kali kilat menyambar, nampak terang di kaki bukit. Belum ada rintik gerimis yang turun, namun dari kondisi saat ini bisa diprediksi hujan akan datang dengan lebatnya.
Sepasang mata mengerjap- ngerjap. Tangannya menggenggam kemudi mobil dengan erat. Mobil telah menepi tepat di bawah pohon akasia yang besar dan rindang.
"Mas Purbo kenapa?" suara seorang perempuan, duduk di kursi sebelah kemudi.
Laki laki bernama Purbo Kusworo itu sedikit merasakan pening di pelipisnya. Dia memijat mijat bagian kepalanya yang terasa berdenyut. Setelah pusing agak mereda, dia menoleh menatap perempuan yang duduk di sebelahnya.
Perempuan bernama Dini Styorini, berparas cantik dengan tahi lalat kecil di ujung hidungnya. Perempuan itu sedang mengandung delapan bulan. Perutnya nampak besar, menggantung dan bulat. Berdasarkan mitos, hal itu menandakan janin yang ada di dalam kandungan berjenis kelamin laki- laki.
"Aku agak pusing sayang," jawab Purbo sembari melemparkan senyuman tipis pada Dini. Detik berikutnya, Purbo mengelus elus perut istrinya itu.
"Sehat sehat yaa," ucap Purbo. Dia mendaratkan kecupan di perut sang istri.
"Mas, besok besok kalau nyetir tuh sabuk pengamannya dipakai," sahut Dini mengingatkan.
"Wahh, iya ya aku nggak masang sabuk pengaman. Gampang lupa aku sekarang, duh," ucap Purbo, menepuk dahinya sendiri.
"Aku masih agak bingung nih. Kita baru darimana sih?" Purbo menurunkan kaca jendela mobil dengan ekspresi yang terlihat bingung.
"Mas, jangan becanda deh. Nggak lucu. Emangnya Mas amnesia apa gimana sih?" Dini mengernyitkan dahi, merasa Purbo tengah bergurau.
"Beneran sayang, entah kenapa kepalaku tadi terasa pusing, dan aku jadi lupa kita baru darimana sih?" Purbo mengulang pertanyaannya.
"Kita kan baru periksa dari dokter kandungan Mas. Nih buku KIA nya," jawab Dini menyodorkan buku bersampul merah muda itu pada suaminya. Purbo tersenyum manggut manggut.
"Ayuk Mas, kita segera pulang. Kelihatannya mau hujan lebat tuh," Dini menunjuk langit yang berwarna hitam kelam.
Dini segera membuka pintu mobil. Udara dingin masuk menusuk kulitnya yang putih mulus. Dini mengusap usap lengannya, sedikit heran kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Duh, dingin banget ya," gumam Purbo menyusul keluar dari mobil.
Purbo melepas jaket kulit yang dia kenakan, dan memakaikannya pada Dini. Dia tak ingin istrinya yang tengah hamil tua itu kedinginan.
"Kenapa juga kita dulu bikin rumah di pedalaman gini," gerutu Purbo.
"Huuss, bersyukur Mas, bersyukur. Ingat, di luar sana banyak orang yang ingin punya rumah tapi belum kesampaian. Ada yang setelah menikah masih tinggal dengan mertuanya, tiap hari merasa nggak nyaman. Ada juga yang ngontrak dengan tagihan bulanan yang bikin melotot. Kita wajib bersyukur, meskipun akses ke rumah kita hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, setidaknya ini rumah kita sendiri," Dini mendekati Purbo. Menggamit lengan suaminya yang kekar berotot. Purbo menghela nafas, mengusap rambut istrinya perlahan.
Purbo dan Dini berjalan beriringan. Menapaki terjalnya bebatuan blondos yang tersusun rapi. Jalanan menuju desa tempat tinggal Purbo dan Dini sudah cukup lebar, namun sayangnya belum terjamah semen ataupun aspal. Hampir mustahil menggunakan kendaraan bermotor kesana. Lagipula sebagian besar jalan berupa tanjakan dan turunan yang cukup curam.
Sepanjang jalan, pepohonan di kiri kanan nampak menjulang tinggi. Seolah saling berlomba untuk mencapai langit. Beberapa jenis sengon, akasia, hingga waru tumbuh hijau dan subur.
Langkah Purbo terhenti di depan sebuah gapura desa. Gapura yang tersusun atas batu bata penuh lumut hijau dan tanaman liar merambat. Di bagian pangkal gapura yang sebagian terbenam tanah ada sebuah tulisan yang samar samar masih dapat terbaca. Selamat Datang di Desa Ebuh.
"Kenapa Mas?" Dini bertanya pada suaminya yang berdiri tertegun.
"Emm, entah mengapa aku merasa asing yang," ucap Purbo lirih.
"Duh Mas, nanti kamu kalau sampek rumah biar dipijit sama Mak Nah. Kelihatannya kecapek an deh," Dini mengusap usap bahu suaminya.
"Mak Nah? Siapa Mak Nah yang?" tanya Purbo. Dahinya terlihat mengkerut.
Dini melotot menatap suaminya itu. Tingkah aneh Purbo membuat Dini bingung. Ekspresi wajah Purbo tidak terlihat ada dusta. Namun, bagaimana mungkin Purbo tidak mengenali pembantunya sendiri?
"Kalau Mas sedang becanda atau mengerjaiku sungguh itu tidak lucu. Kamu membuatku takut Mas!" bentak Dini marah.
Purbo menggaruk garuk kepalanya yang tak gatal. Semenjak dia merasakan pusing di mobil tadi, perasaannya memang menjadi aneh. Dia seakan lupa dengan kehidupannya. Entahlah, Purbo juga bingung atas apa yang dia rasakan saat ini.
"Apa sebaiknya aku ke dokter ya?" tanya Purbo pada dirinya sendiri.
"Kita pulang dulu Mas. Kamu capek, aku juga capek," sergah Dini. Tangan kirinya menggandeng lengan Purbo dengan erat, sementara tangan kanannya mengelus elus perut besarnya.
Purbo menghela nafas dan mengangguk setuju. Dia merasa kasihan pada istrinya itu. Perut besarnya membuat tak leluasa bergerak dan mudah lelah.
Suami istri itu terus bergandengan tangan, melanjutkan langkahnya. Saat kaki mereka melewati gapura desa, kabut tebal yang entah darimana datang menyambut. Udara dingin nan lembab benar benar menguliti tubuh Purbo yang hanya terbalut kaos oblong berwarna hitam.
"Aku baru sadar, wilayah sini benar benar dingin. Gila," gumam Purbo, melepas genggaman tangannya pada Dini. Dia mengusap usap lengannya sendiri.
Wuuussshhh
Angin berhembus kencang, meniupkan kabut yang benar benar tebal dan pekat. Pandangan mata Purbo terhalang sepenuhnya. Dia tak dapat melihat sekitar. Hanya ada warna putih yang seolah tak berujung. Dini tak ada lagi di sampingnya, lenyap begitu saja.
"Yang? Dini? Kamu dimana?" Purbo mulai panik, mencari istrinya.
Purbo mengedarkan pandangan, menyipitkan matanya berharap bisa melihat lebih jelas. Namun percuma saja, kabut benar benar tak tertembus oleh pupil mata Purbo.
"Dini?" Purbo semakin panik.
Purbo beberapa kali berteriak, namun suasana benar benar hening dan sepi. Bahkan hembusan nafasnya sendiri terdengar begitu keras di telinga. Degup jantungnya yang bertalu talu pun menghantam gendang telinganya, menambah rasa panik di hati.
Purbo berputar putar tak tentu arah. Udara dingin tak menghalangi keringat menetes dari pori pori kulitnya. Ketiak dan punggungnya terasa basah.
"Diniiii?" Purbo berteriak sekencang kencangnya. Suaranya bergema dan memantul di antara pekatnya kabut.
Sayup sayup terdengar sebuah suara. Purbo diam, mencoba menajamkan indera pendengarannya. Sayangnya bukan suara Dini yang terdengar, melainkan suara berisik, seperti beberapa orang yang tengah mengobrol bersahut sahutan.
Purbo termenung, lehernya semakin terasa dingin. Suara yang bersahut sahutan terdengar semakin kencang dan mendekat. Seolah suara itu sedang mengelilinginya. Semakin riuh dan memekakkan telinga. Purbo ketakutan sekaligus khawatir akan keselamatan istrinya.
Kaki Purbo mulai terasa lemas. Pijakannya goyah dan dia ambrug bertumpu pada lututnya ke tanah. Puncaknya, terdengar sebuah jeritan yang teramat sangat kencang. Jeritan wanita yang melengking hingga membuat telinga Purbo berdenging.
Bersambung___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
Purbo ada di alam lain
2024-02-08
0
Zuhril Witanto
kok kayak rumah tengah sawah
2024-02-08
0
Diankeren
udara dingin tak menghalangi keringat menetes dari pori pori kulit'y. skujur bdn'y bsah oleh keringat dingin.
gtu aja kek klmt'y. pke ketek dbwa² , tor.... tor.... 🤦🏻♀️🤣 bgian gesek krtu ATM kringetan juga g? 🤣🤣
hhaahhaay de
2023-12-18
2