Rolas

Suara tonggeret yang semula kencang dan bersahut sahutan, kini mulai terdengar semakin lirih. Mungkin serangga bersuara khas itu merasakan jika malam sebentar lagi akan tiba. Suhu udara terasa semakin rendah. Wilayah Desa Ebuh benar benar terasa dingin menggigil.

Purbo bersandar pada kursi kayu di ruang tamu berteman segelas besar wedang parem dan satu toples permen tape yang sudah sangat jarang ditemukan di pasaran. Rasa asem kecut manis membuat Purbo menyipitkan mata saat permen itu menyentuh lidahnya.

Dini datang dengan seulas senyum di bibirnya. Rambutnya yang hitam panjang nampak basah, dengan aroma melati yang menyengat.

"Kamu habis keramas?" tanya Purbo, memperhatikan Dini yang duduk di sebelahnya.

"Iya Mas. Biar seger. Gerah banget rambut panjang kayak gini," jawab Dini.

"Gerah apanya. Seharian lho udara dingin kayak di kutub timur," seloroh Purbo sambil menyeruput wedang parem yang tinggal separuh.

"Kutub tuh adanya utara sama selatan mas. Mana ada kutub timur," Dini geleng geleng kepala.

"Ya mau utara kek, selatan kek, kalau aku sih jarum kompas hatiku akan selalu mengarah padamu. . .hiyyaaaa," ucap Purbo melancarkan gombalannya yang garing.

"Ihhh gombal," Dini mencubit lengan Purbo.

Se garing dan se aneh apapun gombalan laki laki, seorang istri tetap akan tersipu malu saat mendengarnya.

"Emang kamu beneran ngerasa gerah?" tanya Purbo setelah berhenti tertawa. Dini mengangguk meng iya kan.

"Kok bisa? Aku lho misal nih nggak mandi 3 hari pun kayaknya bakal nyaman nyaman aja deh. Dinginnya ini lho beeuhhh, mak nyes gitu," Purbo mengusap usap lengannya sendiri.

"Iya itu kalau kamu Mas. Aku kan beda Mas," sambung Dini enteng.

"Hah? Beda gimana?" Purbo bertanya tak mengerti.

"Ya kalau aku nggak sering sering mandi ya bau Mas," ucap Dini, tangannya memungut satu permen tape di dalam toples.

"Bau?" Purbo menatap Dini, meminta penjelasan.

"Ahh. . .ya kan gitu Mas. Namanya juga perempuan, pengen selalu tampil harum, wangi, mempesona, sepanjang hari," ucap Dini memainkan kedua alisnya. Terlihat manis dan cantik.

"Ngomong ngomong, merk sampo mu apa sih Yang? Sumpah kayak kembang se taman," Purbo mengendus endus rambut Dini yang basah.

"Ha ha ha, ini sampo tradisional. Racikan turun temurun Mas. Biar rambut sehat tanpa bahan kimia," jawab Dini sambil tertawa.

Purbo manggut manggut. Kemudian mendaratkan kecupan di dahi Dini. Sensasi dingin begitu terasa saat bibirnya menyentuh kulit mulus istrinya itu. Purbo merasa sulit terbiasa dengan suhu tubuh Dini yang terlampau beku.

"Mas?" Dini memanggil setelah beberapa saat lamanya terdiam.

"Hmm? Apa Yang?" tanya Purbo.

"Besok pagi aku sama Mak Nah mau ke tempat Mbok Yem, kamu di rumah sendirian nggak pa pa kan?" tanya Dini sambil menyandarkan kepalanya di bahu Purbo.

"Mbok Yem? Siapa itu Mbok Yem?"

"Dukun pijet khusus bayi. Kalau orang sini biasanya untuk persiapan persalinan juga minta suwuk ke Mbok Yem Mas," tukas Dini menerangkan.

"Suwuk? Kok pake suwuk suwuk an Yang? Kita kan kemarin sudah dari dokter," protes Purbo.

"Desa mawa cara, negara mawa tata Mas. Setiap tempat memiliki kebiasaan sendiri yang tak boleh ditinggalkan. Kita sekarang hidup dan tinggal di desa Ebuh. Maka kita sudah sepatutnya mengikuti kebiasaan yang ada disini juga," jawab Dini kalem.

"Oke baiklah," Purbo mengalah, tak mau melanjutkan perdebatan.

"Emmm, tapi aku ikut ya?" tanya Purbo tiba tiba, dengan senyum manja.

"Hah? Ngapain Mas?" Dini terlihat kaget dengan keinginan suaminya itu.

"Ya kan daripada aku di rumah bingung mau apa Yaang. Lagipula aku tadi kan baru lihat penampakan juga, entah itu halusinasi atau apapun, intinya aku agak ngeri juga kalau kamu tinggal sendirian di rumah," Purbo beralasan.

"Kan pagi pagi Mas, mana ada begituan muncul pagi hari, ah," sergah Dini.

"Desa sini tuh nggak kenal pagi siang malam. Sepanjang waktu adanya kabut mulu. Bikin merinding, parno aku Yang. Aku mau ikut saja ya, please," Purbo memohon.

"Nggak boleh Mas," bantah Dini.

"Kok nggak boleh?" Purbo memprotes.

"Ya nggak boleh Mas. Mbok Yem itu salah satu sesepuh di desa sini. Beliau punya pantangan, nggak boleh ketemu sama laki laki. Jadi, yang datang kesana tuh perempuan semua Mas," jelas Dini kalem.

"Hah? Apa itu? Aneh aneh saja," Purbo geleng geleng kepala.

"Wes to Mas, manut saja. Semua juga demi kebaikan bersama. Kalau Mas bosan di rumah, Mas juga bisa kan jalan jalan ke warung pasar sana," ucap Dini sambil menggenggam telapak tangan Purbo.

Purbo mengangguk setuju. Dia yang tidak bisa mengingat apapun tentang hidupnya hanya bisa pasrah dan menurut. Purbo kembali meneguk wedang parem hingga tandas.

Wedang parem merupakan sajian minuman dari bahan empon empon yang banyak khasiatnya. Campuran kunyit, serai, kencur, jahe, gula aren, dan beberapa bahan lainnya memang nikmat diminum waktu cuaca sedang dingin. Namun, wedang parem buatan Mak Nah itu sedikit berbeda, dengan warna yang lebih pekat. Efeknya pun luar biasa bagi Purbo. Setiap kali Purbo meminumnya, pikiran Purbo terasa lebih tenang.

"Serius Mah, wedang Mak Nah ini enak banget. Nyaman di perut, di badan, di pikiran," puji Purbo. Dia mendongak sambil memejamkan matanya.

Dini membelai lembut rambut Purbo. Mengusap usapnya dengan mesra. Dini mendendangkan se bait lagu untuk suaminya itu.

"Rasane ngitung nganti lali. Wes pirang taun anggonku ngenteni. Ngenteni sliramu neng kene tak tunggu Nganti sak elingmu"

Suara Dini terdengar lirih merdu, membuat Purbo semakin merasa nyaman. Purbo merasa tak apa kehilangan ingatannya, asalkan tetap bisa bersama Dini. Istrinya itu benar benar sosok yang bisa memberinya kehangatan batin.

"Yaangg?" gumam Purbo di sela suara merdu Dini.

Dini tetap melanjutkan lagunya. Dia hanya tersenyum sembari menatap rahang Purbo yang terlihat tegas, dengan belahan dagu yang unik. Dini mendaratkan ujung telunjuknya di dagu yang terdapat sedikit bulu janggut itu. Terasa sedikit geli.

"Aku semakin merasa tak peduli dengan apapun yang sudah kulupakan. Mungkin ini malah karunia Tuhan. Karena aku tidak bisa mengingat masa lalu. Hidupku akan terus melangkah ke depan, aku tak perlu menoleh, melihat belakang. Karena tidak ada apa apa disana. Hanya ada kamu kini dan nanti," ucap Purbo masih dengan mata terpejam.

"Iya Mas. Aku membutuhkanmu. Apapun yang terjadi selanjutnya, kumohon jangan pernah tinggalkan aku," Dini menghentikan nyanyiannya. Matanya nampak berkaca kaca.

"Tidak akan," sahut Purbo lirih dan singkat.

Purbo merengkuh tubuh Dini. Memeluk dan mendekapnya penuh cinta. Malam pun datang bersama jutaan bintang, namun tak pernah terlihat dari desa Ebuh. Kabut tebal tak pernah lenyap dari wilayah desa yang berada di tengah belantara itu. Sesuai namanya, desa Ebuh yang berarti desa berkabut.

Bersambung___

Terpopuler

Comments

K & T K & T

K & T K & T

msh bingung Krn dr awal ga di ceritain siapa dini knp bs ketemu Purbo,tujuannya apa ngajak Purbo ke desanya🤔

2025-03-25

0

Yuli a

Yuli a

desa berkabut... koyo Nang pundak wae...

2025-01-22

1

Mom Young

Mom Young

kalau di Desa Ku Nama e Pedut Udu Embuh😅😅

2025-03-01

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 77 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!