Lastri memilih Ayam yang segar atas suruhan ibu Sulis, ia tidak menghiraukan walaupun bu Sulis terus menghinanya dengan kata-kata pelan tapi menghujam hati.
"Sudah selesai Bu" Lastri mengumpulkan Ayam pilihanya.
"Berapa totalnya Mas?" tanya bu Sulis kepada penjual Ayam, sama sekali tidak mengucap kata terimakasih kepada Lastri.
"Total 240 ribu, Bu" penjual Ayam menyerahkan nota.
"Memang tidak bisa di kurangi harganya," ucapnya sambil membuka dompet.
"Tidak bisa Bu, sudah harga pas" penjual Ayam lalu menatap Lastri yang berdiri di situ.
"Ini putrinya ya Bu? wah... cantik, ya" penjual Ayam mengulum senyum.
"Bukan, ini pembantu saya" jawab bu Sulis tidak punya perasaan.
Lastri hanya menatap sekilas wajah bu Sulis, lalu menggeleng lemah. Namun Lastri tetap diam tidak bermaksud menimpali.
"Cepat angkat ini, bawa ke mobil!" perintahnya kepada Lastri.
"Baik Bu" Lastri berjalan membuntuti bu Sulis kedua tangannya mengangkat kantong plastik milik bu Sulis, dan juga punya nya sendiri.
"Sudah Bu, saya permisi" Lastri ingin pulang, setelah sampai parkiran meletakkan belanjaan di bagasi mobil bu Sulis, dibantu supir.
"Tunggu" bu Sulis menghentikan langkah Lastri. Lastri balik badan. "Ada apa lagi Bu?" padahal, Lastri ingin cepat pulang, masih banyak pekerjaan. Memasak, dan mengganti menjaga pak Suryo di rumah sakit.
"Kamu kembali ke dalam pasar, melanjutkan belanja untuk saya, ini cacatannya" bu Sulis menyerahkan catatannya, kemudian bersandar di mobil seraya kipas-kipas menatap Lastri angkuh.
Lastri membuka kertas yang di lipat kecil oleh bu Sulis, kemudian ia baca. 5 kg daging, 5 kg telur, sayuran, dan bumbu-bumbu.
Lastri melipat kertas kembali, lalu menatap bu Sulis dan beralih menatap supir.
Kalau belanja sebanyak ini mau sampai berapa jam? astagfirrullah... aku kan ingin cepat pulang, sudah gitu bagaimana caranya membawa belanjaan ini?
"Lastri cepat! tunggu apa kamu?!" bentak bu Sulis.
"Baik Bu" Lastri berjalan. Supir menatapnya tidak tega, lalu berniat membantu.
"Pir, mau kemana, kamu? biarkan saja Dia!" bu Sulis menggeleng.
Lastri hanya bisa istighfar dalam hati, mengapa harus bertemu dengan ibunya Arman? mengapa sudah berusaha menjauh pun tetap saja bertemu.
Aah... andai saja, ibu Arman seperti tante Fatimah mama Adnan, atau seperti mama Doni yaitu bu Lilis.
Mengapa, Allah menumbuhkan cintanya bukan untuk Doni tetangganya, atau... bukan pada Adnan kakak kelasnya. Mengapa cinta Lastri justeru terpatri untuk Arman? itulah pikiran Lastri sambil berjalan ke tempat pedagang telur.
Langkah pertama Lastri membeli telur, kemudian menitipkan kepada pedagang, membeli daging, yang terakhir membeli sayur.
Lastri kembali berjalan terseok-seok mendekati mobil sesekali berhenti menyeka keringat. Betapa tidak? barang yang ia beli banyak sekali, sudah pasti sangat berat mengangkatnya.
Tok tok tok.
Sampai di mobil, Lastri mengetuk kaca, rupanya bu Sulis ngadem di dalam mobil.
"Pak... tolong masukan belanjaan ke bagasi" kata Lastri kepada supir.
"Baiklah Neng" supir segera keluar membuka bagasi kemudian meletakan barang bawaan.
"Bu, ini nota dan kembalianya, saya permisi, sudah siang sekali" kata Lastri sambil menyerahkan nota dan kembalian.
"Eh tunggu dulu, kamu nggak boleh pulang, enak saja! ikut ke rumah saya, kamu pikir siapa yang akan membantu mengangkat belanjaan saya nanti!" sinis bu Sulis.
"Tapi Bu" Lastri rasanya ingin menangis, jika yang menyuruh bukan orang tua, sudah pasti akan menolaknya cepat.
"Tapi... dari rumah ibu ke rumah saya, lebih jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki Bu" Lastri sudah terlalu lelah jika harus pulang dari rumah bu Sulis, tentu jaraknya lebih jauh. Membayangkan saja sudah sangat berat.
"Betul kata Neng Lastri, Bu, biar Neng Lastri pulang, masalah barang belanjaan biar menjadi tanggungjawab saya" supir rupanya kasihan kepada Lastri.
"Siapa yang minta pendapat kamu?!" sarkas bu Sulis, menatap tajam supir. Supir hanya mengangguk patuh.
"Naik kamu!" bentaknya kepada Lastri.
"Baik Bu" tanpa banyak bicara Lastri naik ke dalam mobil.
Bu Sulis menyeringai sombong, seperti sudah merencanakan sesuatu.
"Siapa suruh kamu duduk di sini? mundur!" sarkas nya ketika Lastri duduk di tengah. Lastri pun mundur ke belakang. Sekuat apapun, Lastri menahan air mata agar tidak jatuh, tetap saja ia hanya seorang wanita yang lemah.
Lastri menangis sejadi-jadinya, agar tidak terdengar oleh bu Sulis, menutup mulutnya dengan kerudung panjangnya.
Banyak sekali yang Lastri pikirkan, bapaknya belum pulang dari rumah sakit. Padahal tiga hari lagi liburan kampus sudah habis.
Masih segar dalam ingatan, setiap Arman bertemu denganya, selalu mengelu-elukan kata cinta, tetapi omong kosong belaka, nyatanya Arman kini justeru ingin melamar gadis lain.
Mobil berjalan cepat hingga akhirnya sampai di rumah mewah bu Sulis.
Dengan tidak ada semangat, Lastri turun dari mobil mengikuti bu Sulis yang sudah berjalan lebih dulu.
"Kenapa kamu menangis?" bu Sulis menatap mata Lastri.
"Tidak apa-apa Bu" Lastri berjalan ke belakang mobil, mengeluarkan belanjaan. Sementara bu Sulis masuk ke dalam rumah tidak lama kemudian kembali keluar bersama seorang gadis diikuti Arman.
"Biar saya aja Neng" supir membantu Lastri menurunkan barang.
"Saya membawa ini ya, Pak" Lastri membawa dua kantong plastik berisi daging dan sayuran.
"Lastri?" Arman menatap Lastri datang dengan mata merah dan bengkak paska menangis, di tambah lagi membawa bawaan yang berat merasa ada yang aneh.
Tidak mungkin Lastri datang kemari jika tidak ada sesuatu. Arman tidak tahu bahwa Lastri di perbudak oleh ibunya.
Begitu juga dengan Lastri, terkejut melihat tangan Arman yang dipegang Kinara erat. Tidak salah lagi Arman memang mau melamar, tetapi mengapa? gadis itu sudah berada di sini sambil berpegangan pula.
"Kinara... kenalkan, ini pembantu saya" kata bu Sulis menyeringai licik.
"Ibu!" bentak Arman.
"Kenapa Ar, kamu marah, aku kan hanya bilang kalau dia itu pembantu, memang dia pembantu kan?!" bu Sulis mlengos kesal kemudian masuk ke dalam rumah.
Arman melepas genggaman tangan Kinar. Semua tampak menegang, termasuk Lastri.
"Lastri" seorang wanita memanggil nama Lastri membuat semua menoleh.
"Kak Rini?" Lastri balik badan mendekati Rini, kemudian memeluknya. Rini adik Arman yang baru datang bersama pak Burhan. Rini tinggal di Kota mengelola perkebunan jarang berada di rumah.
"Kamu kenapa?" lirih Rini merenggangkan pelukan memegang pundak Lastri menatap wajahnya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Tidak apa-apa" sahutnya pelan.
Pak Burhan pun menatap Lastri kasihan, anak ini selalu memikul beban berat di dalam perjalanan hidupnya.
"Lastri... apa kabar kamu Nak?" tanya Pak Burhan ayah Arman.
"Baik Pak" Lastri nenangkupkan tangan di depan dada, mengangguk tersenyum.
"Saya dengar, bapakmu sedang sakit, bagaimana keadaanya sekarang? Maaf, bapak sering di Kota jadi belum sempat menengok."
"Alhamdulillah... sudah lebih baik, tidak apa-apa Pak, mohon doanya saja, semoga Bapak cepat dibawa pulang.
"Aamiin"
"Alhamdulillah... Mbak Lastri, aku senang, sebentar lagi kamu mau menjadi kakak aku" kata Rini.
"Jadi kakak?" Lastri tersenyum kecut. Rini pikir yang mau tunangan nanti malam adalah Lastri.
"Sudah... kita ngobrolnya di dalam saja" titah Pak Burhan.
"Terimakasih Pak, saya mau pamit pulang, sudah lewat waktu dzuhur" jawab Lastri.
"Pulang?" Rini terkejut. Lalu menatap Arman dan Kinar yang masih berdiri di teras, tidak ada pembicaraan sepatah kata pun. Bukankah Lastri mau dilamar? tapi mengapa justeru pulang.
Kinar pun masih bingung siapa Lastri? jika memang ia pembantu Arman, mengapa sejak kemarin ia tidak melihatnya.
"Pak Burhan... Kak Rini... saya pamit dulu" pungkas Lastri lalu mengangkat belanjaan dan melangkah pergi.
"Lastri..." Arman mengejar Lastri. Lastri terus berjalan tidak menoleh.
"Lastri" Arman menghadang langkah Lastri, gadis cantik itu pun berhenti.
"Ada apa?" tanya Lastri santai menyembunyikan kegundahan hati nya.
"Aku antar ya, tunggu di sini, aku ambil motor" kata Arman.
"Tidak usah" jawab Lastri singkat lalu kembali berjalan. Arman kembali menghadang.
"Kenapa kamu kemarin pulang tidak memberi tahu aku? apa salahku sama kamu, sampai kamu terus mendiamkan aku, mau sampai kapan Tri?" tanya Arman mulai meninggi.
"Saya tidak pernah marah sama Pak Arman, jika Pak Arman menyimpulkan seperti itu! terserah!" Lastri menekan dada Arman dengan telunjuk. " Mulai sekarang, urus saja calon istri bapak, tidak usah perhatikan saya" Lastri menyetop ojek jika harus jalan kaki saat ini rasanya sudah tidak kuat.
"Lastriiiii..." pekik Arman. Namun ojek sudah menjauh.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
SR.Yuni
Saya kecewa kenapa di part ini Lastri dibuat bego ya ....Sulis kan bukan orang tuanya ngapain Patuh looh Thor...please deh Thor....gini amat ya mau lanjut baca apa gak ini...
2025-02-18
2
Evy
Lastri kenapa sih lemah begitu...apa salahnya menolak....jika ibunya Arman masih ada akan sulit untuk bisa bersatu.pilih Adnan saja biar punya mertua yang baik.
2025-03-01
0
kalea rizuky
Lastri. bodoh ngapain mau di suruh suruh jangan ngemis jd mantu qm. cantik meski. miskin tp qm. berpendidikan Q yakin pasti dpet jodoh baik kaya. raya
2024-07-08
1