Semua keluarga Lastri tampak lega, setelah dokter mengatakan bahwa pak Suryo berhasil melawati masa kristisnya selama tiga hari setelah operasi, dan saat ini beliau sudah di pindahkan ke kamar inap.
"Terimakasih ya Nduk, kamu sudah menyelamatkan Bapakmu" kata bu Santi menatap Lastri berkaca-kaca.
"Bukan Lastri yang menyelamatkan Bapak Bu, tapi Allah" jawab Lastri.
"Maaf ya dek, aku nggak bisa membantu kamu, jujur, aku punya tabungan sedikit, tapi untuk biaya persalinan yang tinggal dua bulan lagi," Dwi merasa bersalah.
"Mbak Dwi... sudah ah, jangan pikirkan macam-macam, yang penting kita selalu berdoa, semoga Bapak bisa sembuh seperti sedia kala, dan Mbak Dwi nanti melahirkan dengan lancar," doa Lastri lalu meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dan diaminkan oleh semua.
"Sekarang kamu pulang dulu, istirahat Nduk" titah bu Santi. Sebab Lastri selama tiga hari sama sekali belum istirahat. Ia yang paling semangat mengurus ini itu. Tidak hanya lelah raga tetapi juga jiwanya.
Ibu tahu, Lastri menyembunyikan perasaan sedihnya kepada ibu dan kakak adiknya. "Tri pulanglah Nak" ibu mengulangi sebab bibir Lastri terkatup menatap pak Suryo sedih.
"Tapi Bu" Lastri rasanya berat meninggalkan bapak nya yang belum sepenuhnya sadar walaupun sudah melewati masa kritisnya.
"Ibu benar dek, sebaiknya kamu sama Dwi pulang dulu, biar aku dan Ibu menemani Bapak" usul Eko.
Lastri kemudian meninggalkan rumah sakit ia hendak pulang ke rumah, naik angkutan bersama Dwi. Sampai di gang, Dwi di jemput Joko suaminya.
"Kamu tunggu di sini ya Tri, nanti gantian Mas Joko menjemput kamu" kata Dwi.
"Nggak usah di jemput Mbak, aku jalan kaki saja" Lastri menitipkan tas kepada Mbak Dwi, yang sudah dibonceng Joko.
Lastri kemudian, jalan kaki, dari jalan raya sampai di rumah 8 km ia tempuh. Sepanjang jalan Lastri disapa orang-orang yang berpapasan menanyakan tentang keadaan pak Suryo. Tidak sedikit juga yang menghina dan meremehkan.
"Eh, lihat. Itu Lastri kan?" dua orang wanita yang sedang ngobrol di teras rumah mereka berbisik.
"Oh iya, kita tegur yuk" ajak salah satu dari mereka, kemudian berjalan cepat ke pinggir jalan.
"Lastri ya?" tanya mereka bersamaan, menatap penampilan Lastri dari atas sampai bawah.
"Oh iya Mbak, apa kabar" jawab Lastri ramah seraya mengulurkan tangan, tetapi tidak disambut.
"Huh, dasar kamu, orang miskin saja belagu!" sergah mereka.
"Maksudnya apa Mbak?" Lastri mengerutkan dahi tidak mengerti, wanita itu tiba-tiba berkata pedas.
"Sok-sok-an kuliah, padahal ujung-ujungnya ke dapur!" dua orang wanita kakak kelas Lastri ketika SMP dulu menghinanya.
"Memang belagu! sok nolak Pak Arman, yang sudah jelas kaya, tampan, lulusan S2 lagi, tapi malah ditinggal pergi!" cerocosnya.
"Alaaah... kuliah apaan?! pasti di Jakarta menjadi wanita malam! hahaha..." dua kakak kelas Lastri itu sudah terlalu menginjak-injak harga diri Lastri.
"Permisi" Lastri tidak menimpali, ia menganggap hanya bumbu dalam hidupnya kata-kata yang menghina seperti ini.
"Ya Allah... mudahkan lah jalanku untuk menuju sukses" doa nya dalam hati.
Tanpa mengenal lelah, Lastri melanjutkan perjalanan, dan akhirnya ia sampai di rumah. Tetapi sebenarnya tidak bisa disebut rumah melainkan gubuk.
Rumah bilik bambu, atap genteng yang sudah usang dimakan waktu. Lastri menatap rumah tua itu, seraya komat kamit berdoa, seandainya nanti diberikan oleh Allah rezeki yang banyak akan merapikan rumah bapak dan ibu nya agar lebih layak.
Lastri sampai halaman rumah tampak sepi, Mbak Dwi mungkin pulang ke rumah mertuanya karena mbak Dwi tinggal di sana. Sedangkan ketiga adiknya belum pulang sekolah.
"Tri... kamu sudah pulang Nak..." tante Lastri yang tinggal di rumah sebelah mengantarkan kunci rumah karena bu Santi selalu menitipkan kepadanya.
"Sudah Lek, bagaimana kabar Lek?" Lastri mencium tangan tante Warni yang biasa dipanggil bulek.
"Alhamdulillah nduk" mereka ngobrol diluar hingga beberapa saat.
"Sekarang kamu masuk dulu istirahat Tri" titah tante Warni.
"Iya Lek" Lastri pun masuk kedalam rumah yang pertama ia tuju adalah kamar. Lastri menatap foto Arman dengan dirinya. Foto prewedding masih menempel di tripleks pembatas antara kamarnya dan kamar mas Eko.
Hatinya sedih kala mengingat itu. Namun ya sudahlah toh semua memang harus terjadi dan harus ikhlas menerima takdir.
********
Malam harinya di Jakarta, keadaan gelap gulita, hujan deras disertai petir mengglegar bersahutan. Arman tampak seorang diri bersedekap menatap curah hujan di jendela kamar tetapi tidak terlihat. Karena tidak ada pendar yang menerangi lampu pun mati seluruhnya
Dosen sekaligus pengusaha itu, sedang menahan rindu, rindu kepada Lastri, selama libur hingga hampir dua bulan ia tidak pernah bertemu dengan gadis pujaan hatinya.
Gemuruh suara hujan, memecah kesunyian malam. Arman menutup jendela karena hawa dingin mulai menusuk pori-pori.
Arman meraba-raba mencari telepon genggam, setelah menemukan ia nyalakan senter.
Arman mencoba tidur. Namun matanya terasa kering. Bayangan Lastri seolah menari-nari di depan mata. Arman menutup telinga dengan bantal agar suara guntur tidak memekakkan telinga.
********
Pagi harinya Arman memberanikan diri untuk datang ke kontrakan Lastri, dia harus terima konsekuensinya jika Lastri nanti marah kepadanya karena sudah lancang mendatangi kontrakan. Padahal sudah jelas, bahwa Lastri tidak mengizinkan Arman datang. Namun rasa rindu Arman mengalahkan segalanya.
Mobil silver itu akhirnya sampai di depan rumah petakan lalu Arman parkir di tepi jalan. Kaos lengan pendek dan celana jins, walaupun terlihat santai tetapi tidak mengurangi kewibawaan nya.
"Assalamualaikum..." Arman mengucapkan salam kepada ibu setengah baya yang sedang menjemur pakaian.
"Waalaikumsalam"
Bu Yani meletakan pakaian kembali yang sudah ia pegang ke dalam ember. "Mas mencari siap?" tanya bu Yani menghampiri Arman.
"Apa benar ini kontrakan Lastri Bu?" Arman balik bertanya dengan sopan.
"Betul, Mas ini siapa nya?" bu Yani heran orang yang mencari Lastri rata-rata berpenampilan mewah seperti orang kaya.
"Nama saya Arman Bu, dosennya, apa Lastri nya ada?"
"Oh" Bu Yani manggut-manggut. "Sayang sekali Mas, dia sedang pulang ke kampung"
"Pulang kampung Bu, ada apa, terus kapan pulangnya?" cecar Arman terperangah.
"Sudah tiga hari yang lalu Mas, Bapaknya di kampung masuk rumah sakit," terang bu Yani.
"Astagfirrullah..." Arman terasa sesak, ternyata sudah segitu bencinya Lastri kepadanya hingga ada masalah sebesar ini ia tidak diberi tahu.
"Mas, Mas" panggil bu Yani menatap Arman yang sedang melamun.
"Oh, ya sudah Bu, saya permisi dulu, terimakasih" tanpa menunggu jawaban, bu Yani. Arman segera masuk ke dalam mobil.
Pikiranya benar-benar kacau, kenapa semua seolah bersekongkol sama Lastri. Tidak mungkin jika, Bayu, Dimas, dan Dina tidak mengetahui jika Lastri pulang sendiri.
Tanpa menunggu lagi, Arman segera pulang, minta supir mengantarkan ke Bandara.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Erina Munir
arman2...klo udh gitu kesian juga ya
2024-01-29
1
Sakur Sakur
ahh sedih akuuu😭😭😭
2023-02-02
1
Senajudifa
8 kilo itu ngga dekat lho thor😓😓
2022-12-25
0