Bab 12

Arman mengeluarkan uneg-unegnya kepada Dimas sahabatnya. Rasanya lega jika sudah berbagi cerita kepada sahabat yang satu ini.

Tok tok tok

"Masuk."

"Den, kata Nyonya disuruh makan siang dulu," titah bibi menyembulkan kepalanya di pintu.

"Mama sudah pulang Bi?" tanya Dimas. Sebab tadi dirumah tidak ada siapa pun. Kecuali dirinya dan bibi.

"Nyonya pulang cepat Den" jawab bibi. Mama Dimas biasanya memang selalu pulang sore.

"Ya sudah Bi, saya ke bawah,"

"Baik Den" bibi berjalan lebih dulu.

"Ayo makan dulu" Dimas menarik tangan Arman. Seperti bocah kecil.

"Iya, gw pengen ketemu Tante Marina, sudah lama tidak bertemu," Arman bersemangat.

"Gitu dong. Loe itu, masalah sekolah, masalah kampus, masalah usaha, bisa loe selesaikan dengan cepat. Tapi giliran ada masalah dengan Lastri bisanya mewek!" Ledek Dimas menyundul pundak Arman, karena Arman lebih tinggi.

"Jangan rese loe" Arman mengangkat tinju. Dimas terkekeh, keduanya kemudian menuruni anak tangga.

Di meja makan tante Rina, Dina, dan Bayu sudah berkumpul. Bayu adalah sahabat Arman dan Dimas. Saat ini menjadi kekasih Dina. Dina adik Dimas yang tak lain sahabat Lastri dari SMP sampai SMK.

"Eh ada Nak Arman" sapa tante Marina. Lalu semua menololeh.

"Iya Tante. Tante sehat?" Arman mendekati tante Rina kemudian berjabat tangan dengan beliau. "Om belum pulang Tan?" Arman tidak melihat papa Adimas di meja makan.

"Seperti nggak tahu Om kamu saja Ar, dia kalau bekerja suka lupa waktu," tutur tante Marina. Hanya di jawab senyuman oleh Arman.

"Ayo duduk Nak" titah tante Rina.

"Terimakasih Tan" Arman duduk di antara Bayu dan Dimas.

"Gw dari tadi nggak loe tanya, Ar" seloroh Bayu, menyikut tangan Arman.

"Nggak usah loe mah, tadi malam juga kita sudah ngobrol," Memang benar kata Arman tidak jarang Bayu menginap di Cafe Arman. Sebab mereka berdekatan.

"Pernah mendengar kabar Lastri nggak Pak?" tanya Dina hati-hati. Dina tahu mantan gurunya ini hubungannya dengan Lastri sedang tidak baik-baik saja.

"Ngobrolnya nanti Din, kita makan dulu" pungkas tante Marina.

Semua pun makan siang bersama, selama makan tidak ada yang bersuara. "Din, saya mau bicara" kata Arman selesai makan siang keempat remaja itu ngobrol di ruang keluarga. Sementara tante marina masuk kamar berniat ganti pakaian.

"Ada apa Pak?" tanya Dina. Ia duduk di sebelah Bayu. Berhadapan dengan Dimas dan juga Arman.

"Lastri nggak pernah telepon kamu?" tanya Arman menindak lanjuti pertanyaan Dina tadi.

"Nggak pernah Pak" jawab Dina singkat. Dina tahu, hp Lastri di minta ibu Sulis. Namun, Dina bingung bagaimana menjelaskan kepada pak Arman.

"Hp Lastri kan diambil lagi sama Nyokap loe" Bayu keceplosan.

"Apa?!" Arman terkejut. "Benar, apa yang Bayu bilang Din?" Arman menatap Dina dan Bayu bergantian.

"Auw" Bayu meringis kuku lancip Dina mendarat di lengan bayu.

"Benar, yang Bayu bilang Din?" Arman mengulangi.

"Iya Pak, saya tahu, tapi Lastri mewanti-wanti agar jangan bicara dengan Bapak," lirih Dina. Lalu melotot ke arah Bayu kesal. Hanya Bayu yang di ajak cerita, justeru malah di sampaikan kepada Arman.

"Teruskan" kata Arman dengan nada perintah.

Flashback on

"Din, menurutmu bagusan mana?" tanya Lastri mereka sedang memilih souvenir, untuk para undangan, di pasar tradisional.

"Yang ini bagus, tapi terserah loe sih..." jawab Dina menunjukkan mote-mote.

"Tapi... kalau di kampung kayak nya lebih baik yang ini, pasti digunakan,'" Lastri menunjuk centong dan pisau kecil.

"Lastri... saya mau bicara!" saat sedang memilih-milih, suara seorang wanita setengah baya mengejutkan mereka. Beliau menggunakan kain batik, baju model kebaya, rambut disanggul, tas menggantung di pundak. Tangan kanannya kopat kapit, lengkap dengan kipas, untuk mengipas-ngipas leher. Wanita bertampang judes itu, memang selalu menjaga penampilan. Kepasar saja seperti orang ke pesta.

"Ibu?" Lastri dengan cepat mencium tangan calon mertuanya.

"Ikut Ibu!" perintahnya. Kemudian menarik Lastri ke tempat sepi diikuti Dina.

"Sebentar lagi kamu akan menjadi istri Arman" "Ya... saya mengaku kalah" ucapnya mencibir.

"Saya terpaksa menyerahkan anak kesangan, hanya untuk menikahi gadis miskin sepertimu!" Bu Sulis menatap Lastri mengintimidasi.

"Ibu..." Lastri berkaca-kaca.

"Tetapi... jangan kamu pikir, bahwa saya sudah merestui kalian. Dan perlu kamu tahu, saya sudah ada pandangan sendiri! siapa wanita yang cocok mendampingi anak saya! ngerti kamu?!" Ibu Sulis melipat kedua tanganya di bawah dada.

Lastri menunduk, air matanya bercucuran. Dina tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa mengusap-usap punggung sahabatnya.

"Heeemmm... kamu mencari apa kesini?" bu Sulis meremehkan.

"Mau cari souvenir Bu" Dina yang menjawab. Sebab Lastri sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

"Ahaha" bu Sulis tertawa meledek. "Sudah seberapa banyak uang Arman yang kamu habiskan untuk biaya sekolah kamu, dan pernikahan kamu ini?!"

"Ibu..." Lastri terduduk lemas bertopang lutut, kata-kata bu Sulis telah melukai hatinya. Dengan susah payah Lastri rela menjadi kuli cuci pakaian, berjualan kue, ketika sekolah. Semua itu demi pendidikan. Namun ternyata calon mertuanya beranggapan bahwa yang membiayai sekolahnya adalah Arman.

"Jangan pura-pura menjadi korban! dan yang kamu pegang itu apa?!" bu Sulis menunjuk hp nokia keluaran terbaru yang ia pegang.

Lastri mendongak menatap bu Sulis. "Ini hp Bu"

"Arman yang membelikan untuk kamu kan?! berikan pada saya!" bu Sulis mengansungkan tangan. Lalu Lastri memberikan hp nokia tersebut. Bu Sulis memasukan hp rampasan kedalam tas, lalu pergi meninggalkan Lastri dan Dina yang masih tidak mengerti apa yang di lakukan oleh bu Sulis.

"Tri... sudah ya" Dina membangunkan Lastri kemudian mereka berpelukan.

"Kita pulang saja Din" dengan rasa sesak Lastri pun meninggalkan pasar.

"Terus... bagaimana souvenir nya? kita nggak jadi beli Tri," Dina mengejar Lastri yang sudah mendahuluinya.

"Tidak ada souvenir, tidak ada pernikahan Din, aku akan batalkan semuanya," tegas Lastri memantapkan hatinya. Ia lebih baik menjauh usianya masih muda. Masih 18 tahun masih panjang jalanya ke depan. Awalnya memang Lastri berniat terus kuliah belum ingin menikah. Namun Arman lah yang memaksanya. Ya begini jadinya.

"Tri... terus bagaimana? undangan yang sudah tersebar?" Dina bicara hati-hati.

"Masalah itu biarkan saja Din, biar Bapak dan Mas Eko yang mengurus" pungkas Lastri.

Flashback off.

"Jadi begitu ceritanya Din? terus kenapa kamu tidak pernah cerita!" sesal Arman. "Loe juga Yu, Dimas, nggak pernah bilang! padahal kalian tahu semuanya,"

"Saya hanya disuruh Lastri Pak, setelah tahu pernikahan Lastri batal, saya dan kak Dimas kembali ke Jakarta, tidak tahu lagi bagaimana kabar Lastri," tutur Dina.

"Sudah lah Ar, lebih baik loe perjuangkan Lastri, toh loe kan satu kampus setiap hari bisa bertemu," kata Dimas.

"Jadi... Lastri kuliah di sini?" tanya Dina dan Bayu bersamaan.

"Iya" sahut Arman singkat.

"Ya Allah... saya mau ketemu dia Pak," Dina senang sudah beberapa bulan mencari jejak Lastri tidak bertemu. "Dia tinggal dimana Pak, saya mau berkunjung," imbuh Dina.

"Dia kontrak rumah sendiri Din, tapi saya tidak boleh datang, pernah saya mengikuti tanpa dia tahu, kalau mau main sebaiknya jemput saja di kampus," titah Arman.

"Baik Pak"

"Dasar Lastri! kenapa anak itu malah kontrak rumah sih, bukan tinggal dirumah Mbak Nina lagi, padahal Mbak, nanyain terus" kesal Bayu.

Mbak Nina adalah... kakak Bayu majikan Lastri, ketika Lastri masih SMK dulu, bekerja di sana.

Terpopuler

Comments

Erina Munir

Erina Munir

ya ampuun...kesian banget lastri...untung ga jdi....nikah

2024-01-28

1

Dwi Handayani

Dwi Handayani

tapi kl cowok menangisi perempuan (apalagi kekasihnya), kek waw berarti perasaan dia dalem bgt.

2023-03-21

1

Senajudifa

Senajudifa

ibux arman nih keterlaluan

2022-12-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!