Sudah lima hari berlalu sejak Asta berhasil masuk ke dalam gua dan kehilangan kesadarannya. Saat ia akhirnya terbangun, ia merasa bingung dengan sekitarnya.
"Ini di mana...?" gumamnya pelan, mencoba mencari tahu keadaan di sekitarnya.
Asta keluar dari gua untuk menikmati pemandangan yang sebelumnya ia lewatkan. Gua itu berada di atas sebuah jurang yang tidak terlalu tinggi, dan hanya ada jalan setapak kecil yang menghubungkannya. Sekitar seratus meter di depannya, ada air terjun besar dan deras, serta gua lain di bawahnya.
Lembah itu tampak tenang, dengan suara dedaunan yang ditiup angin dan gemericik air terjun yang mengalir deras. Semuanya terlihat sangat damai dan tenang, jauh berbeda dari ekspektasi Asta tentang Lembah Neraka.
"Tempat ini sungguh damai dan tenang, tapi mengapa diberi nama Lembah Neraka? Bahkan hewan dan burung pun tak terlihat?" tanyanya heran.
Saat ia memeriksa kalung cincin gurunya, Asta menyadari bahwa gurunya tidak berada di sana saat ini. Flares tidak ada di dekatnya.
"Akhh!! Kepalaku kenapa begitu sakit!" Asta tiba-tiba merasakan nyeri di kepalanya. Ia hampir saja terjatuh ke sungai di bawahnya karena terlalu terfokus pada pemandangan indah di depannya.
Ia segera duduk bersila dan mencoba fokus untuk menyembuhkan sakit kepala itu. Beberapa saat kemudian, rasa sakitnya mulai berkurang dan akhirnya sembuh sepenuhnya.
"Mau kemana, dasar bocah nakal...?" tiba-tiba, Ace muncul dari dalam gua dan mengejutkannya.
Asta menoleh dan melihat Ace tidak jauh dari tempatnya duduk. Ace menunjuk ke arah dasar jurang tempat pertemuan air terjun dan sungai.
"Aku hanya ingin turun ke sana. Tahu apa? Ada sesuatu yang lebih penting daripada apapun saat ini dan aku perlu menyelesaikannya segera," ucapnya.
Tanpa banyak bertanya, Ace membiarkannya pergi ke bawah. Asta pun mulai menuruni jalan setapak yang menuju ke bawah. Setelah ia memperhatikan lebih seksama, ia melihat ada satu lagi gua lainnya, dan ketiganya tampak terhubung oleh jalan setapak.
"Kemana bocah itu?" tanya Flares yang baru saja datang dari arah jalan keluar lembah. Ace menunjuk ke arah sungai di bawah untuk memperlihatkan Asta.
"Guru! Apa yang ingin kau lakukan?!" teriak Asta dari bawah, menyadari gurunya tengah mengintipnya. Flares hanya tertawa kecil setelah melihat hasil dari penggunaan giok pikiran yang telah ia lakukan.
Selang setengah jam kemudian, Asta kembali dengan wajah yang segar. Begitu ia tiba di mulut gua, Flares menunjukkan gambar yang telah berhasil ia dapatkan sebelumnya.
"Dasar Guru sialan dan tak tahu malu!" Teriak Asta dengan geram sambil memukul dua orang sinting yang telah mengambil gambarnya sedang membuang emas manusia ke sungai. Untuk mencegah hal buruk terjadi, ia merebut giok pikiran tersebut dan menyimpannya dengan baik di dalam cincin.
"Akhirnya kau kembali juga. Tadinya aku hendak melempar batu ke arahmu agar kau segera kembali," ucap Flares.
"Kau pikir gara-gara siapa itu, hah?!" Teriak Asta lagi, marah terhadap Ace yang justru membiarkan gurunya melakukan hal memalukan itu.
"Blubuk! Blubuk!" terdengar suara air yang mendidih.
Asta memutar kepalanya untuk mencari asal suara itu dan menemukan sebuah pot besar yang berisi cairan di atas tungku api. Penasaran dengan isinya, ia mencoba melihat lebih dekat.
"Apa yang sedang kau rebus?" Tanya Asta sambil mendekati pot tersebut. "Ahh...!!! Apa yang sedang kau rebus sampai menciptakan bau yang begitu menyengat!" Teriaknya sambil mundur menjauh dari pot itu.
Ace tertawa mendengarnya berbicara seperti itu tentang rebusannya. Flares langsung memukul Asta sebagai respon atas komentarnya yang kurang sopan. Kemudian Flares mencicipi cairan di dalam pot tersebut.
"Mmm... Rasanya sudah pas," ucap Flares dengan senyuman lebar di wajahnya, menyatakan bahwa rebusannya sudah matang.
Asta hanya mendapatkan firasat buruk dari tatapan gurunya, "Guru, untuk apa sebenarnya kau merebus merica dan ketumbar sebanyak ini? Aku yakin itu takkan enak untuk dijadikan sebagai lauk-pauk," ungkap Asta dengan penasaran.
"Siapa bilang ini untuk lauk-pauk?" timpal Ace sambil tertawa.
"Kenapa masih berdiri di situ? Bukankah kau yang bertanya tadi? Cepat kemari," panggil Flares.
Asta mundur satu langkah dengan alasan, "Ahh... Guru, sepertinya aku masih harus istirahat. Kepalaku masih terasa sangat sakit,"
"Justru karena itu, kau harus kemari," panggil Flares lagi.
Asta menelan ludah dengan perasaan ngeri. Firasat terus menyampaikan perasaan tidak nyaman di setiap langkahnya, seolah-olah ada sesuatu yang tidak diinginkannya yang akan terjadi.
"Kau tahu ini apa?" Tanya Ace, menunjuk pot besar di depannya.
"Setahu ku namanya pot obat bukan? Asal kau tahu, aku tak sebodoh itu, Ace, sampai tidak mengenali pot obat," jawab Asta sambil berjalan mendekat.
"Ehh... Tunggu dulu," Asta berhenti di tempat memandangi Ace dan Gurunya. "Bukankah ini terlalu besar untuk disembunyikan? Darimana kau dapatkan pot sebesar ini, Guru?" Tanyanya bingung.
"Apa kau benar-benar berpikir bahwa hanya kau seorang yang memiliki artefak penyimpanan di sini?" Ujar Ace balik bertanya. Flares membisikkan sesuatu padanya sebelum pergi beristirahat kembali di dalam cincin yang Asta kenakan.
"Muridku, kau harus menuruti apa yang ia perintahkan padamu," pesan Flares sebelum benar-benar tertidur. Asta tersenyum senang dalam hati karena gurunya sekarang sedang tidur, jadi ia hanya perlu mencari cara agar Ace melupakan pot obat dan rebusan di dalamnya.
"Aku tidak bertanya tentang artefak penyimpanan, aku bertanya darimana datangnya pot sebesar ini?" Tanya Asta.
"Kau pikir kemana aku pergi saat aku menyuruhmu menunggu di toko Zao waktu itu? Aku pergi untuk membelinya," ujarnya sambil menunjuk pot tersebut.
"Aihh... Jadi kau menyewa jasa seorang pengantar barang?" Tanya Asta sekali lagi sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Mustahil juga kau membawanya sembari menyembunyikannya di balik ekor kecilmu itu. Jangan kira aku mudah dibodohi, Ace," pancing Asta.
"Bukankah sudah kubilang, bukan hanya kau yang memiliki artefak penyimpanan di sini..." Ujar Ace dengan geram.
Ace mengangkat salah satu kakinya, memperlihatkan gelang kebiruan yang melingkar di kakinya. Warna kebiruan yang dipancarkan oleh gelang tersebut tampak seperti milik bangsawan dan sangat mewah. Tak hanya itu, ia juga mengeluarkan satu set pelindung tubuh yang kemudian dipakainya. Pelindung tubuh serigalanya memancarkan aura kebangsawanan yang mengintimidasi. Ace benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya saat ia tak mengenakannya.
Dengan bangga, Ace menggoyangkan gelang miliknya seolah sedang memamerkannya pada bocah nakal ini. Tak hanya satu, ia memiliki dua pasang gelang di setiap kakinya. Asta tidak mengerti apa yang istimewa dari gelang tersebut selain hanya sebuah perhiasan bangsawan.
"Apa itu?" Asta mencoba menyentuhnya. "Dari warnanya hampir mirip dengan Cincin Jade Samudera. Apa ini versi lain dari Jade Samudera?" Tanyanya penasaran.
"Hahaha.... Kau benar! Ini adalah Jade Samudera versi gelang. Bagaimana, bukankah ini cocok denganku..?" Ucapnya sambil memamerkan gelang tersebut.
"Lalu apa bedanya dengan cincinku? Bukankah kegunaannya sama sebagai alat penyimpanan. Kenapa kau begitu sombong memamerkannya?" ucap Asta.
Ace pun tertawa mendengarnya mengatakan keduanya sama. "Meskipun keduanya merupakan alat penyimpanan, namun kau salah jika menyebut keduanya sama. Gelang ini memiliki luas penyimpanan dan perputaran waktu yang lebih hebat, lima kali lipat daripada versi cincin. Itulah kelebihannya," jelasnya sambil tertawa sombong. Ia juga menyebutkan bahwa kedelapan gelang miliknya tersebut masing-masing memiliki peringkat 50.
Tingkatan Artefak Penyimpanan tak sama dengan Artefak Surgawi. Tingkatan Artefak Penyimpanan dihitung berdasarkan jumlah per kotak. Sebagai contoh, artefak penyimpanan peringkat 4 sama dengan artefak penyimpanan yang berisi 4 kotak. Peringkat Artefak Penyimpanan bisa ditingkatkan dengan sumber daya yang dibutuhkan.
Artefak penyimpanan dibagi menjadi dua kelas, Kelas Biasa dan Kelas Bangsawan.
Artefak penyimpanan kelas biasa memiliki luas per kotaknya 100 meter persegi dengan perputaran waktu 1 tahun di dalam cincin, setara dengan 100 tahun di dunia luar. Artefak penyimpanan kelas biasa memiliki bentuk cincin.
Artefak penyimpanan kelas bangsawan memiliki luas per kotaknya 500 meter persegi dengan perputaran waktu 1 tahun di dalam cincin, setara dengan 500 tahun di dunia luar. Artefak penyimpanan kelas bangsawan memiliki bentuk gelang.
Asta mencoba menghitung luas gelang yang Ace miliki jika masing-masing gelangnya merupakan peringkat 50. Ia bergumam pelan, menghitung dengan seksama.
Ia pun menarik nafasnya terkejut setelah selesai menghitung semuanya dengan baik, "Ini yang benar saja?!" Teriaknya, tak percaya dengan jumlah hitungannya.
Satu gelangnya paling tidak memiliki ruang 25 kilometer persegi, dan jika dikalikan dengan 8, jumlahnya mencapai angka 200 kilometer persegi ruang penyimpanan yang setara dengan luas satu Provinsi di Kekaisaran Arkhan.
Belum lagi sekantung cincin penyimpanan yang Ace keluarkan saat Asta masih terkejut akan gelang penyimpanan miliknya.
"Ini adalah cincin rampasan perang yang kudapat. Jumlahnya ada 40, dan masing-masing merupakan peringkat 35," ujarnya kembali membuatnya semakin terkejut.
Asta kembali menghitung, dan lagi-lagi ia terkejut dengan hasil hitungannya. Setidaknya ada 140 kilometer persegi ruang penyimpanan yang dimiliki oleh Ace dari keseluruhan cincin penyimpanannya saja. Jika digabungkan, maka totalnya mencapai 340 kilometer persegi ruang penyimpanan yang dimiliki oleh Ace.
"Sebenarnya siapa dirimu di Istana Dewata yang kau banggakan itu? Bahkan satu cincin Jade Samudera saja sudah sangat mahal, dan kau memilikinya lebih dari puluhan. Selain itu, gelang juga, tidak mungkin harganya tidak tinggi. Sebenarnya, darimana kau dapatkan semua itu?" tanya Asta, terkejut dengan kekayaan yang dimiliki oleh serigala tersebut.
Ia benar-benar tak menyangka bahwa seekor serigala sepertinya mempunyai kekayaan yang melimpah ruah. Belum lagi dengan apa yang tersimpan di dalamnya, mustahil jika semua itu kosong. Melihat panci obat di hadapannya saja, Asta bisa merasakan samar-samar bahwa pot tersebut merupakan artefak kelas atas.
"Tentu saja, karena kedudukan ku sangatlah penting dan tinggi di Istana Dewata. Istana Dewata milikku adalah salah satu dari 11 Istana Ras Hewan Ghaib Kuno di Benua Alam Surgawi ini. Wajar kalau diriku yang hebat ini memiliki berbagai hal yang tak dimiliki oleh orang lain," ucapnya sombong.
"Sudah tahu! Sudah tahu! Daripada itu, aku lebih penasaran darimana kau bisa memiliki harta itu?" tanya Asta sembari menunjuk gelang tersebut.
"Ohh... Tentu saja, ini adalah hadiah dari jabatanku. Bukankah ini sangat cocok untuk sosok gagah perkasa dan hebat seperti diriku? Hahahaha..." Ujarnya dengan sombong.
"Apa aku boleh berkontribusi di Istana Dewata-mu supaya aku juga bisa mendapatkannya?" Tanyanya polos.
Ace tertawa mendengarnya sampai terbatuk-batuk,"Dasar bodoh. Bukankah aku sudah pernah bilang padamu soal meningkatkan artefak penyimpanan? Artefak penyimpanan bisa ditingkatkan, entah itu kelasnya ataupun peringkatnya. Kalau kau menginginkan sesuatu seperti ini, cukup dengan meningkatkan kelas artefak penyimpananmu itu juga, kalau kau mempunyai bahan-bahannya," jelasnya.
"Apa saja bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya?" Tanya Asta.
Ace mengangkat kakinya menunjukkan lima jarinya,"5 buah artefak penyimpanan kelas biasa peringkat 10 untuk satu buah artefak penyimpanan kelas bangsawan," ucapnya enteng.
Asta melongo mendengarnya, tak percaya dengan hal tersebut. Satu cincin peringkat 10 saja luasnya sudah dua kali lipat daripada gelang peringkat 1. Namun setelah mendengar penjelasan dari Ace mengenai hukum waktunya yang berjalan lebih lambat, Asta bisa menerimanya.
"Kalau begitu, bisakah kau memberiku 5 cincin milikmu itu? Bukankah kau mempunyai banyak," ucapnya meminta.
"Enak saja! Pergilah ke medan perang dan dapatkan cincin rampasanmu sendiri. Kau pikir aku akan memberikannya padamu semudah itu," ucapnya lalu menyimpan semuanya kembali. Kini ia terlihat hampir seperti serigala biasa umumnya, kecuali corak kebiruan di dahinya yang sedikit berbeda.
"Dasar bocah nakal! Kau masih terlalu cepat untuk bisa membodohi ku. Hampir saja aku lupa," ujarnya tersadar hampir melupakan rebusannya tersebut.
Beberapa saat Ace mengedarkan pandangannya antara Asta dan pot tersebut sebelum kemudian tersenyum tipis. Beberapa saat yang tenang itu telah sirna dan kembali pada firasat buruk yang menggebu-gebu.
"Semakin lama otakmu ternyata semakin pandai. Lain kali aku akan lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi mulut beracunmu itu," ucapnya sambil menyipitkan mata.
"Hah? Maksudmu?" Tanyanya balik, pura-pura tidak mengerti apa yang dia ucapkan.
"Aduhh! Sepertinya kepalaku kambuh. Aku pergi dulu," lanjutnya beralasan.
Ace menyipitkan matanya,"Jangan berkelit, dasar bocah nakal! Kau pikir aku akan tertipu lagi. Cepat kemari!" Panggilnya dengan nada kesal. Sebelumnya Asta berhasil mengelabuinya saat dimana seharusnya mereka melatih teknik pelepasan hewan roh, namun karena pertanyaan-pertanyaannya waktu yang seharusnya digunakan untuk berlatih malah terbuang sia-sia. Itu karena Asta memancingnya untuk menyombongkan diri.
"Kau pikir aku tak mengetahuinya. Alasanmu yang tiba-tiba membahas pot ini pasti karena kau ingin aku melupakan sesuatu hal, seperti saat aku memaksamu untuk berlatih pelepasan hewan roh. Kau berhasil menipuku hingga akhirnya waktuku terbuang sia-sia,"
"Kenapa kau menyalahkanku? Aku hanya kagum dengan kemampuan bangsamu, namun kau sendiri yang malah berlebihan memamerkannya sampai saking serunya mendengarkan, aku pun melupakannya," ucapnya mengelak lalu kemudian pergi berlari keluar gua.
"Ingin lari kemana kau bocah nakal! Apa kau melupakan sesuatu?" ucapnya pelan.
Belum sempat ia berlari menjauh, sesuatu yang berat terasa menimpa punggungnya. Ia pun tersungkur ke tanah tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukannya Ace melemparkan pot tersebut padanya, melainkan ia menarik kembali perlindungan untuknya agar bisa bertahan dari tekanan di tempat tersebut.
"Sialan! Bagaimana bisa aku melupakan sesuatu yang membuatku tak sadarkan diri," batinnya berkeluh-kesah.
Ace tertawa melihat Asta tersungkur di tanah tanpa bisa berbuat apa-apa,"Apa kau masih belum sadar? Kau bisa berdiri dengan tegak selama ini karena kekuatanku. Jadi, kalaupun kau ingin melarikan diri, aku cukup menarik kembali perlindunganku, dan dengan begitu, tentu saja kau takkan bisa melakukan apa-apa. Terlebih dengan tekanan sebesar ini," Ace pun melangkah mendekat ke arahnya.
"Kuharap ia takkan mengikatku dan merebusku bersama dengan rebusan yang menyengat itu," gumamnya pasrah penuh harap.
Asta pasrah saat Ace menariknya ke dekat pot tersebut. Selain akan ditumbalkan, Asta juga bersiap jika harus menghirup aroma atau bahkan meminumnya, ia akan mencoba untuk menerima takdirnya.
Namun, seperti yang sering kali dikatakan, ucapan adalah doa. Ace mengeluarkan sebuah tali dari cincin penyimpanan milik Asta lalu mengikatkannya pada kedua kaki dan tangannya. Asta menarik nafas dalam-dalam, firasatnya semakin memburuk.
Bunyi air mendidih terdengar jelas dari rebusan tersebut, menandakan betapa tingginya suhu di dalamnya. Firasatnya benar-benar memburuk sampai-sampai ia merasa bahwa Ace akan melemparnya ke dalam pot tersebut.
"Hei! Mengapa tangan dan kakiku harus diikat? Kau tak berencana melemparku ke dalam pot ini, kan, Ace...?" Tanyanya cemas.
Ace hanya tersenyum tipis tanpa berkata apapun. Melihat sikapnya yang seperti itu, Asta pun langsung memohon ampun agar ia tidak akan direbus dalam pot obat yang mendidih tersebut.
"Ace, ayolah, apa kau benar-benar ingin..." belum selesai ucapannya, Ace tiba-tiba melemparnya ke dalam pot tersebut.
".... Melemparkanku..."
"Byurr!" Bunyi sesaat muncul ketika Asta terjatuh ke dalam pot tersebut.
"Akhh!! Panas! Panas! Panas! Maafkan aku, Ace, aku janji tak akan menipumu lagi!" Asta menjerit kepanasan. Ace benar-benar melemparkannya ke dalam pot tersebut dengan tangan dan kaki terikat.
"Ya! Aku memaafkanmu. Tapi sayangnya kau harus tetap di sana. Sampai kau menyerap semua khasiatnya hingga habis," ucap Ace sambil pergi, meninggalkannya yang saat itu masih berteriak-teriak kepanasan.
Ace kemudian mengeluarkan sebuah buku dan mulai membacanya, mengabaikan Asta yang berteriak-teriak memanggilnya.
---
Di tempat lain, tepatnya di Benteng Pertahanan Sementara di Perbatasan Barat Provinsi Huo Tanah Api Suci dan Provinsi Shan Pegunungan Iblis, sebuah pertempuran besar sedang terjadi.
Pasukan besar dari Sekte Kobaran Api Sejati, Sekte Tanah Keabadian, dan Sekte Biru Bulan Sabit, yang merupakan tiga Sekte Besar di Kekaisaran Arkhan, bergabung dengan empat Sekte Besar lainnya dan sekte-sekte menengah hingga kecil lainnya. Menciptakan sebuah aliansi besar yang dipimpin oleh tujuh Ketua Sekte Besar, yang diberi nama Faksi Dewa.
Meski telah menciptakan sebuah aliansi besar yang kuat, nampaknya hal itu masih belum cukup untuk menundukkan pasukan musuh yang dikomandoi oleh tujuh sosok yang disebut 7 Pendosa.
Kehadiran 7 Ketua Sekte Besar memang memberikan bantuan yang besar, akan tetapi dengan adanya 7 Pendosa yang juga sama hebatnya menjadikan akhir pertempuran sulit untuk diprediksi. Aliansi yang dibentuk oleh Provinsi Shan Pegunungan Iblis, bersama dengan sekte menengah dari Dataran Gitou serta Negara Lembah Terkutuk, menciptakan pasukan yang justru lebih besar daripada aliansi 7 Sekte Besar dan sekte-sekte yang lebih rendah lainnya.
"Hei! Hei! Hei! Apa yang terjadi denganmu? Jika seorang kultivator jenius sepertimu tak mampu mengalahkan Demon rendahan sepertiku, semua orang akan mentertawakanmu, tahu! Khe! Khe! Khe!" Ucap salah seorang petinggi Faksi Pendosa, Tian Lan, yang memiliki gelar Sang Petarung Tamak. Saat ini, ia sedang berhadapan dengan Arai Ken.
Arai Ken tampak kewalahan menghadapinya. Sedikit lagi, ia hampir terjatuh jika tidak menjadikan pedangnya sebagai tumpuannya untuk berdiri. Nafasnya memburu, dan keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya.
"Hahahaha... Lelucon yang bagus, Tian Lan. Lagipula masih terlalu cepat untuk menentukan siapa pemenangnya," ucapnya penuh percaya diri. Arai Ken juga memiliki gelar khas sebagai Master Pedang Berapi Biru.
"Heehhh... Kalau begitu, kita akhiri saja pertarungan ini untuk persahabatan kita selama ini. Lalu, biarkan aku dan rekan-rekan ku mencari keberadaannya kalau memang kalian benar-benar tak berhubungan dengannya. Ini adalah tawaran dari seorang rekan lama, Arai Ken," ucapnya sembari memainkan senjata cakar panjangnya.
"Kalau begitu, akan kuhargai tawaran itu dengan memberikan tawaran yang sama. Bagaimana kalau kau berhenti dan menarik pasukanmu kembali? Kalau kau percaya padaku, biarkan aku yang mencarinya sendiri. Namun, jika kau ingin bertarung, lalu untuk apa banyak bicara," balas Arai Ken, mengangkat kembali pedangnya.
"Kau sombong sekali, Arai Ken. Yahh... Lagipula, memang sudah lama aku menunggu-nunggu kesempatan seperti ini. Karena kau tak mau mengalah, maka aku hanya akan berkata maaf jika seandainya nanti cakar milikku ini mencabik-cabik tubuhmu," timpalnya, bersiap kembali bertarung.
Dalam satu helaan nafas, pedang yang digunakan oleh Arai Ken mengeluarkan api biru yang membara, sedangkan cakar yang dipakai oleh Tian Lan mengeluarkan asap merah yang beracun. Satu hentakan menyebabkan gelombang energi yang cukup besar di sekitarnya.
Tian Lan mengayunkan cakarnya membabi buta, di sisi lain, Arai Ken terlihat hanya terus menahan serangan miliknya. Meski tanpa aba-aba, semua orang langsung memberi mereka ruang untuk menghindari serangan nyasar dari keduanya.
"Entah apa alasanmu hanya bertahan selama ini, aku tak mengerti. Tapi kau benar-benar sesuai dengan reputasimu," puji Tian Lan.
"Kalau begitu, kenapa kau tak berhenti dan tunggu saja. Aku bisa pastikan sebentar lagi kau akan tahu mengapa aku hanya menahanmu selama ini," balasnya sambil tersenyum.
"Bala bantuan? Kalau begitu, aku semakin tidak boleh lagi berhenti," ucap Tian Lan dengan tekad bulat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments