"Perhatian untuk para pembaca terhormat! Ceritaku ini, sedang dalam fase Revisi.
Jika kalian tak menemukan kalimat ini di awal chapter, dimohon untuk tidak meneruskan. Karena itu artinya, Chapter tersebut masih belum direvisi dan berantakan isinya.
Sekian dan terima kasih."
-snjy_3
---
Ace yang menyadari kehadiran Kenshin Utake hanya melemparkan tatapan sinis ke arahnya hingga membuatnya berdiri mematung di sana.
-
"Mengganggu saja." Batin Ace sedikit geram.
---
Setelah membuat Kenshin Utake diam, Ace kembali menatap ke arah Asta yang tengah membungkuk di hadapannya. Ace tertawa melihatnya basah kuyup akan keringatnya sendiri yang mengalir deras.
"Ku pikir kau dapat membuktikan ucapanmu sendiri." Ace tertawa terbahak-bahak melihatnya tak sanggup lagi menahan tekanan auranya. Melihat sorot matanya yang awalnya terlihat tajam lalu semakin redup sesaat sebelum Asta tak sadarkan diri Ace segera menarik kembali auranya.
Begitu terlepas dari tekanannya Asta langsung menghembuskan nafas lega. Badannya langsung ambruk ke tanah, tangan dan kakinya sudah tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya. Meski begitu Asta masih beruntung Ace dengan cepat menarik kembali auranya, jikalau tidak sudah pasti dia tak sadarkan diri.
"Jadi, bagaimana caranya sekarang kau dapat menunjukkan kemampuanmu sebagai seorang Master Roh Ahli...?" Ucapnya menyindir lalu tertawa terbahak-bahak, sementara itu Asta hanya memiringkan bibirnya sebal.
Saat ini yang paling Asta pikirkan adalah bagaimana caranya agar dia bisa segera menstabilkan kembali pernafasannya, daripada mendengarkan Ace yang terus berceloteh tentangnya sedari tadi.
Sementara Asta mengatur nafasnya Ace mencoba berkomunikasi dengan Flares melalui telepati mengenai Kenshin Utake.
-
"Apa kau punya ide yang bisa ku lakukan padanya?"
Flares mengerutkan dahinya. "Apa yang kau katakan?! Bukankah kau sudah membicarakannya dengan Helio Utake? Jika sudah, maka tujuannya kemari adalah untuk menyampaikan pesan kepada Asta agar segera pergi sekarang."
Mata Ace langsung terbuka lebar mengingatnya. "Ahh, mengapa aku malah melupakannya padahal aku yang mengatakannya pada Helio Utake agar Kenshin Utake yang kemari."
"Kita biarkan saja sementara ini. Saat waktunya tepat dia pasti akan kemari dengan sendirinya." Ucap Flares.
---
Ace hanya menganggukkan kepalanya pelan setelah mengingatnya. Selesai berkomunikasi dengan Flares, Ace kembali melanjutkan aktivitasnya mengomentari kekurangan dan kelemahan yang Asta miliki saat ini. Menurutnya, Asta terlalu cepat menerobos ke ranah ahli sementara masih banyak hal dasar yang belum dipelajarinya, salah satunya adalah kontrol dasarnya yang terbilang sangat lemah. Padahal Asta mewarisi roh yang terbilang istimewa karena terkenal akan kekuatannya.
"Meskipun kau mengalami peningkatan dalam kontrol roh, namun itu masih belum cukup bagimu untuk mengeluarkan seluruh potensi yang ada pada dirimu. Selain itu, kontrol auramu juga terlalu rendah dan sangat buruk."
"Bagaimana aku..."
"Memilih jalan sebagai Master Roh itu sama halnya menapaki jalan roh yang berfokus pada akumulasi pemahaman terhadap rohmu sendiri, yang mana dalam hal ini kontrol dasar artinya wajib kau pelajari keduanya jika kau benar-benar ingin menjadi seorang Master Roh hebat. Terlahir dengan roh dewa tidak membuatmu bisa bersantai apalagi menyepelekan masalah kontrol dasar." Ucap Ace panjang lebar memotong Asta yang hendak berbicara.
Asta mengangkat tangannya bermaksud ingin mengajukan alasan, tetapi Ace terus-menerus memotongnya saat sebelum Asta menyelesaikan ucapannya hingga akhirnya Asta pun memilih diam, menunggunya sampai berhenti berbicara dengan sendirinya. Saking bosannya mendengarkannya Asta sampai memejamkan matanya karena mengantuk.
Meskipun Ace berbicara dengan panjang lebar namun secara jelas kesimpulannya adalah tentang kontrol dasar Asta yang belum stabil, sehingga membuat pondasinya sebagai kultivator sangatlah rapuh, apalagi Asta kurang motivasi dalam melakukan penempaan raga tubuh secara terus-menerus.
Padahal jika dipikir-pikir sendiri, Asta yakin jika dia sudah berlatih begitu keras ketimbang daripada yang lainnya, namun entah mengapa Ace selalu saja merasa tak cukup dengan pencapaiannya selama ini.
Awalnya Asta dapat menerima semua ocehannya namun lama-kelamaan telinganya terasa panas dengan segala komentarnya.
"Apa kau masih belum bisa diam setelah berbicara sejauh ini tentangku? Kau berkata seperti aku tak pernah berlatih selama ini. Memangnya apa hakmu berkomentar sejauh itu tentangku?!" Balas Asta meninggikan suaranya. Nadanya terdengar begitu kesal hingga Ace pun terdiam.
"Aku memang beruntung bisa bertemu dengan Guru yang hebat, yang dapat melatihku dengan baik hingga ke titik ini. Namun begitu, terlepas dari hebatnya Guru dan kau, aku hanyalah seorang bocah 10 tahun! Aku mana mungkin bisa memikirkan hal-hal rumit seperti mempelajari kontrol dasar tanpa arahan."
Ace yang semula ingin berbicara mengurungkan niatnya saat melihat matanya masih dipenuhi oleh amarah. Di sisi lain Flares yang sedari tadi hanya tertawa kini ikut terdiam melihat muridnya membentak balik pada Ace.
Selama beberapa saat tak ada satu pun pembicaraan yang terjadi. Hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka bertiga.
Di dalam hati Ace merasa menyesal karena terlalu banyak bicara mengenai hal yang tak seharusnya dia katakan terus-menerus, apalagi hal yang berkaitan dengan pondasi kultivasi Asta saat ini yang hanyalah seorang bocah berusia 10 tahun. Ace sadar bahwa seharusnya dia bukan menceramahinya melainkan membimbingnya lebih baik lagi.
"Asta, aku..."
"Tak perlu dipikirkan lagipula aku hanya asal bicara." Potong Asta sambil berdiri membersihkan pakaiannya.
"Apa aku boleh mengulang?" Lanjutnya bertanya pada Ace.
"Mengulang apa maksudmu?" Tanya Ace balik.
Asta melancarkan pukulan ke arah Ace yang kemudian dihindarinya. "Ini maksudku!" Ucapnya dengan antusias dipenuhi rasa semangatnya yang sudah kembali.
Ace melompat ke belakang sambil menyeringai lebar. "Sepertinya kau masih belum cukup belajar dari pengalaman sebelumnya."
Meski pukulannya meleset Asta kembali melancarkan serangannya secara bertubi-tubi, namun tak ada satupun dari serangannya yang mendarat di tubuhnya.
-
"Memang mustahil bagiku untuk mengenainya. Kecepatannya terus meningkat sepanjang aku menyerangnya. Akan cukup susah jika aku menyerangnya dengan sembrono." Batin Asta kalut sendiri.
---
Walau sadar yang dilakukannya sia-sia Asta tak bisa menyerah begitu saja, terlepas dari semua serangannya begitu mudah dibaca Asta tetap konsisten melancarkan serangan sembari memikirkan cara untuk bisa mengenainya.
Aura kehitaman merembes keluar menyelimuti kepalan tangannya memperkuat tekhnik peremuk raganya yang saat ini tengah diaktifkannya. Asta memasang kuda-kuda melancarkan pukulannya yang sudah diperkuat empat kali lipat dari tenaga awal.
Dengan seringai lebar Ace menangkis semua serangannya tanpa melihatnya sama sekali. Seolah-olah sudah memprediksi kemana selanjutnya Asta akan melancarkan pukulannya.
Sementara itu di sisi mereka Flares mengevaluasi efisiensi serta kecakapan Asta dalam mengolah dan mempresentasikan seluruh pemahamannya. Sesekali Flares akan mengarahkannya agar Asta dapat terus belajar lebih baik.
Di sepanjang pertarungan Asta terus belajar banyak hal dan gerakan-gerakan kompleks. Pemahamannya akan tekhnik bertarung tangan kosongnya terus meningkat secara pesat, hingga Asta bahkan mampu melakukan beberapa gerakan-gerakan kompleks dalam memberikan serangan.
Perlahan-lahan seringai Ace berubah menjadi senyuman melihat kemajuannya, walaupun Asta masih belum dapat menandingi kecepatannya.
Ace sebenarnya mengakui kecepatan perkembangan Asta sangatlah signifikan namun karena harga dirinya yang tinggi Ace tak pernah mengatakannya sekalipun, sehingga membuatnya selalu seperti meremehkannya setiap saat.
"Tunjukkanlah kepadaku sejauh mana kau dapat berkembang menjadi lebih baik, Asta!"
"Tentu!"
Asta merasakan darahnya bergejolak panas mendebarkan detak jantungnya agar bergerak dengan lebih cepat lagi. Ini adalah kali pertama Asta mengeluarkan semangat bertarungnya dengan sepenuh tenaga.
"Kau kalah." Ucap Ace mendaratkan kakinya tepat pada di perutnya.
"Uhukk!"
Asta terhempas ke belakang menabrak pohon sambil mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Meskipun terlihat santai namun tendangan tersebut memiliki kekuatan yang besarnya bukan main.
Asta meringis sambil memegangi perutnya. "Uhukk! Sial, bagaimana bisa?!" Asta berkeluh kesah tak percaya.
"Apanya yang kau maksud dengan bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Lagipula seharusnya kau sadar lebih awal, kau takkan pernah bisa mengalahkanku hanya dengan kekuatanmu saat ini. Memangnya persyaratannya apa yang ku minta darimu?" Tanya Ace sambil berjalan mendekat.
"Aku tahu itu sedari lama. Tapi, apakah salah jika aku ingin mencobanya sekali saja untuk mengalahkanmu dalam pertarungan?"
Mendengar hal itu Ace lantas tertawa terbahak-bahak sementara Asta memegangi perutnya sambil meringis sakit.
"Kau tahu bahwa kau tak dapat merasakan hawa kekuatanku sama sekali dan kau masih bersikeras untuk mengalahkanku? Mimpi!" Ucapnya lagi masih setengah tertawa.
Asta hanya memasang wajah cemberut mendengar ucapannya teresebut yang tampak meremehkan.
"Tunggu saja, suatu hari nanti aku pasti akan mengalahkanmu!" Balas Asta jengkel.
Ace hanya tertawa menanggapi ujarannya diikuti dengan Flares yang juga ikut tertawa kecil mendengarnya.
Setelah beberapa memulihkan kondisinya Asta kembali berdiri untuk menantang Ace sekali lagi. Rasa penasaran masih memenuhi seisi benaknya tentang kebenaran dari kekuatan absolut itu sendiri.
"Kau benar-benar keras kepala, tapi baguslah, karena aku justru menyukai orang-orang seperti itu. Yang berkeyakinan bahwa dengan kerja keras bisa mengatasi segalanya."
Asta hanya tersenyum penuh yakin sembari memasang kuda-kuda siap bertarung. Ace berdiri dengan dua kakinya sambil menyeringai lebar menunggunya menyerang lebih dulu.
"Hati-hati!" Ucap Asta pelan sebelum melesat dengan cepat ke depan.
Ace menangkis pukulannya namun Asta melancarkan kembali pukulan lainnya. Selama beberapa saat terjadi adu pukulan diantara keduanya hingga debu-debu berterbangan menutupi pandangan.
Refleks Asta mendorong kakinya mengambil jarak ke belakang sesaat pukulan Ace mengenainya. Tentu dia tak diam membiarkannya mengambil jarak, Ace melesat ke depan menutup kembali jarak diantara keduanya.
"Alirkan lebih banyak esensi rohmu ke dalam tekhnik peremuk raga, apa sebegitu rendahnya kontrol dasarmu sampai-sampai kau takut melepaskan kekuatanmu sendiri?" Pancing Ace agar Asta mengerahkan segenap esensi rohnya demi memperkuat serangannya.
Asta merapatkan giginya kesal mendengar hal itu. Bukannya Asta tak mau melakukannya hanya saja dia tak bisa melakukannya. Karena tangannya akan terbakar oleh esensi rohnya sendiri jikalau Asta memaksakan diri untuk melakukannya.
Seperti meriam Ace menghujani Asta dengan tekhnik pukulan dan tendangannya yang luar biasa cepat, memaksanya ke dalam posisi bertahan menerima serangan.
"Tahan ini!"
Ace melakukan sebuah tekhnik tendangan memutar mengacaukan konsentrasi Asta yang awalnya berpikir Ace akan menyerang dari depan. Belum sempat memasang kuda-kuda bertahan kaki Ace mendarat tepat di pinggangnya, menghempaskannya lumayan jauh hingga menabrak ke salah satu pohon di sana.
Asta memuntahkan darah segar dari mulutnya, lagi dan lagi Ace mengalahkannya dalam satu serangan.
"Apa kita tak punya cara lain?" Tanya Asta sambil mengusap darah yang keluar dari mulutnya.
Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan menjawabnya. Asta menghembuskan nafasnya kecewa. Sepertinya dia benar-benar harus memikirkan cara untuk bisa menangkapnya.
"Ace, sebelumnya kau sempat bilang kontrol dasarku lemah bukan? Lantas, mengapa kenaikan ranahku begitu cepat dibandingkan yang lainnya?" Tanya Asta.
Ace memiringkan kepalanya sambil menggaruk bulu di lehernya. "Itu karena kau terlalu fokus pada kenaikan ranah ketimbang memahami potensi dari esensi rohmu dulu. Lagipula sudah berapa kali ku katakan penguasaan dan pemahaman itu dua hal berbeda namun saling berkaitan."
Asta ikut memiringkan kepalanya sambil menggaruk pipinya. "Ya, aku tahu itu. Tapi bisakah kau berikan gambarannya lebih baik lagi?"
Ace memegang dagunya berpikir. "Contoh sederhananya, kau memiliki pemahaman tentang esensi rohmu yang dapat kau manipulasi bentuknya, namun karena penguasaan rohmu tidak cukup ada keterbatasan yang membuatmu tak dapat memanipulasinya sesuka hatimu. Akibatnya kau tak dapat mengeluarkan seluruh potensi kekuatan dari pemahaman itu sendiri, jika penguasaanmu tak mengalami kemajuan."
Kening Asta berkerut heran mendengar hal itu. "Jadi, ranah tak menentukan seberapa kuat seseorang, ya?" Tanyanya sambil menggaruk dagu.
Kaki berbulu Ace langsung melayang mengincar kepalanya. "Mulutku hampir berbusa mengatakannya dan kau masih belum mengerti juga?!" Ucapnya sambil melotot.
Asta menggaruk pipinya tersenyum canggung.
"Ranah menunjukkan setinggi apa pemahaman seseorang, sedangkan kontrol dasar itu mengacu pada sejauh mana pemahamanmu. Sia-sia saja kau mampu mengeluarkan seluruh potensi esensi rohmu jikalau pemahamanmu hanya sebatas memperkuat pukulan."
Kedua mata Asta terbuka lebar memahaminya. Sekarang Asta mengerti apa yang Ace katakan mengenai ranah dan penguasaan.
"Walaupun kau dan Guru-mu memiliki kesamaan dalam esensi roh, bukan berarti kau bisa dengan mudah mempelajari hal itu darinya. Dia mungkin bisa membagikan pemahamannya, tapi tidak dengan tingkat penguasaannya." Lanjut Ace menjelaskan.
Asta mengangguk-anggukkan kepalanya semakin mengerti.
"Awalnya, aku hanya berniat membimbingmu menjadi seorang Master Roh. Namun, siapa yang tahu ternyata Guru-mu ini tiba-tiba muncul diantara kita berdua sambil mengutarakan keinginannya untuk mendapatkan tubuhnya kembali. Jadi, mau tak mau kau harus siap menapaki jalan surgawi lainnya. Yang artinya kau harus bersiap akan perjalananmu yang panjang dan membosankan ini." Ucap Ace sambil menengok sedikit ke arah Flares yang sedari tadi tersenyum canggung.
Wajah Asta berubah masam mendengarnya. "Aku ragu perjalananku akan terasa membosankan, justru aku lebih percaya jika suatu saat nanti kemungkinan terbunuh sangatlah tinggi."
"Di luar tujuan untuk membantu Guru, aku juga masih ingin memastikan sendiri kejelasan dari kasus hilangnya ayah dan ibu. Bahkan, sekalipun ini kehendak seorang Dewa, aku siap meruntuhkan langit dan singgasananya di atas sana." Ucap Asta sambil memandang langit mengepal kuat.
Entah itu Flares maupun Ace, mereka hanya tersenyum tipis mendengarnya tanpa berbicara sedikitpun.
Suasana seperti inilah yang sebenarnya Asta tunggu-tunggu sedari tadi. Asta menggerakkan tangannya secara perlahan meraih bulu-bulu halus milik Ace.
"Dan hal pertama yang harus aku lakukan adalah mengalahkanmu. Lalu sekarang, aku sudah melakukannya sesuai ucapanmu, bukan?" Ucap Asta sambil tersenyum penuh kemenangan.
Raut wajah Ace yang awalnya terharu seketika berubah kosong setelah sadar Asta telah mempermainkannya. Flares yang juga baru menyadarinya ikut tertawa terbahak-bahak memperhatikan ekspresi kosongnya.
"Kau benar-benar bocah licik yang pandai sekali menyusun kata."
Walaupun rasa-rasanya hatinya dongkol karena merasa dipermainkan, namun tak bisa dipungkiri jika berbicara pun termasuk strategi. Jadi, Ace pun mengakui kekalahannya kali ini karena kelengahannya sendiri.
Setelah dirasa tepat waktunya, Kenshin Utake akhirnya tak sabar untuk menyampaikan pesan dari ayahnya kepada Asta. Menyadari hal itu Ace memalingkan wajahnya sambil memberi tatapan dingin ke arahnya.
"Ahh, ya, kupikir ini sudah waktunya untukku keluar, karena kulihat suasananya sudah cukup tenang. Jadi, apa boleh buat? Senior pun pastinya sadar akan betapa sedikitnya waktu yang kita punya." Ucap Kenshin Utake sambil menggaruk kepalanya.
"Kenshin, sedang apa kau disini? Apa kau membuntutiku?" Tanya Asta yang cukup terkejut melihat kemunculannya.
"Jangan bodoh. Aku kemari karena ayahku yang menyuruhku. Seharusnya kau pun tahu bahwa sekarang adalah saat-saat yang tepat untukmu pergi meninggalkan desa." Kenshin Utake berjalan sambil mengepalkan sesuatu pada tangan Asta.
Asta yang tak tahu apa itu langsung membuka telapak tangannya.
"Itu hadiah yang ayahku bisa berikan untukmu. Kupikir di dalamnya terdapat beberapa kebutuhan pokok yang dapat kau gunakan selama perjalananmu." Jelas Kenshin Utake sebelum Asta membuka mulutnya untuk bertanya.
"Kenshin, aku..."
"Tak usah pikirkan hal itu. Lagipula teman-teman yang lain sudah tahu akan kepergianmu semenjak kejadian di rumah tadi. Itulah mengapa aku, dan yang lain termasuk semua orang menyempatkan diri untuk menemuimu." Kenshin Utake tampak tersenyum sambil memegang kedua pundaknya.
"Pergilah, sekarang adalah kesempatanmu untuk pergi. Untuk Moegi, aku akan mencoba sebisa mungkin menahannya di sini. Cepat!"
"Kenshin, terimakasih dan sampai jumpa di kesempatan berikutnya. Kuharap kau tidak berleha-leha selama aku pergi." Ucap Asta sambil memamerkan senyuman tulusnya.
Melihat sahabatnya akan pergi tentu membuat Kenshin Utake sedikit bersedih.
"Tanpa kau berkata seperti itu pun aku pasti akan berlatih dengan sungguh-sungguh. Cepatlah pergi sekarang!" Teriak Kenshin Utake sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Baiklah, kau begitu cerewet, Kenshin. Kalau begitu aku pergi. Ace, ayo kita pergi!" Ajak Asta pada Ace, sementara Flares melayang-layang di belakang Asta tanpa Kenshin Utake sadari keberadaannya.
"Jaga keselamatanmu, Asta!"
"Tentu, kau pun!" Balas Asta dari kejauhan yang mulai berlari meninggalkan tempat tersebut dan berjalan masuk lebih jauh ke hutan.
Sementara Asta berlari semakin jauh meninggalkannya, Kenshin Utake menangis tanpa suara dengan kepergian sahabat masa kecilnya tersebut.
"Dasar bodoh! Bisa-bisanya kau tersenyum penuh bahagia di saat-saat seperti ini!" Gimana Kenshin Utake sambil menggigit bibir bawahnya. Hatinya terasa sesak tak sanggup melihat kepergiannya.
Kenshin Utake mencoba memberanikan dirinya untuk melihat punggung Asta yang semakin menjauh.
"Hei, bodoh! Saat bertemu nanti aku pasti akan mengalahkanmu!" Teriak Kenshin Utake.
Asta hanya tersenyum sembari melambaikan tangannya di kejauhan. Tak dapat melihat dengan jelas bahwa sahabatnya itu saat ini tengah menangisi kepergiannya.
Bersama Ace serta Gurunya, Asta memulai perjalanannya meninggalkan tanah kelahirannya, Desa Kuil Api Tersembunyi, salah satu wilayah tersembunyi Sekte Kobaran Api Sejati. Sekte satu dari tujuh sekte aliran suci terbesar di Kekaisaran Arkhan.
---
Setelah membuat kekacauan di rumah Asta bersama dengan yang lainnya, Asila Moegi diajak pulang kedua orang tuanya yang bersikap sedikit aneh daripada biasanya yang cenderung membebaskannya.
Kecurigaan pun terus berlanjut sampai kepada ibunya, Lan Yue Ru, yang tiba-tiba mengajaknya latih tanding. Apalagi memberikan peraturan untuknya tak meninggalkan latihan sebelum dirinya yang memutuskan bahwa latihan telah selesai.
Meski kecurigaannya terus meningkat, tanpa alasan mendasar jelas dia tak tahu harus berbuat apa. Selain itu, dia juga tak dapat menolak ajakan ibunya ini hanya untuk menelusuri kecurigaan tak mendasarnya tersebut.
Melawan ibunya sendiri yang memiliki kekuatan beberapa tingkat di atasnya, membuatnya kewalahan. Apalagi kali ini Asila Moegi bisa melihat dengan jelas jika ibunya mengeluarkan separuh kekuatannya dan bertarung dengan serius. Asila Moegi dipukul beberapa kali hingga terdorong ke belakang olehnya.
Kecenderungan Asila Moegi yang tak pernah berhenti memikirkan hal-hal rumit yang mengganggu pikirannya membuatnya sadar akan sesuatu yakni, Asta Raiken. Tanpa sepatah katapun Asila Moegi tiba-tiba meninggalkan kediamannya.
Mata kedua orang tuanya melebar saat melihat putrinya tiba-tiba pergi, yang artinya usaha mereka untuk mengalihkannya telah gagal.
"Moegi! Kita belum selesai!" Teriak Lan Yue Ru panik.
"Dengan Hukum Surgawi sebagai saksi, aku berjanji akan menyimpang dari ajaran suci jika ayah dan ibu menghalangiku saat ini! Jika aku mengingkari, aku rela mati di sambar petir surgawi!"
"Duarrrr!"
Sesaat Asila Moegi mengikrarkan sumpahnya sebuah petir menyambar di atas mereka. Lan Yue Ru dan Asila Ryu yang menyadari itu terpaksa harus diam dan membiarkannya pergi.
"Anak itu benar-benar berani." Lan Yue Ru berkacak pinggang sambil melihat punggung putrinya yang berlalu menjauh.
"Ku harap Asta sudah pergi saat ini." Ucap Asila Ryu menghembuskan nafas pelan.
"Semenjak kapan ada anak-anak yang berani mengatakan hal itu?" Keluh Lan Yue Ru bertanya-tanya.
Asila Ryu hanya tersenyum canggung mendengar pertanyaan itu. Mengingat sebuah kenangan yang terjadi di masa lalu.
Setelah Asila Moegi berlari cukup jauh, mereka berdua kemudian mengikuti jejaknya dengan memberikan jarak yang cukup jauh darinya.
---
Jauh di pemukiman Asila Moegi terlihat berlari dengan tergesa-gesa. Dia merasakan detak jantungnya berdebar kencang, nafasnya terengah-engah tanpa henti.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Aku yakin Asta hanya sedang berlatih mengontrol auranya di hutan." Bisiknya pada dirinya sendiri, gemetar tanpa henti.
Sepanjang jalan Asila Moegi terus berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa belum pergi meninggalkan desa. Namun, firasatnya justru merasakan yang sebaliknya. Hingga tanpa disadari air matanya menetes tak tertahankan sejauh dia berlari.
"Tidak, tolong! Jangan buat aku berpikir negatif! Aku yakin Asta takkan pergi meninggalkan desa sebelum berpamitan dengan siapapun!" Teriak Asila Moegi pada dirinya sendiri dengan perasaan yang telah bercampur aduk.
Asila Moegi mengusap air mata yang mengalir di wajahnya. Kakinya bergerak secara otomatis memaksimalkan kecepatannya.
Asila Moegi menghentikan langkahnya dengan sedikit terkejut melihat Kenshin Utake yang ternyata justru lebih dulu sampai di sana.
Kenshin Utake mengangkat wajahnya sambil mencoba tersenyum sebisa mungkin padanya.
"Kenshin, kemana Asta? Aku yakin sebelumnya dia masih berada di sini." Asila Moegi berjalan mendekatinya sambil menoleh kesana-kemari mencari Asta.
Kenshin Utake memiringkan kepalanya masih mencoba tersenyum. "Apa kau bertanya padaku?" Tanyanya balik sambil ikut menoleh kesana-kemari.
Sorot mata Asila Moegi seketika berubah melihatnya berbicara seperti itu padanya.
Asila Moegi menarik kerah baju Kenshin Utake hingga wajahnya berhadapan dekat dengannya. "Jangan bercanda, Utake! Aku tahu dia ada di sini sampai waktu beberapa saat yang tadi."
"Aku serius. Aku tak melihatnya sekarang." Tak berani menatap matanya langsung Kenshin Utake tersenyum dengan mata terpejam.
"Berbohong bukan keahlianmu, Utake!"
Kenshin Utake hanya tersenyum tak membalas ucapannya. Asila Moegi kemudian menghempaskan dia dari hadapannya agar tak menghalangi jalan.
Akan tetapi sebelum Asila Moegi berjalan lebih jauh, dia kembali berdiri menghalangi jalannya pergi. Asila Moegi mengabaikannya dan bergerak ke samping, namun begitu dia juga mengikutinya.
"Menyingkir dari jalanku, Utake!" Teriak Asila Moegi, amarahnya kian memuncak.
Kenshin Utake tampak tak peduli dengan hal itu, yang ada di pikirannya saat ini adalah menahannya di sana selama mungkin sampai Asta pergi meninggalkan tempat itu sejauh mungkin.
Melihatnya yang hanya tersenyum seperti itu membuat Asila Moegi merasa risih dengannya. Amarahnya benar-benar telah memuncak saat ini.
"Senyumanmu itu benar-benar membuatku muak. Minggir, atau ku habisi kau lebih dulu sebelum aku menghabisinya?"
Kenshin Utake tak bergeming sedikitpun dengan ancamannya dan tetap pada pendiriannya sendiri, yaitu menghalangi jalannya selama mungkin.
"Dengan..."
"Dengan Hukum Surgawi kau akan bersumpah untuk menyimpang jika aku terus menahanmu di sini, kan? Cukup dengan hal itu, jika kau memaksa melakukannya aku jamin kau tidak akan dapat bertemu dengannya lagi." Potong Kenshin Utake dengan cepat sebelum Asila Moegi bersumpah.
"Kau, dasar keparat!"
Asila Moegi melancarkan pukulan keras tak segan-segan untuk melukainya. Masih dengan senyumannya Kenshin Utake menahan serangannya hanya dengan satu tangan.
"Singkirkan senyum menjijikan itu dari wajahmu, apa kau sedang meremehkanku, Utake?!"
Walaupun telah menghujaninya dengan serangan, Kenshin Utake terlihat tak berniat sekalipun membalas serangannya dan hanya menahan ataupun menghindarinya bila perlu. Sehingga membuat emosinya semakin tersulut merasa diremehkan.
Akan tetapi lama-kelamaan serangan Asila Moegi semakin melambat dan berkurang drastis kekuatannya. Hal itu disebabkan oleh dirinya sendiri yang tak lagi sanggup menahan air matanya. Hingga dia pun tak dapat menyelesaikan pukulannya yang terakhir dan tertunduk menangis.
Tentu saja Asila Moegi menyadari bahwa sekeras dan sekuat apapun dia melampiaskan amarahnya pada Kenshin Utake, hal itu takkan membuat Asta kembali ke desa saat itu juga.
"Kenapa.. kenapa kau menghalangiku..? Bukankah dia hanya sedang berlatih di sana? Tolong.. tolong biarkan aku bertemu dengannya.." Rintihnya sesenggukan berharap Kenshin Utake membiarkannya pergi mengejar Asta.
"Tidak. Dia sudah tak lagi di sini. Dia sudah pergi semenjak satu jam yang lalu untuk meneruskan perjalanannya."
"Tidak.. kau pasti berbohong.. bagaimana mungkin dia bisa pergi tanpa berpamitan pada siapapun?" Asila Moegi jelas masih tak terima jika Asta benar-benar telah pergi meninggalkan desa.
Tanpa banyak bicara Kenshin Utake lalu memeluknya dengan erat saat itu juga.
"Maaf, aku telah membohongimu. Alasanku beberapa saat yang lalu menuju ke rumah Asta adalah untuk berpamitan dengannya dan yang lain pun tahu akan hal itu. Tapi, karena ini demi kebaikanmu juga dirinya, aku harus membohongimu. Semua orang pun sudah tahu, termasuk ayah dan ibumu." Ucap Kenshin Utake menjelaskan secara pelan-pelan di telinganya.
Asila Moegi langsung menjerit histeris setelah mendengar penjelasannya. Dia menangis sekeras-kerasnya, sebuah pemandangan yang baru pertama kali Kenshin Utake lihat selama ini. Dia benar-benar tak menyangka jika Asila Moegi akan sekacau itu di hari kepergian Asta, jauh dari yang dibayangkannya.
Dengan kejadian ini dia menyadari bahwa dibalik permusuhan yang Asila Moegi perlihatkan pada Asta justru hanyalah topeng untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Sesaat Asila Moegi menjerit histeris, Lan Yue Ru beserta Asila Ryu akhirnya tiba di lokasi mereka berdua. Namun, mereka tak langsung menampakkan diri di depan keduanya.
"Dia benar-benar mirip denganmu." Ucap Asila Ryu sambil menatap wajah istrinya yang tersipu malu.
"Dia masih anak-anak, aku yakin Moegi hanya merasakan kehilangan sahabatnya, itu saja." Ucap Lan Yue Ru.
Setelah beberapa saat kemudian, Kenshin Utake terkejut karena tiba-tiba Asila Moegi tak sadarkan diri di dalam pelukannya.
"Paman, Bibi, aku tahu kalian ada di sana! Jika kalian ingin keluar maka inilah saatnya!" Panggilnya pada Lan Yue Ru dan Asila Ryu yang sedang bersembunyi.
Mendapat seruan itu mereka pun menampakkan dirinya di depannya. Lan Yue Ru sedikit mengangkat kedua alisnya melihat Asila Moegi yang sudah tak sadarkan diri.
"Sepertinya Moegi tak sadarkan diri karena kelelahan." Kenshin Utake kemudian memberikannya pada Asila Ryu untuk membawanya.
"Kenshin, terimakasih. Kami pikir, kami telah gagal menahannya." Ucap Asila Ryu berterimakasih kepadanya.
"Pantas saja semangatnya untuk meninggalkan desa semakin meningkat, sekarang aku tahu alasannya." Ucap Lan Yue Ru.
Kenshin Utake hanya tersenyum tipis pada mereka berdua. Setelah itu mereka pun meninggalkannya sendiri di tempat itu.
"Itu hampir saja. Aku pikir usaha kita selama ini akan gagal." Ucap Kesha Timber yang tiba-tiba melompat turun dari atas pohon disusul dengan dua orang lainnya, Shiro Nekoshi, dan Zaraki Onoki. Mereka tampak bersedih dengan kepergian Asta tersebut.
Arc 1. "Emosi dan Perasaan" End.
---
"Pergi bukan berarti takkan kembali."
--snjy_3
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
PujaKelana
sorry, Emng saya revisi lagi dari awal ceritanya
2022-12-16
0
jeck
alur ceritanya ga nyambung ch 1-6 mc nya Yun san, ko ujug" dari ch 7- kesini yg dibahas ASTA, ACE dan alurnyapun tak berbeda
2022-12-14
0
PujaKelana
jangan lupa komentarnya:)
2022-06-20
1