"Anyyeong haseyo, perkenalkan namaku Nhearsya Clastisia!"
Aku membungkukkan badanku hingga membentuk sudut sembilan puluh derajat. Sangat penting untuk menjaga sikap dipertemuan pertama seperti ini.
"Baiklah silahkan duduk," ujar Pak Park.
Aku segera menuju sebuah meja yang masih kosong di sebelah sana. Sebenarnya satu meja telah diperuntukkan dua orang. Tapi semua kursi sudah diisi oleh pemiliknya masing-masing. Hanya meja itu yang tersisa, kosong, tak ada yang menempatinya sama sekali.
'Tok...tok...'
Seisi kelas mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Seluruh mata tertuju pada gadis berkacamata dengan lensa yang cukup tebal, berdiri di ambang pintu. Sepertinya minusnya sudah benar-benar tinggi karena sudah terlalu lama tinggal ditempat seperti ini.
"Permisi, maaf mengganggu. Bapak dipanggil ke ruang rapat sekarang juga," ujar gadis itu.
"Oh baiklah saya akan segera kesana. Terima kasih!" balas Pak Park.
Kemudian gadis itu beranjak pergi dari sana. Sementara Pak Park sibuk membereskan barang-barangnya. Bahkan ia belum sempat untuk memulai pelajaran pagi ini, sudah main pergi saja.
"Baiklah anak-anak, saya tinggal sebentar," ucap Pak Park.
"Baik pak!" balas kami serentak.
Sesaat setelah pria itu pergi meninggalkan pintu dan dirasa situasi telah benar-benar aman, seisi kelas bersorak-sorai gembira. Lagi-lagi jam kosong yang membosankan. Tak ada yang bisa kulakukan saat jam kosong seperti ini.
"Hai!"
Aku mendongakkan kepalaku dan mendapati seseorang di depanku tengah mencoba berbicara denganku.
"Oh, hai!" balasku dengan sedikit canggung.
"Perkenalkan namaku Jang Eunbi."
"Aku Nhea."
"Namamu unik, tidak seperti kebanyakan nama orang Korea pada umumnya."
Benar juga, bagaimana bisa aku baru menyadari hal ini.
"Aku dengar kau ini anaknya Nyonya Vallery ya?"
Kenapa harus pertanyaan itu lagi yang terlontar dari mulut mereka.
"Iya," balasku singkat.
"Apa kau tidak memiliki nama keluarga?"
"Tidak."
Sebenarnya aku sengaja tidak memakai hal itu dibagian mamaku meski aku memilikinya. Ayah adalah keturunan keluarga Choi, otomatis itu adalah nama keluarga kami juga. Ayah adalah orang Korea asli, namun dulunya nenek sempat menikah lagi dengan bangsa asing sehingga nama ayah diganti. Sementara ibu merupakan keturunan antara bangsa Belanda dan Rusia. Entah bagaimana mereka berdua bisa bertemu di negeri ginseng ini, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.
Tiba-tiba saja seseorang datang mengisi tempat duduk di sebelahku. Lantas aku menoleh sebagai respon yang terjadi secara refleks.
"Jongdae?" ujarku.
"Kenapa? Apa kau sudah lupa denganku?"
"Oh...itu.... Tidak!" balasku.
Eunbi menimpali obrolan kami, "Kalian sudah saling mengenal?"
Kenapa dia bisa berada disini. Apa jangan-jangan ia juga sekelas denganku pagi ini. Tapi bagaimana mungkin aku baru melihatnya sekarang. Padahal jumlah orang disini tak sampai dua puluh orang.
"Pulang sekolah nanti apakah sibuk?" tanya Jongdae padaku.
"Hmmm.... Sepertinya ada sedikit. Kenapa?"
"Oh, tidak. Aku hanya ingin mengajakmu berkeliling tempat ini saja."
Aku mempertimbangkan ajakannya. Kurasa aku harus menerima yang satu ini. Lagipula baru dua hari aku menginjakkan kaki disini dan belum sempat menjelajahi seluruh seluk-beluk bangunan ini.
"Boleh saja, tapi setelah aku menyelesaikan pekerjaanku dulu," ujarku.
"Apa kalian tidak akan mengajakku berjalan-jalan?" tukas Eunbi.
"Hei, ayolah! Ini cuma berkeliling sekolahan saja," balas Jongdae sambil mendengus kesal.
Eunbi memajukan bibirnya beberapa centi, "baiklah aku tak akan membantumu saat ujian praktek nanti."
Jongdae terdiam sesaat, kemudian segera menarik kembali ucapnya barusan. Kelihatannya ancaman Eunbi benar-benar membuatnya mati kutu dan tak bisa berkutik sedikitpun.
"Baiklah..." balas Jongdae yang sudah pasrah dengan keadaan.
"Terima kasih! Jongdae oppa!" ujar Eunbi kegirangan sambil mencubit gemas pipi pria ini.
Sementara seseorang yang menjadi sasarannya hanya bisa mengangguk pasrah. Aku tak menyangka jika Jongdae yang kukenal, seorang kepala asrama putera ternyata bisa tunduk juga kepada seorang wanita seperti Eunbi.
"Eh, ngomong-ngomong boleh kami ikut membantumu nanti?" tanya Eunbi tiba-tiba.
"Ah? Tidak usah, nanti malah merepotkan kalian," balasku.
Sebenarnya aku masih merasa tidak enak dengan mereka, meskipun mereka telah mencoba untuk akrab denganku. Kuharap statusku sekarang ini bukanlah alasan mengapa mereka mau menjadi temanku.
"Tidak kok, kami malah senang jika bisa membantu," sambung Jongdae.
Eunbi mengangguk cepat mengiyakan perkataan pria ini barusan.
"Sebenarnya aku cuma mau mengambil barang-barang ku yang tertinggal di rumah," ujarku.
Nanti aku akan minta izin kepada bibi untuk kesana. Sepertinya tidak jauh dari sekolah ini, ada persimpangan dan disana terdapat halte bis. Karena aku tidak mungkin merepotkan bibi, ia pasti sangat sibuk dan tidak akan sempat untuk mengantarkan ku.
"Wahh.... Kerumahmu?" tanya Eunbi antusias.
"Bukan rumahku.... Itu rumah bibi," jelasku.
"Nyonya kepala sekolah maksudmu?"
Aku menganggukkan kepalaku.
"Aku tidak yakin kita akan diizinkan nyonya kepala sekolah kesana untuk menemani Nhea," timpal Jongdae.
"Aku juga berpikir begitu," balas Eunbi.
"Sudahlah sebaiknya lupakan saja hal itu," ledek Jongdae.
***
'Tok...tok...tok...'
Semoga saja bibi ada di dalam sana.
"Ya masuk!" balas seseorang dari dalam.
"Fiuh! Syukurlah," batinku dalam hati.
Aku kemudian membuka gerendel pintu tersebut dengan hati-hati dan sangat pelan. Aku tak ingin menimbulkan keributan, mengingat benda berbahan dasar logam ini sudah mulai berkarat. Sehingga akan sedikit berderit jika dibuka.
"Nhea? Ada urusan apa datang kemari, tumben," ujar bibi sambil membenarkan kacamatanya.
Tidak hanya bibi yang ada di sana saat itu. Oliver juga ada disana, apa dia tidak masuk kelas pagi ini. Belakangan ini Oliver selalu sibuk dengan bibi, mereka terlihat seperti partner kerja yang selalu bersama. Tapi ya sudahlah aku tak mau ikut campur urusan mereka. Lagipula tujuanku datang kesini adalah untuk meminta izin.
Aku mengambil posisi didepan bibi kemudian membenarkan posisi dudukku sebelum mulai berbicara.
"Bibi aku ingin minta izin keluar sebentar," ujarku dengan sedikit ragu.
Aku tak yakin jika semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan ekspektasi ku sebelumnya.
"Untuk apa?" tanya bibi.
Ia sedikit menurunkan posisi kacamatanya, kemudian menyorotiku dengan lekat seolah sedang menunggu sebuah jawaban dari ku.
"Aku meninggalkan beberapa coat musim dingin di rumah. Aku harus mengambilnya, agar aku bisa bertahan sepanjang musim ini," jelasku.
Wajahnya kini tak seserius yang sebelumnya, ia terlihat lebih santai sekarang.
"Tidak perlu, kau bisa bertahan. Aku sangat yakin soal itu."
"Tapi bi..."
Yang benar saja, mana mungkin aku bisa melewati musim dingin tahun ini tanpa kehangatan. Apa ia sengaja ingin membuatku mati kedinginan. Ini adalah sebuah motif baru dari pembunuhan yang sangat terencana.
Tiba-tiba Bibi Gaeun menggenggam erat kedua tanganku.
"Kau adalah seorang anak istimewa yang terlahir kedunia. Jiwamu hangat, itu sebabnya kami semua membutuhkan mu untuk mengalahkan Ify," ujar bibi.
Entah kenapa kata-katanya barusan membuatku begitu tersentuh. Ia berusaha meyakinkan ku, meski aku sendiri tak percaya tentang semua hal bodoh itu. Hal-hal semacam itu hanya ada di cerita dongeng dan fiksi, mustahil terjadi di dunia nyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
senja
sebenernya sebelumnya ku kira Ify itu sejenis peri,. wkwk
btw Jongdae sepantaran? jd sm Oliver juga? ku kira Ketua seluruh angkatan
2022-01-30
1