"Aishh.... Jadi ternyata ini milik gadis itu?" ujar Chanwo sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Kurasa ia sengaja meninggalkannya di sini kak," sambung Rae Young.
Chanwo tampak berpikir sejenak. Pria itu berusaha memutar otaknya, agar bisa mendapatkan bagaimana caranya untuk mengembalikan benda ini kepada pemiliknya. Dunia di luar sana sudah tentu akan mengancam keselamatannya.
"Aku harus mengembalikan benda ini kepada gadis itu," ucap Chanwo dengan begitu yakin.
"Apa kau gila?!" balas Hwang Ji Na yang tak habis pikir dengan kakaknya itu.
"Matahari di luar sana terlalu terik, kau tak bisa terus-terusan bersembunyi dari mereka saat di luar sana," lanjutnya.
"Kali ini aku sependapat dengan Hwang Ji Na, sebaiknya kau tetap di sini," timpal Rae Young sembari mengangguk.
Chanwo menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghelanya. Ia tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kedua adiknya ini. Mereka berdua tak pernah sedikitpun mendukung dirinya, bahkan sering kali meremehkannya. Namun sekarang kedua anak itu berhasil di buatnya bungkam, karena sekarang ialah pemimpinnya.
"Apa kalian ingin terus tunduk di bawah kelemahan kalian? Apa kalian mau diperbudak oleh diri kalian sendiri seumur hidup?" ucap Chanwo dengan suara lantang.
Kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya itu, lantas menggema di seluruh ruangan. Layaknya udara yang mengisi setiap sudut ruangan ini, tanpa memberikan celah sedikitpun. Menyerang indera pendengaran setiap mahluk di sana dengan begitu kasar. Menusuk tajam kedua gendang telinga mereka.
Rae Young hanya bisa tertunduk malu mendengarkan ucapan kakaknya barusan. Kini ia kalah telak dibuatnya. Kali ini Rae Young setuju dengan kakaknya. Kelemahan yang mereka miliki, seolah menjadi penghalang bagi kaum ini. Membuat mereka terpaksa terkurung di dalam hutan gelap ini selama bertahun-tahun. Jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan semacamnya.
Tak bisa dipungukiri, jika Rae Young juga menginginkan kebebasan. Ia pernah bermimpi agar suatu saat bisa menjadi manusia normal. Bahkan pria ini tak tau kenapa ia harus terlahir dari rahim seorang vampir, bersama kutukan abadi yang mustahil untuk di patahkan. Bukan ini yang ia mau, Rae Young hanya ingin kebebasan. Ia tak ingin terbelenggu oleh kelam dunia malam sepanjang hidupnya. Pria ini ingin melihat jutaan warna yang menghiasi semesta.
"Maafkan aku...." ucap Chanwo yang mendadak merasa bersalah.
"Tak apa, kau benar kali ini," balas Rae Young yang masih tenggelam dalam dunianya.
Hwang Ji Na tak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba menguatkan perasaan Rae Young yang sedang hancur. Gadis ini tahu jika kedua vampir di hadapannya ini, tak akan pernah bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Kenyataan jika mereka memang ditakdirkan untuk hidup sebagai seorang vampir.
Berbeda dengan Rae Young dan Chanwo, Hwang Ji Na merasa sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan kedua keturunan vampir ini. Gadis ini masih bisa merasakan beberapa hal yang belum tentu dapat di rasakan oleh seorang vampir, meskipun mereka sangat ingin. Itulah yang membuatnya merasa lebih bersyukur atas hidup ini.
Hidup berdampingan dengan para kaum kegelapan, tak menjadikannya alasan untuk terkucil. Meskipun terkadang ia sempat putus asa karena telah ditinggalkan begitu saja oleh kawanan serigala lainnya saat itu, tapi di sinilah ia menemukan arti keluarga yang sebenarnya. Hal itu juga yang membuatnya tak ingin meninggalkan tempat ini, meski sebenarnya ia bisa melakukan itu. Semua orang di sini telah menjaganya dengan baik, dan sudah saatnya untuk gadis ini membalas budi kepada semuanya.
"Jangan khawatir, aku yakin jika suatu hari kutukan itu akan sirna dari kalian," ujar Hwang Ji Na sambil menepuk-nepuk bahu keduanya.
"Aku pernah beberapa kali mendengarnya. Jika seseorang mengutuk orang lain, maka kutukan itu akan kembali kepada dirinya sendiri," jelas Hwang Ji Na.
"Tapi buktinya selama berabad-abad kami menunggu, tak terjadi apapun terhadap kami," balas Chanwo dengan perasaan pasrah.
"Kau ingat kata-katamu barusan kan? Kalian harus menembus batas kalian," ucap Hwang Ji Na.
"Mungkin ini langkah awalnya," lanjutnya sambil tersenyum miring.
"Maksudnya?" tanya Rae Young tak paham dengan maksud dari perkataan gadis ini.
Hwang Ji Na tampak membenarkan ikatan rambutnya yang mengendur. Kemudian, ia menyondongkan tubuhnya ke arah Chanwo dan Rae Young. Sorot matanya begitu dalam, penuh makna, tapi sulit untuk ditangkap apa artinya. Kini raut wajahnya berubah menjadi serius.
"Kalian harus keluar dari tempat ini, dan segera menemui gadis itu untuk mengembalikan gelangnya," ujar Hwang Ji Na.
"Tapi bagaimana mungkin kami bisa melakukan itu," cegah Rae Young dengan sebuah ungkapan penolakan yang agak diperhalus.
"Nanti akan ku beri tahu. Intinya, mungkin saja gelang ini akan membawa perubahan besar bagi kaum kegelapan," jelasnya.
"Baiklah, aku harus kembali ke halaman belakang. Mereka harus berlatih di bawah pengawasan seseorang, jika tidak akan kacau jadinya," ujar Hwang Ji Na kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
Kini hanya sepasang kakak beradik itu yang tersisa di sini. Mereka saling menatap satu sama lain, namun di sisi lain juga sibuk berpikir. Sebenarnya sampai sekarang Chanwo dan Rae Young tak pernah benar-benar paham dengan semua ucapan gadis itu barusan. Semua saran yang ia berikan, semakin membuat kedua pria ini tambah pusing saja.
***
Di sisi lain, berkilo-kilo meter jaraknya dari hutan itu. Ada seorang gadis bernama Eun Ji Hae yang akhirnya sampai pada tujuan akhirnya. Kini mereka telah sampai di depan pintu gerbang Sekolah Sihir Orton. Salah satu sekolah sihir di Korea, dengan segala hal berbau benua biru tersebut. Sekolah ini adalah sekolah sihir kedua selain Mooneta, yang mengusung tema Eropa. Murid yang mereka rekrut setiap tahunnya, juga berasal dari berbagai penjuru dunia. Namun orang-orang asia memang selalu mendominasi tempat ini.
Eun Ji Hae meneguk salivanya sendiri dengan susah payah. Ia tak yakin bisa dengan mudah untuk masuk ke dalam sana. Sekilas tempat ini memang terlihat sepi dan tak berpenghuni, namun sebenarnya ada kehidupan ajaib dari dimensi lain di dalamnya. Sekolah sihir memang selalu begitu pada umumnya.
Setelah berulang kali berusaha memberanikan diri, akhirnya Eun Ji Hae memantapkan langkahnya untuk masuk ke tempat itu. Dengan berhati-hati, ia membuka pintu gerbang yang tak pernah di kunci itu.
'kriettt!!!'
Suara derit dari engsel pintu ini terdengar begitu mengilukan. Mungkin karena karat yang sudah menempel di sini selama bertahun-tahun dan tak pernah dibersihkan atau dilumuri dengan pelumas sama sekali. Tapi semoga saja tak ada yang mendengar suara nyaring ini.
Sekarang Eun Ji Hae telah berada di dalamnya, dengan perasaan was-was. Sesekali ia mengamati keadaan sekitarnya yang memang sedang sepi saat itu. Gadis ini layaknya seperti seorang penyusup, yang memaksa masuk ke tempat ini.
Dari segi arsitektur dan tata letak bangunannya, tempat ini tak jauh berbeda dengan Sekolah Mooneta. Mungkin nyaris semua sekolah sihir di negeri ginseng ini memiliki arsitektur dan model bangunan yang sama.
Eun Ji Hae membiarkan kedua hewan ini untuk turut masuk bersamanya. Tapi meskipun sedang sepi, mereka harus tetap berhati-hati. Dengan langkah pelan dan sangat berhati-hati, mereka bertiga mulai berjalan menuju ke dalam ruangan yang terletak di depan mereka saat ini. Sebisa mungkin, ketiganya mencoba untuk meredam langkah kaki mereka agar tak menciptakan keributan sedikitpun.
"Berhenti!" sahut seseorang dari belakang.
Eun Ji Hae sontak menghentikan langkahnya. Kini ia berdiri mematung di tempat itu, tanpa berani membalikkan badannya. Ia pikir pasti dirinya telah tertangkap basa oleh salah satu dari mereka dan tak bisa lari kemana-mana lagi. Eun Ji Hae telah terjebak, kini penyerahan diri secara sukarela adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Tak ada jalan lain selain hanya bisa pasrah dengan keadaan. Mungkin setelah ini hidupnya akan selesai, dan kebebasan yang selama ini ia impikan lenyap sudah.
Tiba-tiba sebuah tangan dingin dari belakang, menariknya masuk ke dalam semak-semak. Eun Ji Hae tak tahu pasti siapa sosok di hadapannya sekarang. Ia terlalu takut untuk membuka kedua kelopak matanya. Yang jelas, sat ini orang itu dengan menyekap Eun Ji Hae dalam dekapannya. Orang ini tak akan membiarkan gadis ini kepada begitu saja dari tangannya.
"Aku tak bermaksud jahat pada kalian, aku di sini dengan niat baik. Percayalah aku tak akan menyakiti kalian sedikitpun," ujar Eun Ji Hae dengan suara yang bergetar karena ketakutan.
Gadis itu meringkuk, memeluk kakinya sendiri. Sekujur tubuhnya merinding, karena ia tahu jelas jika orang ini jauh lebih besar di bandingkan dirinya. Kaki gadis ini juga bergetar dengan begitu hebat, rasanya sudah tak mungkin lagi jika ia harus berlari.
"Sudah diamlah..." bisik orang tersebut di telinga Eun Ji Hae.
Mendadak Eun Ji Hae yang tadinya terus-menerus merengek minta di lepaskan, langsung bungkam seketika. Ia merasa seperti pernah mengenal suara ini. Suara bertimbre berat dengan elegan, membelai gendang telinganya saat itu. Gadis ini mencoba mengingat dengan jelas, dimana terakhir kali ia mendengarkan suara semacam ini. Eun Ji Hae yakin jika sosok ini tak asing lagi baginya.
Dengan perlahan dan sangat hati-hati, Eun Ji Hae berusaha membuka kelopak matanya. Dan saat itu juga gadis ini menemukan dirinya tengah berada di balik semak belukar, dengan pemandangan sekitar yang sedikit lebih gelap. Ia mencoba memperjelas pandangannya dan meraba sekelilingnya. Namun Eun Ji Hae tak menemukan seorangpun di sana, ia hanya sedang meringkuk ketakutan di balik semak.
Sontak hal itu membuat Eun Ji Hae berubah menjadi pucat pasi. Padahal tadi dengan jelas gadis ini mendengarkan suara itu di telinganya. Tak mungkin jika ia sedang bermimpi di siang bolong seperti ini. Eun Ji Hae tertegun lemas diantara rerumputan semak yang menjulang tinggi. Tubuhnya berkeringat banyak, kedua telapak tangannya juga dingin. Ia sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Yang jelas itu adalah hal misterius paling menyeramkan yang pernah ia alami seumur hidupnya.
Dengan segenap tenaga, Eun Ji Hae merangkak keluar dari tempat tersebut. Semuanya masih sama seperti terakhir kali ia melihat tempat ini, sebelum tangan misterius itu datang. Suasana seluruh sekolah masih sangat sepi, entah kemana seluruh muridnya. Sementara Pegasus dan Griffin tampak berdiri dengan waspada di tempat yang sama.
Eun Ji Hae mengumpulkan tenaga untuk berjalan ke arah mahkluk-mahkluk mitologi itu. Keduanya memang lah mahluk mitologi kuno yang abadi dalam sebuah cerita. Namun pada kenyataannya, mereka benar-benar ada.
Eun Ji Hae menjatuhkan dirinya, tepat di atas Griffin, sesaat setelah mencapai hewan tersebut. Kakinya sudah tak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya lebih lama lagi. Rasanya ia benar-benar telah kehilangan seluruh tenaganya karena mati ketakutan.
"Hey, ayo kita coba masuk ke dalam sana dan temukan seseorang yang bisa membantu kita," perintah Eun Ji Hae dengan nada bicara yang masih tak beraturan.
Kedua mahluk itu memang tak memberikan respon apapun dari ucapan Eun Ji Hae barusan. Bahkan untuk hanya sekedar mengangguk atau mengepakkan sayapnya saja, mereka tak melakukan hal itu. Namun di sisi lain, kedua mahluk ini adalah hewan yang pintar. Mereka mampu menerima perintah manusia atau bahkan mengerti bahasa manusia. Oleh sebab itulah, tanpa pikir panjang mereka langsung melaksanakan perintah Eun Ji Hae.
Griffin berjalan menuju sebuah bangunan yang berada tepat di depan mereka, dengan membawa Eun Ji Hae yang terkulai lemas di atas punggungnya. Semen itu, Pegasus sendiri mengambil posisi tepat di belakang mereka. Ketiganya membentuk formasi untuk saling melindungi satu sama lain.
Lagi-lagi ada seseorang yang mencoba untuk menghentikan mereka saat hendak mencapai gerendel pintu tersebut. Kali ini Eun Ji Hae yakin jika itu adalah orang sungguhan. Setidaknya ia bisa merasa sedikit lega, karena tahu jika itu bukanlah orang yang sama.
"Apa yang kalian lakukan di sana?" sahut seseorang tersebut dari arah yang tak bisa di tebak.
Eun Ji Hae memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat untuk mencari dari mana arah sumber suara tersebut berasal. Lagi-lagi seseorang membuatnya terkejut bukan main, karena sosok yang sedang dicarinya itu sudah berada tepat di sebelahnya. Nyaris saja jantungnya copot, sepertinya tempat ini memang penuh dengan kejutan yang tak terduga. Eun Ji Hae yakin, jika ia tak bisa berlama-lama berada di tempat ini. Bisa-bisa ia malah mati karena jantungnya yang sanggup lagi untuk menerima kejutan secara terus-menerus seperti ini.
"Apa yang kalian cari di sini? Apa kalian sedang menguntit?" tanya orang tersebut.
"Tidak! Bukan seperti itu!" bantah Eun Ji Hae dengan cepat.
Ia tak ingin wanita tua itu malah salah paham dengan maksud kedatangannya ke sini. Bisa habis dirinya di hakimi oleh mereka, jika sampai hal itu terjadi.
"Apakah anda salah satu staff di sekolah ini?" tanya Eun Ji Hae dengan hati-hati.
"Aku adalah kepala sekolah di sini!" tegas wanita itu.
Eun Ji Hae mengangguk paham dengan maksud wanita tua ini. Dahulu sebelum ia di kutuk, seingatnya kepala sekolah di tempat ini adalah Nyonya Lee Seung Rim. Tapi ia tak yakin jika benar wanita di hadapannya inilah yang bernama Lee Seung Rim.
"Nyonya Lee Seung Rim?" tanya Eun Ji Hae sekali lagi dengan ragu-ragu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
Catherine Farrah
lanjut
2020-09-06
1