Bibi mengajakku keruangan bawah tanah, bersama Oliver tentunya. Sebenarnya tadi aku ingin meminta izin keluar, tapi kenapa malah dibawa ke tempat ini.
"Huft!"
Kami harus berjalan sedikit merunduk ketika melewati pintu masuk menuju ruangan bawah tanah yang berukuran sekitar seratus lima puluh centimeter. Kemudian bibi menyalakan lilin-lilin yang berjejer di sepanjang ruangan dengan kekuatan sihirnya. Aku berdecak kagum melihat kemampuannya yang luar biasa, sebelumnya ia tak pernah melakukan ini dihadapan ku.
Sebenarnya ruangannya tak terlalu pendek, cukup untuk kami berdiri tegak. Hanya saja kelihatannya bagian pintu masuknya dibuat lebih pendek untuk mengecoh orang asing. Mereka yang melihatnya sekilas dari luar, pasti mengira jika ini adalah gudang atau ruangan untuk menyimpan stok makanan.
Aku menepikan jubahku, kemudian mengambil tempat di meja panjang tersebut. Bibi duduk di seberang, tepat berada di depanku. Sementara Oliver menengahi posisi kami berdua.
Bibi mengeluarkan sebuah buku tua yang lumayan tebal, sekitar empat ratus sampai lima ratus halaman sepertinya. Kemudian menyeka beberapa debu yang menempel disana dengan lancangnya, membuat benda mikro tersebut beterbangan secara sembarangan di udara.
"Ambilkan tongkatnya!" perintah bibi pada Oliver.
Oliver mengangguk dengan penuh rasa hormat, kemudian berjalan menuju sebuah lemari disudut ruangan.
"Apa itu tempat penyimpanan barang-barang tua?" batinku dalam hati.
Aku dapat melihat isinya meski hanya sekilas. Banyak tumpukan buku-buku tua, sama seperti yang dipegang bibi sekarang ini. Ada juga beberapa kain jubah yang sudah terlihat lapuk karena dimakan usia. Modelnya terlihat berbeda dengan yang kami pakai sekarang, kelihatannya itu sudah lama sekali. Mungkin peninggalan alumni sekolah ini yang telah lulus jauh sebelum kami. Kira-kira jadi apa mereka sekarang setelah tamat dari sekolah aneh yang didirikan oleh ibu.
Oliver mengambil sebuah tongkat kayu mengkilat dari dalam box kaca, kemudian menyerahkannya kepada bibi. Ini pasti bukan sembarang tongkat, benda ini sangat istimewa. Buktinya hanya tongkat ini yang diperlakukan berbeda dari benda-benda lainnya yang tergeletak disana.
Lagi-lagi wanita paruh baya ini memamerkan kemampuan sihirnya. Ia membuat tongkat itu melayang-layang diudara, kemudian bergerak pelan menuju ke arahku. Aku menatap lekat tongkat yang kini tergantung dengan kekuatan magis tepat di atas kepalaku.
"Tangkap!" ucap bibi secara tiba-tiba.
Untung saja waktu itu aku langsung melakukan gerakan refleks untuk menampungnya. Jika tidak, pasti benda berharga ini telah patah.
"Fiuh!" ucapku lega.
Aku bernafas lega sekarang.
"Itu tongkat milik ibu mu," ujar bibi.
"Ibu?" batinku dalam hati, sambil menyoroti benda yang tengah terbaring di atas telapak tanganku.
Jadi ini benda milik wanita itu. Wanita yang telah memberikanku kehidupan, kemudian meninggalkan ku. Aku hampir mati karenanya. Mati karena sunyi yang mencekam, dan rasa kecewa yang telah membelenggu diriku selama bertahun-tahun.
"Sekarang pakailah tongkat ini. Bawa ia selalu bersamamu, karena kau tak tahu kapan bahaya akan mengancam. Terlebih sekarang ini kita harus selalu waspada dengan keadaan disekitar kita," jelas bibi.
Aku tak tahu harus bagaimana. Rasanya kata-kata tersebut, barusaja sukses menghujam jantungku. Mereka semua seolah memberikanku tanggungjawab yang begitu besar. Aku merasa jika saat ini seluruh sekolah sedang berlindung tepat di belakangku. Aku akan merasa sangat bersalah jika sampai mereka terancam bahaya. Namun, disisi lain aku juga merasa benci kepada diriku sendiri. Aku benci dengan kehidupan ku, aku benci duniaku yang dulu.
"Bagaimana caranya? Aku bahkan tak tahu apa-apa!" balasku dengan suara parau.
"Tenang saja aku akan membantumu," jawab bibi dengan nada begitu tenang.
Bibi menggeser sebuah lilin dari sudut, menjadi ke tengah-tengah meja. Tentu saja lagi-lagi menggunakan keahlian sihirnya. Kemudian ia memadamkan api kecil tersebut, membuat ruangan menjadi sedikit lebih redup daripada sebelumnya.
"Sekarang coba pusatkan perhatian mu ke lilin ini," perintah bibi.
Tanpa pikir panjang, aku langsung melaksanakan apa yang diperintahkan oleh bibi. Aku berusaha konsentrasi hanya pada satu titik. Walaupun sebenarnya aku tak tahu untuk apa aku harus melakukan hal ini.
"Tapi ya sudahlah, turuti saja dulu," gumam ku dalam hati.
"Sugesti kan pada dirimu jika api ini akan kembali menyala dengan sendirinya. Yakinkan jika kamu pasti bisa melakukannya."
Bibi kembali memberikanku instruksi. Hal ini memang terlihat begitu bodoh. Tapi sihir memanglah sesuatu yang selalu berada diluar logika kebanyakan orang. Hanya akan dianggap masuk akal bagi mereka yang mempercayai nya.
Aku berusaha sebisa mungkin untuk melakukannya. Mengikuti semua perintah yang aneh darinya, berharap benar-benar akan terjadi sesuatu. Setidaknya jika kali ini aku bisa melakukan keajaiban, mungkin itu bisa merubah pola pikirku tentang sihir.
"Api itu akan menyala! Harus menyala!"
Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, meski aku masih belum sepenuhnya mempercayai hal ini.
Tiba-tiba seberkas cahaya yang sempat hilang itu kembali melengkapi kesunyian ruangan ini. Mataku membulat sempurna melihat kejadian yang terjadi di depanku barusan. Tanganku bergetar hebat tak percaya.
"Ini sungguhan?"
Aku berusaha memastikan jika ini bukanlah tipuan mata, memastikan jika ini bukan efek dari sugesti yang ku ciptakan sendiri.
Ini sungguhan, aku benar-benar telah melakukan sihir. Meskipun hanyalah sihir kecil yang mungkin tak berarti banyak, namun ini adalah pengalaman yang sangat mengesankan bagiku. Mengingat tak semua bisa sukses melakukan sihir di dalam percobaan pertama tanpa kegagalan, itu mustahil terjadi. Tapi tidak dengan ku. Apa ini ada hubungannya dengan ibu, atau garis keturunan keluarga kami.
"Kekuatanmu akan terus bertambah seiring waktu," ujar bibi.
"Awalan yang bagus!" timpal Oliver.
Aku mencoba bertanya dengan hati-hati. "Apa kekuatanku ada hubungannya dengan ayah dan ibu?"
"Tentu saja, sebenarnya kau telah dibekali kekuatan ini sejak lahir. Hanya saja tidak ada yang pernah memberi tahumu soal ini."
"Kenapa kalian tidak memberitahukan ku?"
"Resikonya besar Nhea," sambung Oliver yang kini ikut terlibat dalam pembicaraan kami.
"Maksudnya?"
"Ketika seseorang yang mewarisi sihir mempelajarinya sebelum ia genap berusia tujuh belas tahun, itu akan mengancam nyawanya sendiri," jelas Oliver.
"Karena jika kau mempelajari sihir saat usiamu belum cukup, itu artinya sama saja dengan membuka pintu gerbang. Ilmu sihir jahat akan memaksa masuk ke tubuh sasarannya. Dan ketika perlawanan otomatis dari tubuhmu bekerja, kemungkinan besar nyawamu tak bisa tertolong," sambung bibi menambahi penjelasan Oliver tadi.
"Aku juga pernah ceroboh. Dulu aku pernah melakukan sihir di usia delapan tahun. Nyatanya aku hampir mati karena kepolosan ku. Beruntung ibuku menitipkanku di sekolah ini. Ibu yakin jika mereka semua bisa menjagaku hingga aku benar-benar siap," jelas Oliver.
"Tunggu dulu, kau bilang hanya seseorang yang mewarisi ilmu sihir yang bisa melakukannya saat mereka masih kecil kan?" tanyaku.
"Iya benar, ibuku mewarisi kekuatan itu. Hingga akhirnya aku dan kakak lelaki ku menjadi pewarisnya sekarang."
"Kau memiliki kakak laki-laki?"
"Jongdae, dia kakak ku."
Jadi pria itu adalah kakak lelaki Oliver. Pantas saja mereka berdua dipilih sebagai ketua asrama. Sekolah telah mempercayakan mereka sebagai pemimpin, karena mereka memang layak menempati posisi itu.
Bisa ku tarik kesimpulannya, jika para pewaris ilmu sihir memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin. Kekuatan yang telah bersarang di diri mereka, akan melindungi banyak orang dikemudian hari. Atau mungkin juga bisa sebaliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
fatma
🥰
2022-10-25
0