Mentari perlahan mulai turun, tenggelam lalu menghilang. Suasana menjadi gelap, hitam legam, gulita. Malam telah datang menyapa, menghapus semua warna langit senja musim ini.
Jongdae duduk termenung di tepi jendela kamarnya. Ia melamun sambil menatap rembulan yang tengah memeluk ribuan bintang di atas sana. Hari ini malam bulan purnama.
Ketika bulan purnama telah membulat sempurna, sinarnya jauh lebih terang dari malam-malam sebelumnya. Banyak orang yang percaya jika cahaya purnama mampu membangkitkan seluruh roh jahat.
Sebenarnya Jongdae juga tahu banyak soal hal itu, karena ia adalah murid sekolah sihir yang sudah berkelumit dengan hal itu selama bertahun-tahun. Meskipun ia tahu persis jika banyak roh yang sedang berkeliaran bebas malam ini, tetap saja ia tak beranjak sama sekali dari tempatnya sekarang.
"Tumben sekali ada purnama." gumam Jongdae sambil terus menatap lekat objek luar angkasa tersebut.
Sangat jarang purnama akan muncul pada musim dingin seperti ini. Bisa di bilang hampir tidak pernah. Tapi kali ini ia hadir di tengah-tengah udara dingin. Apakah ini sebuah pertanda baik, atau malah sebaliknya.
Jongdae berusaha mengembalikan fokusnya. Ia berhenti melamun sejenak, kemudian mengamati situasi di sekelilingnya.
"Kelihatannya sudah sepi," ujar Jongdae.
Ia segera menutup jendela kamar miliknya, kemudian menyalakan lilin aromaterapi beraroma pohon gaharu yang di percaya bisa mengusir roh jahat. Jongdae mengambil jubahnya yang ia letakkan begitu saja di tempat tidur, kemudian segera memakainya.
Jongdae keluar dari kamarnya sambil terus memperhatikan sekelilingnya. Ia menutup pintu kamarnya dengan begitu hati-hati agar tak mengeluarkan suara berisik sedikitpun.
Jongdae segera menuju ke sebuah pintu yang terletak persis di depannya.
'Tok...tok...tok...'
Ia mengetuk pelan pintu jati tebal berukiran rumit itu. Entah bagaimana caranya si pemilik ruangan itu tahu jika ada orang yang datang, kalau ia mengetuk dengan suara sepelan itu.
"Oliver...." bisiknya di celah pintu.
Merasa ada seseorang yang memanggilnya, Oliver langsung beranjak dari kasurnya. Sama dengan Jongdae, ia juga membuka pintunya dengan begitu hati-hati.
"Ada apa?" tanya Oliver dengan suara sepelan mungkin.
"Ayo cepat, kita ada janji dengan nyonya kepala sekolah," bisik Jongdae.
Oliver mengangguk mengerti, kemudian segera mengambil jubah miliknya. Ia memilih untuk mengunci kamar tersebut agar lebih aman. Setelah semuanya beres, mereka langsung pergi menuju ke tempat yang di maksud.
Mereka terus mengawasi sekelilingnya. Memastikan jika tidak dapat seorangpun yang berusaha mengikuti mereka.
Jongdae dan Oliver barusaja sampai di sana, sementara Ga Eun sudah terlihat menunggu kedatangan mereka dari tadi.
"Maaf kami terlambat nyonya," ujar Oliver sambil membungkukkan badannya.
Jongdae pun turut membungkukkan badannya seperti yang dilakukan oleh Oliver. Tak lama setelah itu, Ga Eun berbalik arah.
"Tak masalah, aku juga baru sampai ke tempat ini," balas Ga Eun dengan nada santai.
Setidaknya itu bisa membuat kedua remaja ini merasa sedikit lega.
"Tapi aku tidak yakin untuk melakukan rencana yang satu ini," lanjut Ga Eun, menyelesaikan kalimatnya.
Oliver bertanya secara spontan, "Kenapa nyonya?"
Ga Eun menyuruh kedua muridnya ini untuk duduk di salah satu bangku taman sambil bercerita. Ia perlu menyampaikan hal ini kepada mereka. Bagaimanapun juga, mereka ikut terlibat dalam rencana ini. Dan ini adalah keputusan penuh resiko yang tidak bisa di ambil dengan sepihak. Semua orang harus setuju pada konsekuensinya.
"Patung Phoenix ini..." ujar Ga Eun sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
"Ia sebenarnya adalah Eun Ji Hae," sambung Ga Eun.
"Siapa itu Eun Ji Hae?" tanya Jongdae.
Ia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, meski ia sudah tinggal bertahun-tahun di sini.
"Ia adalah ketua asrama pertama sekolah ini. Eun Ji Hae di buang tepat di depan gerbang sekolah ini oleh orang tuanya sendiri," jelas Ga Eun.
"Kasihan sekali," ucap Oliver secara spontan.
Ga Eun kembali melanjutkan ceritanya yang sempat terjeda, "Semenjak itu, kami merawatnya di sini dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang layaknya anak kami sendiri. Waktu itu Eun Ji Hae di angkat menjadi putri Vallery. Kejadian itu jauh sebelum Nhea lahir."
"Itu artinya, Eun Ji Hae ini adalah anak angkatnya nyonya Vallery?" Jongdae berusaha memastikan.
Ga Eun mengangguk cepat mengiyakan perkataannya.
"Ia tumbuh dewasa bersama Ify. Mereka layaknya seperti sepupu yang begitu akrab satu sama lain. Hingga saat itu ketika umurnya beranjak sepuluh tahun, Vallery sedang dalam kondisi mengandung Nhea. Mereka memilih untuk mengasingkan diri sementara ke perkotaan. Ia tak ingin Nhea terkena pengaruh buruk ilmu sihir selama di sini."
"Sebentar, apa itu yang sering di sebut sebagai Kakak Ji?" tanya Oliver.
"Siapa dia?" Jongdae malah bertanya balik.
"Apa kau tidak pernah mendengar rumor, jika pernah ada siswi dari angkatan satu yang menghilang secara misterius?"
Jongdae berusaha mengingat-ingat lagi, tapi sepertinya ia memang tidak pernah mendengar rumor itu sebelumnya. Lantas ia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dasar kau! Padahal kau jauh lebih lama tinggal di sini dari pada aku!" ketus Oliver.
"Sudah-sudah, biar ku lanjutkan dulu cerita nya. Nanti kalian juga akan tahu siapa dia sebenarnya," Ga Eun mencoba melerai keduanya.
Keduanya mengangguk mengerti dan langsung kembali menjadi serius.
Ga Eun kembali melanjutkan ceritanya yang telah terpotong untuk kesekian kalinya.
"Semenjak ia di tinggalkan oleh kedua orang tua angkatnya, ia tumbuh menjadi anak yang nakal dan tidak bisa di atur. Bahkan aku sendiri sampai kewalahan menghadapi anak itu. Hingga suatu saat kesabarannku sudah habis, aku merubah wujudnya menjadi seekor Phoenix. Aku memberinya hukuman," jelasnya dengan panjang lebar.
"Merubahnya jadi seekor Phoenix?" ujar Oliver yang terkejut bukan main.
Ternyata wanita ini jika marah bisa sekejam itu. Oliver susah payah meneguk salivanya sendiri. Mulai sekarang ia akan lebih berhati-hati dan tidak akan berani macam-macam dengan wanita ini.
Benar yang di katakan Jongdae tadi siang. Bagaimana jika ia menyihir kakaknya menjadi seekor kucing hitam. Membayangkannya saja sudah membuatnya merinding.
"Sudah lama aku tak membangunkannya," ujar Ga Eun.
Wanita paruh baya itu beranjak dari tempat duduknya, menuju ke arah patung Phoenix tersebut. Dua bocah itu mengikutinya dengan langkah yang begitu hati-hati dari belakang.
"Kemarikan tangan kalian!" perintah Ga Eun pada kedua anak itu yang tengah bersembunyi di balik tubuhnya.
Mereka langsung mengiyakan perkataan Ga Eun, meski terlihat agak ragu untuk melakukannya.
Jongdae dan adiknya langsung menempelkan kedua tangannya di permukaan patung itu. Jantungnya berdegup kencang, ada sesuatu yang tak beres di dalam sana.
Permukaan batunya yang kasar memberikan sensasi kengerian yang memacu adrenalin. Di tambah beberapa embun yang terbentuk di sana akibat pengaruh cuaca. Jantungnya semakin tak terkendali, ia terus mengawasi sekitarnya. Waspada akan membuat mereka aman saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments