"Baiklah...." ucap Chanwo sambil mendesah pelan.
"Bantu saja dia, kau ingatkan kata ibumu dulu?" sambung Hwang Ji Na tak sabar.
Anehnya, pria ini langsung bungkam seketika sesaat setelah Hwang Ji Na berkata seperti itu. Eun Ji Hae menatap pria itu dengan sorot mata lekat.
"Beberapa kebaikan mungkin bisa melepaskan mu dari kutukan yang telah membelenggu dirimu sendiri," lanjut Hwang Ji Na.
"Baiklah, akan ku bantu," ucap Chanwo dengan berat hati.
"Tanpa darahku tentunya kan?" tanya Eun Ji Hae.
Pria itu mengangguk lemah, seolah perkataan Hwang Ji Na tadi telah berhasil menyihirnya. Chanwo terlihat begitu pasrah dengan keadaan. Padahal ia adalah penguasa di sini, ia bisa melakukan apapun yang ia mau. Tapi kenapa wanita itu mampu mencegahnya, ada apa sebenarnya.
"Rae Young!" teriak pria tersebut dari dalam ruangan.
Awalnya kedua gadis tak percaya jika suaranya berhasil menembus dinding-dinding batu kokoh tanpa celah ini. Mereka kira Chanwo sedang emosi karena tak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Saya yang mulia."
Tiba-tiba sebuah suara bertimbre berat muncul dari luar ruangan ini. Eun Ji Hae mulai ketakutan dan terus waspada dengan sekitarnya. Bisa saja pangeran licik ini sedang berusaha mengelabuinya.
"Masuk!" perintah Chanwo.
Sedetik kemudian, seseorang dengan jubah panjang yang nyaris terseret itu muncul dari balik pintu. Siluet elegan tersebut perlahan menjadi solid. Hingga tampaklah seorang pria yang tak kalah rupawan dengan pangeran yang satu ini. Tak peduli mahluk apapun itu, yang jelas ia sangat tampan.
Ternyata ini adalah pria yang bernama Rae Young itu. Ia adalah adik semata wayang pangeran ini. Selain itu, ia juga diangkat sebagai orang kepercayaan Chanwo di kerajaan.
"Perintahkan kepada seluruh anggota klan agar memberi jalan untuk Ji Na dan gadis ini. Pastikan tak ada seorangpun yang mencoba macam-macam dengan mereka, jika tidak pastikan orang itu langsung kau habisi!" perintah Chanwo dengan tegas, seperti para penguasa pada umumnya.
"Tapi, siapa dia kak?" tanya Rae Young pada pangeran yang sekaligus kakak kandungnya itu.
"Sudah lakukan saja perintahku!" jawab Chanwo.
"Baiklah!" balas pria itu, kemudian pergi dari ruangan tersebut.
"Sekarang, pergilah dari sini nona-nona. Kalian mengganggu waktu istirahat ku," ujar Chanwo.
"Apa kau mengusir kami?!" balas Eun Ji Hae yang mulai tersulut emosi lagi.
"Sudah, turuti saja. Setidaknya ia telah menuruti permintaan mu kan?" ujar Hwang Ji Na berusaha menenangkan gadis tersebut.
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Chanwo.
"Nanti malam," balas Hwang Ji Na singkat.
"Biarkan aku ikut bersama kalian, agar lebih aman," ucapnya.
"Jika kau berani macam-macam denganku, akan ku habisi kau lebih dulu!" ancam Eun Ji Hae.
"Kau terlalu manis untuk dilukai sayang," balas Chanwo sambil tersenyum miring.
Untuk mencegah lebih banyak dialog yang memancing emosi gadis ini, Hwang Ji Na segera membawa Eun Ji Hae keluar ruangan. Tak ada yang perlu dilakukan lagi di sana, lagipula mereka telah mendapatkan apa yang mereka mau.
"Apa maksudmu tentang kebaikan tadi?" tanya Eun Ji Hae saat perjalanan pulang.
"Itu rahasia keluarga mereka, maaf aku tak bisa memberitahukannya kepada mu," jelas seorang gadis yang sedang berjalan di sampingnya.
"Tapi apapun itu, aku yakin jika hal itu sangat rahasia. Buktinya ia langsung menuruti permintaan mu," balas Eun Ji Hae.
Sementara sosok yang diajak bicara hanya tersenyum kecil sembari memperhatikan jalanan di depannya. Sebaiknya Eun Ji Hae memang tak perlu tahu soal rahasia turun-temurun keluarga kerajaan itu. Cukup Hwang Ji Na lah, satu-satunya orang asing yang mengetahui semuanya tentang itu.
Sebenarnya kaum kegelapan dan seluruh anggota klan nya adalah kaum yang terkutuk. Terbelenggu dalam sebuah kutukan selama berabad-abad, dari generasi ke generasi. Tak pernah memudar sedikitpun, apalagi hilang.
Para nenek moyang dari keluarga Chanwo adalah bagian dari klan nebula dulunya. Hingga pada suatu saat, terjadi kesalahpahaman diantara seluruh klan. Pada akhirnya kaum kegelapan dan seluruh anggota klan nya tidak dianggap sebagai bagian klan nebula lagi. Mereka menghilang dari peradaban klan nebula selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Sekumpulan penguasa malam itu, mengasingkan diri ke tempat ini.
Semenjak kejadian itu, beberapa kekuatan mereka telah ditarik kembali oleh penguasa tertinggi klan nebula. Sehingga hal itulah yang membuat mereka bersembunyi di hutan ini. Tempat ini cukup melindungi mereka dari segala ancaman dunia luar yang dapat membahayakan keselamatan mereka. Semesta selalu mengintai kelemahan kaum kegelapan dari berbagai arah, mencari celah agar bisa melumpuhkan penghuni abadi hutan ini.
Chanwo sendiri sudah mendengar kisah ini sejak berumur tujuh tahun, dari mulut ibunya sendiri. Itu sebabnya pangeran menyebalkan ini bertekad untuk mengubah nasib kaumnya sendiri. Ia berhak atas itu, mengingat jika dirinya adalah penguasa seluruh klan, seluruh kendali hutan ini adalah pada dirinya. Mungkin dengan tindakan kecil yang ia lakukan, akan membawa perubahan besar bagi seluruh kaum.
Pria ini yakin, jika suatu saat ia bisa kembali melihat matahari. Chanwo sangat ingin mematahkan kutukan nenek moyangnya ini. Ia ingin melihat salah satu benda angkasa yang bersinar paling terang tersebut, meskipun itu adalah salah satu kelemahan bagi mereka.
***
Malam telah menyapa seluruh negeri ini, namun di tempat ini kalian tak bisa membedakan sama sekali mana siang dan malam. Hutan ini selalu gelap gulita selama dua puluh empat jam. Jika kalian ke tempat ini, maka kalian tak akan menemukan seberkas cahaya pun kecuali dari gua milik Hwang Ji Na.
Eun Ji Hae telah memerintahkan agar Pegasus dan Griffin melakukan perjalanan lebih dulu, dan menunggu Eun Ji Hae di ujung hutan malam nanti. Kedua mahluk itu telah melakukan perjalanan sejak tadi sore, mereka keluar lewat celah lubang yang ada di gua. Sekali lagi meskipun Chanwo telah menjamin keselamatan mereka semua, namun gadis ini tak bisa percaya sepenuhnya dengan pria licik itu. Berada di bawah balutan cahaya matahari akan membuat kedua mahluk itu aman.
"Sudah siap?" tanya Hwang Ji Na sambil membenarkan tempat anak panahnya.
Sementara sosok yang ditanya hanya mengangguk dengan antusias. Ia sudah tak sabar untuk segera keluar dari tempat ini. Lagipula Eun Ji Hae tak bisa berlama-lama di sini. Ada sebuah misi dari bibi Ga Eun yang harus ia selesaikan tepat waktu. Ini menyangkut nyawa seseorang yang telah menyelamatkan seluruh sekolah. Demi kebebasannya yang ia impikan selama ini, Eun Ji Hae bertekad untuk menyelesaikan misi itu. Gadis itu sangat optimis dan yakin jika tugas yang dipercayakan oleh bibinya itu akan berhasil ia selesaikan. Eun Ji Hae bisa memastikan jika tak ada seorangpun nantinya yang kecewa.
Dengan langkah pasti, kedua gadis itu bersiap untuk melakukan perjalanan. Tak lupa Hwang Ji Na juga turut serta membawa panah perak bersamanya.
"Kalian sudah siap?" ucap seseorang yang bersembunyi di kegelapan.
Siapa lagi jika bukan Chanwo. Ternyata pria itu sudah menunggu kedua gadis ini di depan gua sedari tadi. Ia juga sempat mendengar beberapa obrolan ringan mereka secara tak sengaja.
"Sudah sejak kapan kau berada di sini?" tanya Hwang Ji Na.
"Kurang lebih sekitar dua jam yang lalu," jawabnya.
"Itu artinya kau mengawasi kami secara diam-diam?!" timpal Eun Ji Hae.
"Menurut mu bagaimana?" tanya balik Chanwo.
"Sudahlah, ayo kita pergi sekarang! Sebelum terlalu larut malam, kasian mereka telah menunggumu di sana," jelas Hwang Ji Na berusaha melerai keduanya.
"Ayo!" balas Chanwo bersemangat.
Sudah lama ia tak melakukan perjalanan kecil semacam ini. Semenjak ayah dan ibunya telah meninggal, ia selalu di sibukkan dengan urusan kerajaan. Hak itu membuatnya tak memiliki banyak waktu lagi untuk berkeliaran di hutan seperti dahulu. Pria ini juga semakin jarang bermain dan berburu dengan adik angkatnya.
Tanpa pikir panjang lagi, mereka segera beranjak dari sana untuk menuju penghujung hutan ini. Hanya ada kesunyian di sepanjang perjalanan, sesekali diwarnai oleh cekcok kecil antara Eun Ji Hae dan pangeran ini.
"Untuk apa kau ke sana?" tanya Chanwo penasaran.
"Aku harus menemui ayah dan ibuku di sana, aku perlu bantuan mereka dengan segera," jelas Eun Ji Hae yang sedang fokus memperhatikan jalanan di depannya.
"Kenapa tidak mengirimkan surat saja?" tanya Chanwo lagi.
"Aku sedang dalam perjalanan mengirim surat,"
"Maksudku kenapa tidak menggunakan burung atau semacamnya sebagai perantara."
"Ini adalah salah satu syarat untuk kebebasan ku. Aku terjebak dalam kutukan patung Phoenix, dan salah satu syaratnya agar aku terbebas untuk selamanya adalah dengan melakukan hal ini."
"Oh iya, aku dengar dari Ji Na kau adalah seorang murid di sekolah sihir Mooneta. Bisakah kau mematahkan kutukan ku dengan permainan sihirmu?"
"Hey, aku bahkan tak tahu apa masalah mu. Aku juga sedang berusaha untuk terlepas dari kutukan ku sendiri."
Setelah lelah berdebat untuk yang kesekian kalinya, kedua orang ini juga kembali saling bungkam untuk yang kesekian kalinya.
"Aku sangat ingin melihat matahari. Hwang Ji Na selalu berkata jika sinar matahari saat senja sangat bagus. Sebuah akhir dari penghujung hari yang indah," ucap Chanwo sambil membayangkan bagaimana pemandangan senja itu di pikirannya.
Tiba-tiba langkah Eun Ji Hae terhenti sesaat setelah mendengar kalimat tersebut terlontar dari mulut Chanwo. Dengan penasaran, ia akhirnya mulai memalingkan pandangannya ke arah pria tersebut.
"Apa kau tidak bisa melakukan hal itu?" tanya Eun Ji Hae yang terlihat mulai serius.
"Itu adalah kutukan untuk kaum kami. Selama berabad-abad kami terjebak dalam sumpah yang sama," jawab Chanwo apa adanya.
Sekarang akhirnya gadis ini tahu mengapa para kaum kegelapan dan seluruh klan nya sangat sensitif terhadap cahaya, termasuk cahaya matahari yang bisa membunuh mereka dalam sekejap. Di sisi lain Eun Ji Hae juga kasihan mendengarkan pengakuan pria ini. Selama bertahun-tahun, ia menghabiskan sisa hidupnya di dalam dunia yang kelam, tanpa warna sama sekali, suram.
"Kau ingin melihat senja?" tanya Eun Ji Hae.
"Tentu saja!" jawab Chanwo dengan antusias.
"Apa yang bisa membuat kutukan itu patah?" tanyanya lagi.
"Entahlah, aku tak tahu pasti. Beberapa ada yang mengatakan jika kau melakukan beberapa kebaikan maka kutukan ini akan hilang dengan sendirinya," jelasnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Kurasa kau harus mulai melakukan itu dari sekarang, jika ingin semua mimpi mu itu terwujud," balas Eun Ji Hae yang melipat tangannya di depan dada.
"Apa menurutmu begitu?" tanya Chanwo dengan ragu-ragu.
"Tentu saja!" jawab gadis itu sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Harus ada sesuatu yang dikorbankan demi mencapai sesuatu yang kau inginkan," lanjutnya.
Tiba-tiba saja Eun Ji Hae teringat sesuatu akan perkataannya barusan. Harus ada sesuatu yang dikorbankan demi sesuatu yang kita inginkan. Apa itu adalah sebuah defenisi yang sama dengan keadaan Nhea sekarang. Gadis itu mengorbankan keselamatannya sendiri demi seluruh sekolah. Dari dulu memang ini yang diinginkan sekolah itu. Aman dari serangan tahunan Ify yang seolah-olah menjelma menjadi musuh bebuyutannya. Tapi bukan seperti ini caranya, bukan dengan melepaskan satu nyawa sebagai bayarannya.
Miris rasanya jika melihat Ify yang perlahan menjelma menjadi seorang iblis, yang menyerang siapapun di hadapannya dengan membabi buta. Padahal dulunya hubungan mereka sangatlah dekat sebagai saudara. Gadis itu benar-benar berubah total, bahkan Eun Ji Hae sendiri tak habis pikir dengannya.
***
"Kita sudah sampai di pinggir hutan ini," ujar Hwang Ji Na.
"Hati-hati selama berada diperjalanan mu," sambung Chanwo.
"Terima kasih semuanya, karena sudah membantuku," ujar Eun Ji Hae terharu.
"Pergilah, mereka telah menunggumu," balas Hwang Ji Na sambil menunjuk ke arah Griffin yang telah berdiri di tepi hutan.
Eun Ji Hae hanya mengangguk lemah kemudian segera berlari menuju kedua mahluk yang akan menemaninya selama perjalanan nanti. Griffin dan Pegasus menyambut kehadiran gadis ini dengan caranya masing-masing. Eun Ji Hae dan rombongannya, bergegas untuk meninggalkan tempat itu sebelum fajar datang. Ia tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Hwang Ji Na dan Chanwo. Anggap saja itu sebagai ucapan terimakasih, sekaligus salam perpisahan darinya.
Setelah mereka pergi dari hadapannya, Chanwo akhirnya bisa bernafas lega. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya jauh lebih tenang, meskipun ia tak tahu hal apa itu.
"Ternyata begini rasanya jika melakukan hal baik. Setidaknya aku bisa merasa lebih berguna untuk orang lain," gumamnya dalam hati.
"Semoga mereka bisa selamat dalam perjalanan, dan pulang ke sekolah itu dengan baik-baik saja," ujar Hwang Ji Na sambil tersenyum kecil.
"Senang rasanya bisa membantu nona manis itu," balas Chanwo.
"Kutukanmu akan perlahan memudar," ucap Hwang Ji Na kemudian meraih salah satu tangan pria itu.
"Tunggu sebentar!" lanjut Hwang Ji Na sambil terus meraba pergelangan tangan pria itu.
"Jantungmu...... mereka kembali berdenyut!" seru Hwang Ji Na dengan begitu girang.
"Apa kau serius?" tanya Chanwo ragu-ragu.
"Sebentar biar ku dengarkan irama detak jantung itu, jantung sang penguasa kaum," jawab Hwang Ji Na kemudian menempelkan telinganya di dada Chanwo.
Gadis itu tak salah lagi, ia benar-benar dapat mendengarkan suara datar dengan ketukan yang tetap itu. Akhirnya setelah sekian lama, jantung pria ini kembali berdetak sebagai mana mestinya. Meskipun sebenarnya para kaum kegelapan tak membutuhkan hal itu. Mereka tetap bisa hidup abadi tanpa denyut jantung atau nafas sama sekali. Tapi ini adalah sebuah pertanda baik untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
imah umaraya
hem? kenapa hak ngikut 2 hewan itu aja ? dari pada jalan di bawah kan?.. aku jadi bingung... apa emang ada motif nya.. berasa memperlama waktu perjalanan.. kasian Nhea nungguin..
2022-01-13
0
Nelfi Erawati
sesuai cerita ini dengan kenyataan di kehidupan kita,siapa yg sering berbuat kebaikan,maka jantungnya pun akan sehat!
2020-10-12
0