Oliver mengantarkanku menuju asrama. Bibi bilang aku akan sekamar dengannya, ia akan mengajariku banyak hal nantinya.
Kami berhenti di depan sebuah bangunan yang terlihat lebih megah dari gedung asrama yang lainnya. Yang satu ini jauh lebih sempurna, banyak ornamen yang lebih rumit terukir indah di tembok beton penyangga bangunan ini.
"Kenapa asrama ini berbeda dari yang lainnya?" tanyaku ceplas-ceplos.
"Tentu saja berbeda. Ini asrama khusus pimpinan sekolah dan para petinggi sekolah," jelasnya.
Kami melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti sejenak. Melewati koridor utama, lalu menuju anak tangga dengan karpet merah yang tergelar sepanjang jalan.
"Apa kau tinggal disini juga?" tanyaku lagi.
"Tentu saja!"
Oliver kemudian mengangguk.
"Tapi kenapa aku dibawa kesini? Kau bilang ini asrama khusus."
Aku masih belum mengerti sama sekali dengan konsep aneh sekolah ini. Akal sehatku masih sulit mencerna semuanya, atau memang aku yang terlalu lambat.
"Haha... Kau ini orang penting. Jelas saja kau diletakkan di sini."
"Orang penting bagaimana maksudmu?"
"Apa kau masih belum paham?"
Aku menggeleng cepat.
"Kau ini keponakan nyonya kepala sekolah. Bukan hanya itu, ia juga menunjukmu untuk menggantikan posisiku karena kau istimewa. Kau adalah puteri tunggal dari pendiri sekolah ini, yang artinya kau mewarisi kekuatan penuh dari mereka," jelas Oliver dengan serius.
"Puteri tunggal dari pendiri sekolah? Apa itu artinya ayah dan ibu yang mendirikan sekolah ini? Apa mereka sekarang ada di sini? Apa aku bisa segera bertemu dengan mereka sekarang juga?" batinku dalam hati.
Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Disatu sisi aku merasa begitu bingung, sementara disisi lainnya terselip rasa bahagia.
"Biar ku tunjukkan foto mereka diruang tengah," lanjut Oliver.
Ia menuntunku ke sebuah ruangan di lantai dua. Terbilang cukup besar untuk ukuran ruang tengah. Tak ada perabot sedikitpun disana. Tampaknya tempat ini juga jarang dikunjungi.
Ia menyalakan lampu gantung yang akan berkilauan jika terkena cahaya sedikit saja. Setidaknya itu akan memperjelas pandangan kami sekarang.
Jari telunjuknya mengarah ke sebuah figura besar yang membingkai lukisan didalamnya. Tentu saja lagi-lagi dengan ukiran bergaya Eropa pada bagian tepi. Kelihatannya seluruh bagunan ini memang tak luput sedikitpun dari yang namanya ukiran.
Aku maju beberapa langkah mendekati lukisan tersebut. Mencoba memperjelas pandanganku yang terlihat samar-samar, karena memang diruangan ini sangat minim sekali pencahayaan.
Aku terpaku seketika, menatap lekat lukisan itu dengan penuh rasa kagum.
"Ayah.... Ibu...." batinku dalam hati.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Sebenarnya siapa orang tuaku. Kenapa mereka mendirikan sekolah aneh ini. Mereka juga telah lama menghilang sejak aku masih berumur lima tahun, apa semuanya karena sekolah ini. Aku bahkan tak mengerti dengan silsilah dan garis keturunan keluarga ku.
"Dimana mereka sekarang?" tanyaku tanpa memalingkan pandanganku dari lukisan tersebut.
"Mereka sedang pergi untuk melakukan perundingan bersama sekolah di bagian Utara," jelasnya.
Sekolah di bagian Utara? Apa itu artinya ini bukan satu-satunya sekolah aneh yang ada dimuka bumi ini?
"Sejak kapan mereka pergi?"
"Sejak seminggu yang lalu."
Aku menganggukkan kepalaku.
Itu artinya kedua orang tuaku lebih memilih sekolah ini, dan kurasa itu adalah alasan yang cukup logis bagi mereka untuk meninggalkanku di usia segitu.
Kami melanjutkan perjalanan menuju kamar asrama untuk istirahat. Lagi-lagi Oliver menghentikan langkahku. Ia memberitahukan ku sesuatu.
"Ini kamar Nyonya Vallery dan Tuan Wilson," ujarnya sambil menunjuk kearah sebuah bilik.
Tampaknya ruangan itu memang sedang tak berpenghuni. Pintu kayu jati tebal itu terlihat dikunci dari luar.
"Mau masuk ke dalam sana? Biar aku antarkan. Atau mungkin mau menginap disana malam ini?" ucap Oliver.
Aku menggelengkan kepalaku. Bahkan aku sudah tak mengerti lagi dengan perasaan ku saat ini. Rasanya sudah terlalu muak untuk membahas soal mereka.
Orang yang sudah tega meninggalkan anak semata wayangnya yang masih kecil tanpa pernah kembali, hingga sekarang aku genap berusia tujuh belas.
Sudah dua belas tahun aku hidup tanpa kasih sayang dari kedua orang tuaku. Aku pikir mereka telah benar-benar menghasilkan dari muka bumi. Luka batin yang tersisa masih terlalu dalam, belum sempat sembuh seutuhnya oleh waktu.
Lantas kenapa bibi malah membawaku kehadapan mereka sekarang ini. Seolah-olah diposisi ini aku adalah orang yang bersalah.
***
Aku menyusun pakaian dari dalam koper kesebuah lemari kayu besar diujung sana. Semua perabot disini terkesan kuno, namun masih layak pakai.
Bagunan ini sangat klasik, tapi aku tak henti-hentinya berdecak kagum melihat setiap sisi tempat ini. Aku merasa sedang terjebak di masa lalu saat menapakkan kaki di sini. Arsitektur bergaya Eropa yang membuat setiap orang didalamnya merasa tengah berada di era Victoria.
Hari mulai menggelap, mentari turun perlahan lalu menghilang. Ternyata tempat ini jauh lebih menyeramkan saat malam hari tiba. Pencahayaannya tak pernah cukup. Sepertinya selama berada disini, aku akan menjadi rabun.
Oliver menyuruhku untuk segera bersiap. Ia memberikanku seragam sekolah berwarna hitam dengan pita merah di bagian tepinya. Katanya nyonya kepala sekolah alias bibi, akan mengadakan perkumpulan diruang makan.
Setelah selesai bersiap, kami turun ke lantai dasar untuk mengambil jubah. Kata Oliver ini adalah benda wajib yang tidak boleh ketinggalan. Aku baru menyadari jika dilantai dasar ini ada ruangan khusus untuk meletakkan loker.
Semuanya serba hitam. Mulai dari seragam, jubah, hingga sepatu. Apakah tidak ada warna lain yang lebih ceria, warna hitam terlalu membosankan. Seperti tak ada kehidupan sama sekali.
Tadi baru saja gerimis kecil. Walaupun sekarang telah berhenti, tetap saja jalanan menjadi becek dan sulit dilalui. Kami harus menyeberang ke gedung di utama untuk acara makan malam.
Siswa lainnya juga tampak sedang menuju kesana. Sepertinya sekolah ini lebih ramai saat malam hari dari pada tadi siang. Apa mereka semua manusia kelelawar yang hanya keluar saat malam tiba.
Mataku terbelalak lebar melihat meja yang panjangnya tak bisa ku perkirakan. Mungkin sekitar 50 meteran. Satu meja makan raksasa ini cukup menampung seluruh isi sekolah. Wahhhh..... Luar biasa.
Ruangan ini juga berbeda dengan yang lainnya. Selain sangat besar dan megah, tempat ini juga lumayan terang. Mungkin karena ini adalah ruang makan, jadi harus benar-benar mendapatkan pencahayaan yang cukup. Kalian tentu tidak mau tersedak saat makan hanya karena tidak bisa melihat sisa tulang.
Kami duduk di kursi paling ujung. Hanya disana satu-satunya tempat yang tersisa. Berapa biaya yang dikeluarkan sekolah ini untuk semua fasilitas didalamnya. Pasti para siswa rela membayar uang bulanan yang cukup besar untuk ini semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 344 Episodes
Comments
senja
cukup logis katanya? ditinggal pas usia 5thn?
tp kok dibawah bilang muak? katanya tega
2022-01-30
0
fanfan
jadi kangen harry Potter...
2022-01-24
0
Runa Bawazier
jadi semakin penasaran
2021-07-10
0