Setelah beberapa hari, sesuai dengan rencana Rani menginap di rumah Dita. Ia begitu senang karena rumah Dita begitu indah dan artistik, begitu kata Rani.
"Keren banget rumah kamu, Dit. Nggak nyangka ada rumah sekeren ini di puncak gunung."
"Hm, gue rasa rumah ini pasti Lu yang desain, ya. Kan Lu suka model kejawen kayak gini!"
"Ngawur, semua ini peninggalan nenek gue, karena ibu gue anak satu-satunya maka rumah ini otomatis jadi milik beliau."
"Oh, gitu."
"Ngomong-ngomong nih, ya. Kan Ibu kamu anak tunggal, kok Lu juga jadi anak tunggal, ya? Kenapa nggak berencana bikin adik, gitu?"
Dita menghentikan langkahnya saat melihat Rani berbicara begitu. Lalu menatapnya dengan tajam.
"Trus, gue juga mau tanya ke Lu, kenapa kamu nggak punya kakak sama adik, bukannya Lu juga anak tunggal?"
Rani tertawa sumbang, ia seperti terjebak dengan ucapannya sendiri.
"Ya, nggak tau Dit, kan orang tua gue yang berencana."
Beberapa saat kemudian langkah Rani terhenti pada sebuah lukisan wanita berpakaian Jawa tempo dulu. Seorang wanita yang memakai pakaian kebaya dan sanggul. Meskipun begitu kharisma dari sosok yang ada di dalam lukisan tersebut sangatlah kentara dan bisa menyihir siapa pun yang melihatnya.
"Ini lukisan siapa, Dit?"
"Itu nenek gue, ibunya Mama, cantik bukan?"
"Cantik banget, Dit. Pantas saja kamu begitu cantik dan cantiknya beliau awet tidak luntur di makan usia."
"Hu um."
Dita yang sudah gerah, segera pergi menuju ke kamarnya. Sementara itu Rani masih sibuk melihat ke dekorasi ruangan itu. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat ke arah luar, sebuah halaman yang asri lengkap dengan kolam di tengah.
Rani yang suka dengan gaya kontemporer rumah Dita kini asyik berkeliling. Lalu mencari pintu keluar untuk mengunjungi sebuah taman yang sejak tadi mengusik hatinya.
Ternyata benar di halaman belakang ada sebuah kolam renang yang indah. Kanan dan kiri kolam terdapat pohon kamboja mirip hotel-hotel di Bali.
Aroma bunga kamboja yang sedang mekar membuat suasana di sana tampak nyaman dan menenangkan. Tanpa meminta ijin, Rani mendekati sebuah gazebo mini di sana dan duduk.
Di sekeliling gazebo ada air mancur kecil yang keluar dari patung mulut ikan. Jumlahnya ada empat, berada di tiap-tiap sudut kolam renang. Suara gemericik air terdengar menenangkan jiwa bagi siapa pun yang mendengarnya.
"Pantas saja, orang-orang suka liburan di puncak ya, udara sama view-nya ngena banget," gumam Rani.
Kini Dita sudah selesai berganti pakaian. Ia segera mencari Rani. Rupanya Rani pergi ke belakang. Tidak lupa Dita menyuruh pelayan untuk membuat minuman dan mengantar ke belakang.
"Bik, tolong buatkan dua orange jus sama keripik ke belakang ya."
"Baik, Den Ayu."
Sebutan Dita jika di rumah biasa dipanggil Den Ayu. Sementara Ibu Dita dipanggil Kanjeng Ibu.
Saat melewati lorong, tirai-tirai jendela wanita putih yang tadinya diam, kini melambai dan bergerak searah dengan langkah Dita. Seolah mengiringi dan menemaninya.
Sementara itu, lukisan penari Jawa di ujung lorong, seolah menatap dan mengikuti kemana Dita melangkah. Hal itu sukses membuat bulu kuduk Dita meremang.
"Kok, berasa ada yang ngeliatin, sih?" gumam Dita sambil melihat ke belakang.
Ia takut jika ada sesuatu yang muncul di sana saat itu. Padahal penunjuk waktu baru menujukkan pukul empat sore.
Hembusan angin yang semilir bukannya membuat Dita sejuk, tetapi malah membuat Dita mempercepat langkahnya. Suasana di lorong seolah menjadi tidak nyaman karena lukisan dan tirai yang ada di sana.
Setelah menemukan Rani, Dita mempercepat langkahnya. Agar Rani tidak curiga Dita mengajak Rani untuk mengobrol.
"Gimana, suka nggak dengan suasana rumah gue?"
"Suka banget, Dit. Rumah Lu sumpah kaya vila-vila di puncak, yang sering buat shooting."
Dita tertawa, "Ya syukurlah kalau kamu suka, yang penting kamu nyaman."
"Oh, tentu."
Sesaat kemudian datanglah pelayan yang membawakan minuman dan makanan ringan untuk kedua gadis remaja itu. Setelahnya pelayan itu berpamitan pada Dita untuk pulang. Akhirnya sore itu berlalu begitu saja tanpa terjadi hal-hal ganjil sesudahnya.
🍂Malam hari.
Rani terus mengomel karena di rumah Dita yang mewah seperti itu tidak ada televisi. Padahal Rani lebih suka menonton drakor tiap sore, tetapi karena tidak ada televisi akhirnya Rani merasa bosan. Dita hanya tersenyum menanggapi tingkah sahabatnya itu.
"Lebih baik ngobrol di kamar aja, pasti lebih seru!" ujar Dita.
Tidak ada kegiatan lain, akhirnya membuat Rani mengikuti keinginan Dita untuk masuk kamar. Namun, mulutnya tetap saja mengomel sepanjang perjalanan ke kamar. Sesaat kemudian terlintas jika Rani pengen buat camilan untuk menemani saat di kamar.
"Dit, bikin cemilan yuk buat nemenin cerita saat di kamar, nanti," pinta Rani dengan memelas.
"Iya, boleh. Yuk, berangkat."
Akhirnya sebelum ke kamar, mereka mampir dulu ke dapur. Suasana rumah Dita saat malam hari ternyata berubah sedikit menyeramkan. Apalagi para pekerja di rumah Dita sudah pulang sebelum waktu senja tiba. Tidak ada pekerja yang mau tinggal di rumah Dita jika malam hari.
"Setiap hari suasananya begini, Dit?" tanya Rani di sela-sela membakar sosis.
"Iya, memang peraturan dari nenek, melarang mereka untuk tidak tinggal di sini jika malam."
"Lah, kenapa?"
"Nggak tau, mungkin takut jika mereka akan menganggu privasi nenek, mungkin begitu."
"Owh."
Saat lagi asyik membakar sosis, tiba-tiba saja ada cicak jatuh tepat di bahu Rani sebelah kiri. Sontak saja Rani terjingkat.
"A-apaan, tadi, Ta?"
"Cuma cicak, kok."
Dengan entengnya, Dita mengambil cecak tersebut dan segara membuangnya ke luar jendela.
Namun, sesaat kemudian, telinga Dita terusik dengan suara-suara aneh yang entah berasal dari mana.
Suasana mistik lebih terasa, ditambah lagi dengan sorot mata yang berasal dari patung-patung yang tersebar di penjuru ruangan. Hal itu pula yang membuat Dita enggan tinggal sendirian di rumah ketika malam.
"Udah nggak apa-apa, yuk lanjut trus ke kamar."
"Siap, Ta."
Rani memang terus berbicara tanpa henti, setidaknya kehadiran sahabatnya itu bisa mengusir keganjilan yang sering ia alami dan menambah ramai suasana rumah di malam itu.
Saat lagi asyik-asyiknya memasak terdengar seseorang menyanyi lagu Jawa. Terdengar merdu tetapi membuat jantung ketar ketir karena takut.
"Ta, siapa yang nyanyi?"
"Nggak tau."
Rani dan Dita saling memandang karena heran, karena setau mereka di rumah itu hanya ada mereka berdua. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Rani yang tadi mengoceh, akhirnya terdiam karena ketakutan.
"Buruan ke kamar, yuk. Gue merinding," ucap Rani setengah berbisik pada Dita.
Dita menyanggupinya dengan sebuah anggukan. Lalu kedua remaja itu segera masuk kamar tanpa mau mencari tau sumber suara wanita tersebut.
.
.
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 220 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞
wahhhh d gangu LG nih si rani.... harus y kalau jd pelindung .. ngk ganggu gtu..
2022-07-31
2
mingming
nah skrg bisa nge like..kmrn dr bab p1 ga bisa nge like.ga muncul itu deretan kolom like dan koment di bawah chapter
2022-07-06
2
layRaffaditya
itu si Rani kejatuhan cicak di bahu kiri...pa mungkin ada keluarga atau orang tuanya yang mau meninggal
2022-07-06
1