Sepeninggal Wisnu, kehidupan Dita kembali normal. Tidak ada yang berubah dengan rutinitasnya sehari-hari. Setelah seminggu kematian Wisnu, kini Dita mulai kuliah lagi. Mencoba menata kembali kehidupannya seperti sebelumnya.
"Kamu benar-benar tidak ingin mengambil cuti kembali, cah ayu?"
Nyonya Sekar menempelkan kedua tangannya di bahu Dita yang sedang menyisir rambutnya. Dita tersenyum kaku menanggapi pertanyaan ibunya. Terlihat jelas kekhawatiran yang ditampilkan beliau, tetapi Dita tidak ingin egois.
"Tidak Bu, sebaiknya aku tidak mengambil cuti lagi, tidak enak pada Pak Dosen yang sudah berbaik hati kepadaku," ucap Dita dengan logat khas Jawa.
"Ya, sudah. Ibu hanya bisa mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu, Nduk."
Selepas menyisir rambutnya, Dita mengambil tasnya lalu berpamitan pada ibunya.
"Terima kasih, Bu. Dita pamit dulu. Assalamu'alaikum."
Dita menyalami tangan kanan ibunya lalu mencium setelahnya.
"Wa'alaikumsalam."
Dengan diantar sopir pribadi, ia berangkat ke kampus. Saat ini Dita mengambil jurusan interior desain di salah satu Universitas Negeri. Meskipun Dita terkenal introvert, tetapi ia masih mempunyai sahabat yang namanya Rani.
Sahabat yang ia miliki sejak masa SMA-nya dan satu-satunya orang yang tidak takut ketika berdekatan dengannya. Ia pula yang membawa Dita pergi ke pasar malam waktu itu, tetapi Rani tidak ingat jika peramal itu pernah memperingatkan Dita.
Satu hal yang ia tahu saat ini hanyalah ... ia harus berada di sisi Dita. Memberikan support, karena suaminya baru saja meninggal.
"Ran, katanya Dita hari ini masuk kampus lagi, ya?"
Rani yang asyik membaca buku menoleh ke arah Tita. "Iya, tuh orangnya muncul. Panjang umur banget, ya."
Pandangan teman-teman satu kelas Dita langsung mengarah ke depan. Dari kejauhan tampaklah seorang gadis dengan rambut lurus sepinggang sedang berjalan anggun ke arah mereka.
"Wanita pembawa sial, datang ...." ucap mereka tidak tahu malu.
"Iya, nih. Bagaimana tidak sial, belum ada sehari menikah, suaminya sudah meninggal," cibir yang lainnya.
"Hust, kalian ini ngomong apa sih. Bukannya memberikan support pada teman kalian, eh malah seenak jidat ngatain orang."
Rani yang mendengar Dita diperolok oleh teman-teman satu kelasnya, kini maju di garda depan untuk membelanya. Begitu pula dengan Aldo yang sudah sejak lama, naksir sama Dita.
"Iya nih, harusnya kalian itu jaga mulut, karena ucapan kalian itu bisa membuat mental Dita semakin down."
"Halah, bilang aja kamu naksir Dita, gitu aja pake mencela kita. Dasar satu server Lu sama Rani."
Rani yang hendak maju kembali segera ditahan oleh Aldo, karena Pak Dosen dalam perjalanan ke kelas mereka. Perhatian mereka seolah beralih kepada dosen laki-laki yang baru saja datang.
"Ganteng banget, dah. Itu dosen baru kita? Pengganti Pak Sandi yang cuti menikah itu, kan?"
"Iya, lah. Ini salah satu alasan kenapa gue ambil kelas desain. Selain bakat, salah satunya adalah para barisan dosen yang ganteng jadi pengajar kita."
"Huuu ...." sontak saja suasana kelas menjadi riuh.
Tidak lama kemudian suasana ramai tadi menjadi 'anyep' ketika Dita sudah duduk di kursinya. Aroma bunga melati khas parfum Dita menyeruak memenuhi ruangan kelas. Namun, hanya Dita yang tidak mencium aroma tersebut.
"Merinding, woi ...." bisik-bisik salah satu mahasiswa.
Sejak kematian Wisnu, tidak ada aroma lain yang ia cium kecuali bau anyir. Beruntung hanya Dita yang menciumnya. Dita yang penasaran berbisik pada Rani.
"Gue bau, ya?"
"Bau apa, bau bunga melati iya, Lu ganti parfum, kah?"
Dita menggeleng, lalu ia bertanya sekali lagi.
"Serius, Lu nggak bau lainnya gitu?"
"Enggak lah, serius Lu bau bunga melati, cantik."
Rani yang tau Dita sedang resah segera mengusap tangan Dita, agar ia tenang. Hanya Rani dan Aldo yang setia mensupportnya kali ini. Lain halnya dengan teman-teman Dita di kelasnya yang hobbi memperolok dirinya.
"Janda kembang udah masuk, nih ye?"
"Iya dong, dia kan sudah jadi janda kaya raya saat ini."
"Wah, berarti Dita wanita gila harta ya, wkwkwk ...."
"Betul!"
Baru saja masuk, sudah banyak sebutan yang tidak mengenakkan di telinga Dita. Ia pun menulikan pendengarannya kali ini agar ia tidak terpancing emosinya. Ia takut jika ia marah ada hal ganjil yang akan menimpa temannya.
Entah kenapa bayangan Wisnu yang telah meninggal secara tragis selalu terbayang di dalam ingatan Dita. Belum lagi bau anyir yang selalu nempel di tubuhnya.
Terhina, selalu diremehkan, hal itu sudah biasa ia lalui. Meskipun ia cantik, tetapi banyak yang melihatnya dengan tatapan aneh karena mengganggap Dita wanita penuh aura mistik.
Meskipun begitu, Dita tidak pernah mengambil hati. Dia tidak pernah mau mencampuri urusan orang lain, karena ia juga tidak mau orang lain masuk ke dalam kehidupannya.
"Dit, Lu yang sabar ya. Nggak usah diambil hati."
"Tenang aja, Ran. Lu tau sendiri, kan. Gue orangnya gimana?"
Dita tersenyum ke arah Rani. Ia pun mengelus dadanya tenang. Rani lupa jika Dita wanita yang tangguh. Didikan keluarga besarnya, mampu membuat Dita berbeda dengan wanita biasanya.
Mungkin nasibnya akan berbeda jika ia terlahir dari keluarga biasa. Kalau bukan karena peraturan keluarganya, ia juga tidak akan pernah sudi untuk menikah dengan Wisnu, jodoh pilihan dari kedua orang tuanya.
Terlahir sebagai seorang putri dari keluarga ningrat, membuat Dita hidup penuh dengan tekanan. Tatanan budaya, adat istiadat yang ketat, segala peraturan yang ia lakukan sejak kecil terkadang membuat Dita iri dengan kehidupan teman-teman sebayanya.
Bahkan, terkadang karena hal itu, ia jarang punya teman. Tidak ada orang yang berani mendekatinya, membuat Dita sudah terbiasa hidup sendiri. Mempunyai sahabat seperti Rani adalah sebuah anugrah untuknya.
Aldo menatap sendu ke arahnya dari kejauhan. Ingin rasanya ia memeluk dan mendampingi Dita. Namun, niatnya ia urungkan karena saat ini ia masih berada di masa iddah. Tidak pantas jika ia langsung muncul dan mendekati Dita.
"Semoga setelah ini, kamu mau membuka hati untukku, Dita. Meskipun aku tidak sekaya Wisnu, tetapi aku mampu mendampingimu dalam setiap situasi."
Sementara itu, Dita sekilas menoleh ke arah Aldo yang terus saja menatapnya dari kejauhan.
"Aku harap kamu menjauhiku, Aldo. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu setelah ini," gumam Dita yang segera mengembalikan tatapannya ke depan.
"Woi, ngelamun aja. Sudah, fokus saja sama materi yang dibawakan Pak Stef di depan!" tegur Agus teman sebelah Aldo.
Apa yang dilakukan Dita saat ini bukanlah sebuah kesalahan, tetapi hanya sebuah antisipasi dari takdir yang belum bisa ia raba. Salahkah Dita berada di posisi kali ini?
.
.
...🌹Bersambung🌹...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 220 Episodes
Comments
Sakura_Merah
sabar... Dita
2022-10-17
0
🥨⃝ᴳ⃞ᵃ SYIFA EST 🗻🐧🐝⃞⃟𝕾🎯
mampir kak
2022-08-08
1
@❦⃝ᶠˢcB💕R4hm4🌱PUCUK BLU12 🐛
Gak salah cuman dita harus sabar menghadapi takdirnya semiga dgn kesabaran kamu bisa bahagia
2022-08-07
2