Bab 19. TEROR

Sejak lahir, Dita sudah mewarisi katuranggan, sebuah ilmu titen yang ia miliki sejak lahir. Hal itu menandakan jika Dita mempunyai sebuah keistimewaan dibanding wanita yang lainnya. Tidak semua orang mempunyai kelebihan seperti Dita, yang kebal terhadap serangan ilmu hitam.

Andai target pelet yang dipakai Rangga tersebut ditunjukkan pada gadis selain Dita, sudah pasti gadis itu akan terkena dampaknya. Namun, Rangga terlalu meremehkan Dita.

Dita hanya merasakan hal tidak enak malam itu, tetapi setelah bangun tidur, badannya sudah kembali segar seperti semula. Sama sekali tidak ada efek apapun meski ia sudah menjadi target pelet dari Rangga.

"Pagi, Nduk. Gimana tidurnya semalam?"

"Alhamdulillah, nyaman, Bu."

"Alhamdulillah kalau begitu, setidaknya tidak terjadi apa-apa padamu. Semalam hawa di rumah terasa lebih gerah tidak sama seperti biasanya."

"Loh, Ibu juga merasakan hal yang sama denganku?"

Nyonya Sekar mengangguk, saat hendak berbicara tiba-tiba suaminya datang. Seketika obrolan mereka berhenti. Tuan Handoko langsung duduk di kursi dan menyesap tehnya. Lalu setelahnya mulai memakan sarapan yang sudah tersedia di hadapannya.

Selama mereka sarapan, tidak ada obrolan sama sekali, yang terdengar di sana hanyalah suara denting sendok dan garpu. Namun, setelah beberapa saat, beliau mulai angkat bicara.

"Dita ... apa kamu sudah tahu kabar terbaru tentang Juna?"

Dita menatap ayahnya dengan heran, lalu menggeleng. Setelah pulang dari kediaman Juna kapan hari, ia belum menghubunginya sama sekali, tetapi pertanyaan dari ayahnya saat ini menyiratkan bahwa Juna tidak sedang baik-baik saja.

"Menurut kabar yang Bapak terima kemarin, saat ini Juna sedang di bawa berobat ke luar kota."

Dita saling memandang pada ibunya, mencoba bertanya tentang apa yang terjadi pada Juna.

"Memangnya, Nak Juna kenapa, Pak?" Nyonya Sekar mulai berbicara.

"Kata Nyonya Sinta, selama beberapa hari, Juna sering terbangun malam-malam dan memanggil nama Dita, lalu setelahnya berteriak ketakutan."

"Kok bisa begitu, padahal Dita tidak melakukan hal apa pun pada Juna."

"Bapak tidak bermaksud menyalahkanmu, Nak. Kalau pun kamu tidak setuju akan perjodohan ini, kamu tinggal bilang sama Bapak. Selesai."

Nyonya Sekar menghela nafasnya. Ia tidak bisa menjelaskan keganjilan ini pada Dita. Tentu saja karena selama ini, kedua orang tuanya memang menutupi hal tersebut dari Dita.

"Bagaimana ini, Buk?"

"Ibu ikut saja, yang terbaik untuk Dita dan Juna. Kasihan Juna kalau hal buruk sampai terjadi padanya."

"Padahal Bapak sangat menyukai Juna."

Helaan nafas berat terdengar di sana. Dita bisa memahami perasaan kedua orangtuanya. Namun, ia juga tidak bisa bertindak banyak. Yang ia inginkan hanyalah kebaikan di sana.

Setelah tidak ada titik temu, Dita memilih kembali ke kamar. Semua tirai kamarnya ditutup rapat. Terlihat gelap dan sunyi. Bahkan angin dari luar tidak dapat menembus ke dalam kamarnya.

"Kenapa hal seperti ini selalu datang dalam kehidupanku? Apa salahku?"

Dita menangkup wajah dengan kedua tangannya. Menenggelamkan wajahnya ke atas lutut. Dadanya seketika bergemuruh, ada rasa tidak rela ketika mendengar orang-orang yang dekat dengan dirinya perlahan-lahan menjadi sakit karena dia.

Di lain tempat, Rangga mengusap gusar wajahnya. Kejadian di rumah dukun sakti tersebut masih teringat jelas di dalam pikirannya. Apalagi saat bola api yang ia kirimkan tiba-tiba saja kembali dan menyerang dukun tersebut.

"Bagaimana ini? Kenapa Dita susah sekali untuk di dekati?" gumam Rangga saat memandangi wajah Dita dari foto Dita yang tercetak.

Saat Rangga asyik melamunkan Dita, tiba-tiba saja jendela kamarnya terbuka. Angin kencang yang berhembus seketika membuat foto-foto Dita bertebaran di kamar tersebut. Belum lagi harum semerbak bunga kantil yang tercium di kamar Rangga, semakin membuat Rangga bergidik ngeri.