Kontrak kerjasama dengan Laura tertunda karena meninggalnya mendiang Javier De Willson. Satu bulan kemudian mereka akhirnya bertemu di apartemen Lail.
Laura datang dengan asisten nya Jeni. Jeni pria tulang lunak alias banci yang menjadi asisten Laura hampir lima tahun lamanya.
Laura dan Jeni sedang berjalan di koridor, sepanjang jalan Jeni terus menggerutu di samping Laura.
"Lala, harusnya kita datang ke perusahaan. Bukan ke apartemen dia, kerjasama macam apa ini, La. Ih Jeni tidak suka, huh. Jeni kaya nganter bos Jeni jual diri saja ke apartemen."
Laura menghentikan langkahnya, Jeni juga. Laura menatap kesal Jeni lalu mencubit bibir monyong Jeni yang memakai lisptick merah. "Diam ya ih!" geram Laura.
Jeni memanyunkan bibirnya dengan mengelus lembut bibirnya yang terasa perih. "Jahat ih Lala," ucap Jeni dengan suara gemulai nya.
"Bicara yang benar, pake nada laki, malu tuh dengan batang di bawah." pandangan Laura turun ke celana Jeni.
Kemudian Laura kembali berjalan dengan kesal meninggalkan Jeni sendirian.
"Aw kenapa rasanya dia semangat sekali dengan kerjasama hari ini ya," gumam Jeni.
*
Lail membuka pintu ketika mendengar suara bel. Laura dan Jeni sudah berdiri di depan apartemen.
"Silahkan masuk, Nona ..."
Laura mengangguk, ia berjalan masuk di ikuti Jeni dari belakang.
Magma yang duduk di sofa menatap dari atas sampai bawah penampilan sepupu Winter yang terlihat sexy. Dengan memakai dress berwarna merah muda di atas lutut, belahan dada nya hampir terlibat, rambutnya Curly terurai panjang , make up natural dan heels tinggi. Benar-benar seorang model terkenal.
Magma menarik diri dari sandaran kursi, duduk tegak menghadap Laura tapi pandangannya beralih ke samping.
Pria yang memakai lipstick merah, wajahnya juga di make up lebih menor dari Laura, pakaiannya tidak senada, warna-warni tidak jelas membuat mata Magma sakit kalau terus-terusan melihat pria itu.
Lail duduk di samping Magma.
"Yakin mau membuat kontrak kerjasama di sini?" tanya Jeni seraya mengedarkan pandangannya ke apartemen yang luas milik Lail.
"Yang penting kerjanya tidak di sini," sahut Magma dengan nada tidak suka.
"Perusahaan Mahavir group sedang di bangun, pusatnya di Spanyol," ucap Lail menjelaskan.
"Kita buat kontrak kerjasamanya sekarang," potong Laura.
Lail mengangguk dan menyimpan sebuah map di meja. Jeni mengambilnya dan membacanya bersama Laura.
"Kontrak kerjasamanya lima tahun La," bisik Jeni kepada Laura.
Kemudian Jeni mendongak menatap Magma. "Kenapa langsung lima tahun? kalau Lala ternyata tidak nyaman bekerja denganmu bagaimana?"
"Aku pikir bayarannya cukup tinggi. Dia pasti mau." Magma menatap Laura dengan ekor matanya yang sedang membaca isi perjanjian.
"Ini bukan masalah bayaran. Ini masalah kenyamanan hei." Jeni mengetuk meja beberapa kali dengan kesal tapi jawaban Laura membuat Jeni menoleh dengan terkejut.
"Aku setuju."
"Lala ..." Jeni melotot seakan memperingati Laura untuk tidak gegabah mengambil pekerjaan.
"Bayarannya mahal. Lihat saja." Laura menyuruh Jeni membaca isi map tersebut walaupun sebenarnya Jeni sudah membacanya tadi.
"La, ih. Ini bukan masalah bayaran mahal. Kalau Lala tidak nyaman bagaimana?"
"Kapan aku tidak nyaman dengan pekerjaan? hanya pemotretan, bergaya depan camera dan aku jadi kaya raya."
"Tapi masalahnya, La. Setiap perusahaan yang bekerja sama dengan Lala, tidak ada yang sampai mengontrak lima tahun."
Magma dan Lail hanya menatap bergantian mereka yang sedang berdebat.
"Kau tenang saja, yang bekerja kan aku!"
"Iya tapi--"
"Mau tidak?" potong Magma. "Saya tidak ada waktu mendengar ocehan kalian berdua. Kalau tidak mau silahkan keluar dari apartemen ini!!" Magma menunjuk pintu dengan telapak tangannya.
Jeni menghela nafas panjang lalu menghembuskan nya perlahan. Jeni tidak suka dengan tatapan Magma yang terlihat besar kepala itu.
"Sudahlah ..." Laura menyikut Jeni.
Kemudian Laura kembali menatap Magma. "Aku setuju."
Magma mengangguk.
"Pulpen nya ..." pinta Laura dengan nada kesal kepada Jeni karena dari tadi Jeni malah menatap Magma dengan tatapan tidak suka, terlihat dari gigi Jeni yang saling menggertak.
"Ini Nona ..." Lail memberikan pulpen kepada Laura.
"Tidak perlu," sergah Jeni. "Lala lebih suka pulpen kesayangannya."
Jeni membuka tas nya untuk mengambil pulpen kesayangannya Laura. Tapi kemudian ia terdiam.
"Mana?" tanya Laura.
"Sebentar." Jeni terus mencari pulpen di dalam tasnya.
Magma menghela nafas sambil menggelengkan kepala melihat itu. Masalah pulpen saja harus seribet ini.
"La, kayanya hilang." Jeni menatap Laura.
"Apa maksudmu, itu pulpen kesayanganku dari Daddy ya!"
"Tadi kan Lala yang pakai pulpennya buat corat-coret uang lagi, La. Lala mungkin yang lupa."
Magma menaikan alisnya mendengar ucapan Jeni.
"Corat-coret uang?" tanya Magma.
Laura dan Jeni sontak menoleh. Magma menatap intens iris mata Laura.
"Kenapa?" tanya Laura.
"Model mana yang tidak ada kerjaan sampai corat-coret uang?"
"Model seperti aku," sahut Laura dengan enteng.
Mendengar uang di corat-coret, Magma jadi ingat nomornya yang tersebar di uang seribu.
"Silahkan tanda tangani saja dan pergilah untuk mencari pulpen kesayanganmu." Magma mengalihkan pembicaraan mereka.
Laura pun akhirnya mengambil pulpen dari Lail tadi lalu menanda tangani isi kontrak tersebut.
"Oh iya ..." Jeni dengan tangan bersedekap dada menatap Magma. "Lima tahun itu mungkin Lala akan menikah, entah tahun berapa. Lalu bagaimana dengan pekerjaan ini? apa Lala masih harus bekerja denganmu?"
"Tentu saja."
"Kalau Lala hamil bagaimana? dia masih harus tetap kerja juga?"
"Tentu saja. Hanya pemotretan, tidak akan membuat dia kelelahan. Dan lagi, bagus kalau dia hamil, perusahaan ku bisa membuat produk untuk Ibu hamil dan dia bisa jadi modelnya."
"Oh ..." Jeni memutar bola matanya malas menatap mata Magma.
Padahal dia juga suka laki-laki, tapi mungkin Magma ini pengecualian. Entah kenapa Jeni tidak suka dengan Magma walaupun cukup tampan.
"Selesai ..." Laura menyimpan pulpen di atas map.
*
Setelah bertemu dengan Magma ia kembali pulang ke mansion. Laura merebahkan dirinya di sofa dengan Jeni yang lari terbirit-birit ke kamar mandi.
Arsen berjalan menuju sofa duduk di hadapan putrinya sambil menghela nafas.
"Tiap hari kerjaanmu seperti itu. Tidak ada yang berubah, Lala. Lita juga sama. Kenapa anak Dad belum ada yang menikah, mau sampai kapan kalian ini?"
"Kita punya karya, punya bakat, jadi sayang sekali kalau cepat-cepat menikah. Nathan dan Nala juga sama kan Dad."
"Bisa di teruskan setelah menikah," sahut Arsen.
"Tidak," sahut Laura dengan memainkan ponselnya. "Aku akan pensiun setelah menikah. Aku mau fokus dengan suami dan anak nanti, jadi sekarang aku mau kerja gila-gilaan dulu."
"Daddy mu ingin cucu, Lala." Miwa datang menghampiri suami dan putrinya.
Miwa tidak berubah, dia juga semakin cantik. Badannya bagus, hampir mirip dengan badan Laura. Terkadang kalau jalan berdua dengan Laura, orang-orang selalu berpikir kalau Miwa dan Laura adik kakak.
"Cucu dari Lita saja, Mom."
Miwa mendengus lalu duduk di samping suaminya.
"Lita bilang cucu darimu dulu, kau bilang cucu dari Lita dulu."
"Ya mau bagaimana lagi, Mom. Aku belum mau menikah."
"Kalian pasti pilih-pilih soal laki-laki kan," ucap Arsen.
"Memang harus pilih-pilih, Boo. Anak kita dua-duanya cantik ..."
Arsen hanya berdecak dengan ucapan Miwa. Dari dulu Miwa selalu meracuni otak anak-anaknya dengan mengatakan mereka harus menikah dengan pria tampan dan kaya raya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
lid
visual mana kaa tania
2022-06-27
0
Mr.VANO
klo maqma tahu laura yg nyebarkan no ny,sdh dipastikan kerja sama yg menyiksa untk laura.maqma bos mafia jd dia sangat kejam
2022-06-12
1
Mr.VANO
harus milih dad untk suami gak bisa sembrangan
2022-06-12
0