Chapter 1 - Terbangun, 1 tahun kemudian

"Hah!" Teriak Endra yang dengan segera terbangun dari komanya. Apa yang dipikirkannya saat ini hanya ada satu.

"Bagaimana dengan yang lainnya?"

Dua orang perawat dan seorang dokter segera datang memasuki ruangan itu setelah menyadari Endra telah terbangun. Dimana hal itu ditunjukkan melalui notifikasi dari kamera pengawas di ruangannya.

"Endra, tenangkan dirimu. Jangan terlalu banyak bergerak terlebih dahulu."

"Itu benar. Tubuhmu masih lemah setelah semua yang terjadi."

Kedua perawat itu berusaha untuk menenangkan Endra. Sedangkan Endra sendiri tak mau untuk bersikap tenang.

"Katakan! Dimana ayah dan ibuku?! Lalu adikku?!" Teriak Endra.

Sang dokter yang telah selesai memperhatikan tanda vital dari tubuh Endra di beberapa layar itu memutuskan bahwa Endra sudah dalam kondisi yang cukup baik.

Dan mungkin, sudah siap untuk langsung menerima kenyataan serta menjalani rehabilitasi.

"Suster, tolong tinggalkan kami berdua." Ucap dokter pria yang masih terlihat muda itu.

"Baik dok."

Dengan balasan itu, kini hanya tersisa Endra dan juga sang dokter di ruangan itu. Setelah beberapa saat berusaha untuk sedikit menenangkan Endra, Ia pun bertanya.

"Kau sudah berumur 17 tahun saat ini, jadi aku akan membiarkanmu memutuskannya sendiri. Apakah kau mau mendengar kebenaran, atau tidak?" Tanya sang dokter.

Endra yang sedari dulu memang dianggap sebagai salah seorang dengan pikiran yang cukup cemerlang, dengan cepat menyadarinya.

Tidak....

Ia justru mengutuk pikirannya yang selalu tajam dan kritis di banyak situasi itu.

"Hahaha...." Balas Endra sambil tertawa ringan.

Dokter itu pun sedikit terkejut dengan respon Endra yang terlihat tenang itu. Hingga akhirnya, Endra melanjutkan perkataannya.

"Jadi mereka sudah mati ya?" Tanya Endra kembali.

Ia tahu, bahwa pertanyaan sang Dokter hanya bermakna satu hal. Apakah kau siap menerima kenyataan keluargamu sudah tiada, atau tidak.

Tak ada gunanya menanyakan pertanyaan seperti itu jika keluarganya memang baik-baik saja.

Meski begitu....

Air mata mulai mengalir di wajah Endra.

Ia tak lagi bisa menahan emosinya yang saat ini meluap, meskipun sudah mengetahui kebenarannya.

Satu-satunya penyesalannya adalah dimana dirinya justru tak meluangkan waktu terakhirnya bersama keluarganya saat itu. Dan justru memilih untuk memainkan sebuah game.

'Sialan.... Apa yang ku lakukan saat itu?!' Teriak Endra dalam hatinya.

Sang dokter yang melihat bocah itu menangis hanya bisa mengelus kepalanya. Berusaha untuk sedikit meringankan bebannya.

"Aku takkan bilang bahwa aku memahami perasaanmu, karena aku belum pernah mengalaminya." Ucap sang dokter itu.

Tapi Endra hanya terus menangis. Menyesali semua perbuatannya selama ini.

Jika saja waktu bisa diputar kembali....

Ia ingin kembali melihat wajah ibunya yang begitu baik kepadanya itu.

Ia juga ingin kembali melihat wajah ayahnya yang selalu terlihat kelelahan karena pekerjaannya itu.

Dan terlebih lagi....

Ia ingin sekali lagi untuk melihat adiknya.

Akan tetapi....

"Maafkan aku, Endra. Aku turut berduka atas kehilangan kedua orangtuamu. Meski begitu, ada satu kabar yang entah bisa membahagiakanmu atau tidak." Ucap dokter itu.

"Apa itu?" Tanya Endra yang masih terus menangis. Matanya mulai memerah dengan wajah yang tak lagi karuan.

Tubuhnya yang memiliki banyak bekas luka sayatan karena besi dan juga luka bakar yang mulai sembuh itu terlihat begitu mengerikan.

Setelah menjeda selama beberapa saat, sang dokter pun kembali berbicara.

"Adikmu selamat. Menurut beberapa laporan dari tim penyelamat, kau memeluk adikmu dengan erat. Melindunginya dari sebagian besar luka yang ada. Hanya saja...."

Endra menelan ludahnya. Mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk. Meski begitu, senyuman yang tipis mulai terlihat di wajahnya mengetahui bahwa setidaknya.... Adiknya masih selamat.

"Dia masih berada dalam koma. Kami tak tahu kapan Ia bangun. Dan nampaknya, benturan keras di bagian kepalanya sedikit banyak memperburuk kondisinya saat ini."

Kini, bukan lagi tangisan ataupun rengekan. Melainkan sebuah kata yang sangat sederhana, yang bagi sebagian orang sangat sulit untuk diucapkan.

"Terimakasih.... Terimakasih.... Adikku masih selamat...." Ucap Endra sambil terus mengalirkan air matanya dan tersenyum lebar itu.

Dokter yang melihatnya merasa tak tega kepadanya.

Bukan karena apa, tapi masih ada satu lagi masalah besar yang akan dihadapi bocah itu.

Haruskah Ia menyampaikannya? Ia bimbang untuk melakukannya. Tapi ini adalah sebuah kenyataan yang cepat atau lambat harus dihadapi oleh Endra.

Oleh karena itu....

"Endra, ada satu lagi kabar buruk untukmu." Ucap Dokter itu.

"Apa?"

Endra tak lagi bisa memikirkan kabar buruk lainnya. Kedua orangtuanya sudah tiada. Adiknya berada dalam koma dan mengalami luka serius di bagian kepalanya.

Memangnya, apalagi yang bisa lebih buruk dari itu?

Ketidakmampuan Endra memikirkannya meskipun memiliki otak yang cukup cerdas, adalah sebuah bukti bahwa dirinya selama ini selalu hidup dalam kenyamanan.

Dimana Ia tak perlu memikirkan banyak hal yang begitu menyulitkan.

Salah satunya adalah uang.

Karena kedua orangtuanya cukup kaya, terutama karena pekerjaan Ayahnya, Endra tak begitu memiliki masalah ekonomi.

Bahkan bisa dibilang selalu tercukupi semua kebutuhannya.

Tapi pada kenyataannya, inilah dunia nyata.

Ia harus menerima kenyataan itu, sepahit apapun itu.

"Saat ini, pamanmu berusaha sekuat tenaga untuk membayar semua kebutuhan rumah sakit kalian berdua. Bahkan sampai menjual semua kepemilikan orangtuamu.

Baik itu rumah, maupun segala isinya. Semua itu dibutuhkan untuk melakukan beberapa operasi kritis pada beberapa tulangmu dan adikmu yang patah, serta operasi otak adikmu pada saat itu. Dan mungkin...."

Endra pun akhirnya dihadapkan pada kenyataan.

Ia hanya bisa terbelalak. Air matanya terhenti seketika. Begitu pula dengan matanya yang berhenti berkedip.

Satu-satunya kalimat yang muncul dari mulutnya adalah....

"Yang benar saja?"

Sebuah hutang yang bahkan mencapai angka ratusan juta lebih.

Tak hanya itu, satu-satunya keluarganya yang tersisa yaitu pamannya mengatakan bahwa Ia tak lagi bisa menanggung biaya itu. Bahkan mereka sendiri sampai harus menjual dua mobil mereka dan sebagian tanah mereka.

Dengan kata lain....

Endra mungkin takkan memiliki tempat tinggal lagi. Kecuali jika Ia masih berani merepotkan pamannya yang nampaknya telah cukup membenci keluarganya karena telah banyak sekali merepotkan mereka.

Pada saat itulah, sang dokter mengulurkan lengannya.

"Setelah rehabilitasi, aku bisa menyewakanmu sebuah kamar kos yang kecil. Meskipun tak banyak, aku juga akan membantu sebisaku. Lagipula, kau adalah salah satu pasien pertamaku yang menderita sebanyak ini.

Sudah sepantasnya bagiku untuk terus membantu pasienku bukan?" Jelas dokter itu sambil tersenyum.

Endra yang tak lagi memiliki tempat untuk bersandar, pada akhirnya menerima tawaran bantuan itu dari sang dokter.

"Jadi kedepannya, bekerja lah sebaik mungkin untuk dirimu sendiri dan adikmu. Mengerti? Berjanji lah padaku." Ucap dokter itu.

"Aku mengerti...." Balas Endra.

Sesaat sebelum dokter itu pergi, Endra berteriak untuk memanggilnya sekali lagi.

"Tunggu! Aku belum tahu siapa namamu!"

Sang dokter hanya berbalik arah sambil menunjukkan kartu namanya yang menggantung di lehernya.

"Andi. Kau bisa memanggilku Andi." Ucap dokter itu sambil tersenyum.

Dengan begitu lah, awal kehidupan baru bagi Endra pun dimulai sejak hari itu.

Terpopuler

Comments

John Singgih

John Singgih

jatuh miskin tapi ada yang bantu

2022-12-25

0

ꇙꋬ꓄ꌦꋬ ꀘꏂꋊꉔꋬꋊꋬ

ꇙꋬ꓄ꌦꋬ ꀘꏂꋊꉔꋬꋊꋬ

ga dibantu sama jasa raharja? wah mesti ikut bpjs juga nih

2022-08-30

0

zuyoka

zuyoka

huhuhu semangat endra...

2022-06-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!