Aku tidak juga jatuh pingsan. Rasa lapar ini sungguh berat dan menyiksa, serasa mendekati hipothermia. Tubuhku menggigil, keringat dingin mengucur dan kepala ini seperti kosong tanpa isi. Badanku gemetaran tiada daya, ini benar-benar lapar akut. Serasa saingan saja dengan para penduduk di negara Somalia, malu sekali rasanya!
Dengan kepala kosong tanpa isi dan lupa etika siapa diriku, kupegang erat betis kaki di depanku.
"La,,par...."
Sempat kupandang pemilik kaki itu sebelum tanganku kena kibas kakinya. Aku jatuh terjengkang dan tidak berdaya untuk bangkit . Mungkin saat ini aku ibarat kucing jalanan yang sedang sekarat. Tak ada harga diri lagi. Tubuhku diam tak bergerak, hanya kelopak mata di balik kaca mata buramku yang masih berkedip satu dua kali.
"Ratih!!!"
Sayup kudengar suaranya kembali menggelegar.
"Kenapa ada pekerja busung lapar di sini?!"
Mataku tidak mampu melihat mereka, hanya gelegar suara berat bosku saja yang terus sayup kudengar. Kupasrahkan raga lemah ini pada siapapun mereka. Ada tangan mengambil bahuku yang lalu memberiku minum. Seperti ada kekuatan ghaib merasukiku. Oh air! Kuteguk lama dengan tiada puasku. Namun, tangan baik itu tiba-tiba melepas paksa gelas dari bibirku.
Kini posisiku telah didudukkan. Nampak di depanku telah ada makanan yang begitu tampak menggoda liurku. Kusambar piring penuh nasi itu tanpa ada yang menyuruh. Aku berubah kuat seketika. Tenagaku telah pulih berlipat-lipat. Piring itu telah bersih tanpa sebulir nasipun.
Harga diriku terasa kembali seketika dengan perut penuh berisi makanan. Juga kesadaran penuh yang kembali kuat kurasakan, serasa siap dengan segala peperangan di hadapan.
"Bersihkan itu!!!"
Aku tahu, kaca pecah itu hanyalah tugasku. Kenapa? Jangan coba tanya dulu, sebab aku sama sekali tidak tahu.
Kusambar lembaran tisu di mejanya kembali dan kubersihkan dengan gerak super cepat. Kulempar tisu berisi gelas pecah itu ke keranjang sampah terdekatku dengan bar-bar. Telah kupastikan bahwa lantai itu sudah jadi steril kembali. Mungkin siap menerima pecahan kaca oleh si boss garang esok lagi.
Kupandang nekat bos garangku yang juga sedang dilihatnya aku ke sekian kali dengan tatap ilfil yang parah. Meski kejut jantung ini bertalu, kucoba bermuka batu dengan terus memandang wajah tampannya.
"Kamuu?!!" Boss garang itu menunjuk muka burukku dengan telunjuk kirinya tiba-tiba. Seakan merasa sayang jika tangan kanannya diguna untuk menunjukku.
"Iya, saya, Boss??" tanyaku terheran.
"Tiap kau lambat, gelas-gelas ini akan melayang. Apa kau suka bersih-bersih dengan tidak ada guna?!" tanya si boss menggelegar.
Kini jadilah kupahami, kenapa gelas itu ambyar begitu saja hari ini. Bos anti dengan perkara kata lambat. Bukan saja dia, sebenarnya akupun anti lelet. Itu sama sekali bukan salahku, tetapi salah toke pengantarku Namun, sadar diri akan posisi kacungku, bibir dan mulut ini benar-benar kukondisikan agar bungkam.
"Maafkan saya Tuan, saya berjanji tidak akan mengulangnya lagi."
Berusaha kuberkata tenang dengan suara merduku yang sedang tidak niat kututupi. Bos garang itu menjelingkan matanya padaku sekilas. Lalu berlalu pergi dari hadapanku dengan wajah keras dan sekaku tongkat besi.
"Bagaimana keadaanmu, apakah masih lapar dek?"
Ada suara halus yang menegur di sampingku. Milik wanita berkerudung dan kurasa seusia Lina. Tampaknya kacung baik, bisa sopan kepadaku. Akupun mengangguk senang padanya, memang betul, perutku telah kenyang dan sangat hangat rasanya.
"Trims kak."
Dia sangat berjasa padaku hari ini. Kan kuingat hingga kapanpun tentangnya.
"Nama kakak siapa? Aku Elshe." Kupandang hangat redup pada wajah ademnya.
"Welvia." Perempuan berwajah keibuan itu menyebut namanya sambil tersenyum.
Welvia dari kota Padang, Sumatera Barat. Enam tahun di atasku, usianya sudah tiga puluh tahun.Jadi, aku akan memanggilnya uni, uni Welvia. Orangnya lembut dan kuyakin sikapnya akan baik luar dalam. Aku ingin berteman dengannya.
Uni Welvia seorang kacung dapur, alias koki. Aku berteman dengan orang yang tepat. Tidak banyak pun tak masalah dan satu saja oun cukup. Terlebih orang yang berkuasa di bidang perdapuran, rizqi sekali untukku!
"Hei Kamu!" Ratih melengking padaku tiba-tiba.
Aku menatapnya, kuikuti langkahnya ke dapur. Disuruhnya aku cuci piring segunung. Itu bukan masalah bagiku dan hal sepele yang mudah kulakukan.
Uni Welvia menemuiku.Tersenyum menghibur hatiku. Kubalas dengan senyum termanisku.
"Jangan khawatir uni, ini hal biasa," sahutku menenangkan.
Piring dan peralatan memasak yang menggunung di wastafel super panjang, ku habiskan tidak sampai tiga puluh menit. Jangan heran, aku adalah mantan asisten pribadi ibuku, sedang ibuku punya usaha catering yang lumayan. Jadi soal dapur itu urusan kecil, aku bisa apa saja di sana.
Uni Welvia, kupangggil gadis berumur itu uni Wel, sedang menemuiku lagi sebelum pergi. Diberinya aku sekotak cake, aku senang sekali. Ku lucap terimakasih dengan tulus banyak kali.
"Hei Kamu!" Ratih kembali melengkingku.
Dia menyuruhku membuang sampah. Ku sambar kantong sampah dan kulempar dalam tong besar penampung sampah di belakang. Langsung kuberjalan cepat dan menghindar, tidak ingin mebdebgarkan Ratih melengking lagi.
Kamarku yang remang-remang memang nampak lebih seram. Apalagi dengan adanya kolam ikan di depan kamar ini, semakin berefek dengan merindingnya bulu roma.
Berusaha abai dengan perasaanku, tergesa kutancap kunci sebijiku ke dalam lubang pintu. Berharap kunci ini janganlah hilang dulu sebelum berhasil kuduplikat beberapa. Dengan panjat doa yang selalu kuingat, kumasuki kamar remangku dengan cepat.
Meski terbiasa, berjaga diri tetap wajib bagiku. Sehabis sholat isya, kubaca ayat-ayat illahi secukupnya. Kubaca terus hingga raga ini merebah lelah dan terkapar kaku di kasur.
Tengah malam tiba-tiba mata ini terjaga, kurasa ada benda dingin merayap di perut rataku yang tersingkap. Dapat kuduga itu benda apa. Aku diam tanpa gerak, menunggu ular itu habis menyeberangi perutku.
Kududuk perlahan, dalam remang ku lihat ular sebesar pergelangan tangan menuruni kasurku perlahan. Ular itu merayap cepat, melewati jendela kamarku keluar. Rupanya kolam ikan itulah tujuannya. Ular itu menyelam dan tidak tampak muncul keluar kembali kepermukaan. Kurasa aman lagi meski rasanya sungguh tegang.
Berjumpa ular saat mendaki gunung memang sudah tak terhitung kualami. Awalnya sungguh takut, lama-lama pun terbiasa. Seniorku pernah memberikan tips rahasia menjinak ular disaat terdesak.
Aku berusaha tidur lagi setelah menutup jendela rapat-rapat. Suasana masih selalu remang-remang. Aku mulai terkapar di ranjang menuju alam mimpiku yang gelap, remang dan tegang.
Aku terjaga saat adzan subuh berkumandang dengan pandangan yang masih remang-remang. Terentang sebentar dalam renungan. Kepala ini teringat subuh lima hari yang lalu.
Dengan persiapan apa adanya, aku meluncur kabur dari kamar. Meninggalkan ibuku sendirian dalam rumah di kampung halaman. Tidak tahan dengan bising mulutnya agar aku menikah. Ibu ingin kuterima lamaran anak pak Walikota yang kaya luar biasa, tetapi aku tidak ingin.
Aku berangkat dari kota dingin Malang menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Beruntung kebagian tiket kapal kelas satu pada pagi hari itu. Tiket tujuan pulau Batam yang asal-asalan kubeli begitu saja. Akupun berlayar dan berpura-pura bahagia di lautan dengan penuh tanda tanya.
Dalam perjalanan kapal besar itu, aku berkenalan dengan seorang calo tenaga kerja area Kota Batam. Ah! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku yang galau pun ditolongnya memasuki otorita pulau Batam. Segala urusan dokumentasi, dialah yang menyiasati. Entah, berapa biaya yang dihabiskan untuk mengurusku belum sempat kutanyakan.
Calo lelaki itu menawariku sebuah pekerjaan. Dengan senang hati, kuterima tawarannya untuk memberiku kerja sebagai kacung. Kacung pada sebuah keluarga kaya raya di kota Batam, tepatnya di kota Batam Center. Tentu saja dengan penampilan baruku yang kubuat kumal agar tampak sedekil mungkin.
Maka, di sinilah aku sekarang, di kamar horor remang-remang. Bersemayam di bagian pojokan rumah mewah, megah dan kaya raya orangnya.
Yang hingga sekarang pun, tidak kupaham juga mana saja bosku itu. Hanya bos garang ganteng sajalah yang beberapa kali kulihat di meja makan. Bos serupa robot yang kaku dan tiada hati sama sekali. Eh, benarkah dia seperti itu?? Entahlah..
Tentang bosku, sama sekali tak ku tahu. Bahkan namanya sekalipun. Dalam kertas yang kuparaf tangan itu, hanya ada pihak 1 selaku Bos, dan ada pihak 2 selaku kacung, yaitu diriku. Yang hanya ada nama terangku saja di sana.
Ah, sudahlah, yang penting bagiku adalah menikmati pelarian dan kebebasan sementaraku.
Sambil menyelam minum air. Sambil berlari kumenggali rizqi dan mengumpul uang sebanyaknya! Tapi bagaimana, apa hanya cukup menjadi kacung yang terasa menyiksa jiwa?! Tidak!!! Profesiku sebagai kacung, harus sesegera mungkin kutikung!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
LeNnYy0507
Thor, itu ular kalo ikut tidur gimana tuh🤣🤣🤣
2023-03-24
0
Sri Widjiastuti
kok ngeri ya?? ada ular dlm rumah
2023-03-15
1
Pspta_24
berbicara secara langsung memang di singkat?
Atau authornya lupa?
2022-07-06
0