Goresan Luka di Hati Fiona
Derasnya hujan tidak menghalangi Fiona untuk terus berlari keluar rumah untuk mencari taksi. Dengan baju kaos dan jeans panjang, tanpa alas kaki, terus mencoba berjalan menuju jalan raya.
Pipi yang basah, entah karena hujan atau air mata, yang pasti wajahnya terlihat pucat pasi.
Baru saja dia mendapatkan kabar dari pihak rumah sakit jika papanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, dan sekarang jenasahnya, sudah berasa di rumah sakit.
Ibu dan kakaknya sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang berlibur keluar kota tanpa mengajaknya. Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui berita tentang papanya.
Dengan panik dan linglung, Fiona mencoba menghentikan mobil. Sudah 15 menit dia berdiri, tapi tidak ada satupun yang mau berhenti. Mungkin karena kondisi Fiona yang sudah basah kuyup, tidak ada yang mau membuat mobil mereka basah. Dengan pikiran kacau, Fiona nekat menghadang sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam yang sedang melaju ke arahnya.
"Ciiiitttsss..!!" Terdengar suara decitan ban mobil yang mengerem secara mendadak.
"Ada apa? Kenapa kau mengerem mendadak?" tanya sosok pria yang duduk di belakang dengan tubuh yang bersandar dan mata yang masih terpejam. Pengemudi itu menoleh ke belakang dengan wajah panik. "Maaf Tuan, ada seorang gadis yang menghadang mobil kita."
Sosok pria yang duduk di belakang seketika membuka matanya kemudian duduk tegak. "Apa dia sudah gila? Sedang apa dia di situ dengan keadaan basah kuyup?"
Fiona berjalan menghampiri mobil itu, lalu mengetuk kaca mobil pengemudinya. "Tuan, tolong beri saya tumpangan," mohon Fiona dengan suara bergetar sambil terus terisak.
Sang pengemudi menurunkan kaca sedikit. "Maaf Nona, silahkan cari mobil yang lain. Saya tidak bisa memberi tumpangan," teriak pengemudi mobil itu karena derasnya hujan membuatnya harus meninggikan suara agar terdengar jelas.
Fiona terus saja mengetuk. "Tolong Tuan..! Saya sudah mencoba untuk menghentikan mobil lain, tapi tidak ada satupun yang berhenti. Saya mohon, tolong saya Tuan. Kali ini saja," ujar Fiona memohon dengan wajah sedih dan memelas.
"Maaf Nona, tapi saya sedang terburu-buru," tolak sang pengemudi lagi.
"Saya mohon. Sekali ini saja. Saya harus menemui ayah saya di rumah sakit," terangnya lagi seraya terus menangis.
"Biarkan dia naik." Terdengar suara berat dari kursi belakang.
Seketika pengemudi itu langsung menoleh ke belakang. "Apa Tuan yakin akan memberi tumpangan kepadanya?" tanya pengemudi di depan. Dia ingin memastikan lagi apa yang dia dengar tadi.
"Apa kau akan membiarkan dia mati kedinginan di sini?" tanya sosok pria itu dengan suara berat.
"Maaf Tuan." Pria itu lalu menoleh pada Fiona.
"Naiklah Nona, tuanku sudah mengijinkan untuk memberimu tumpangan." Fiona tersenyum senang, lalu membungkukkan tubuhnya beberapa kali, tanda dia sangat berterima kasih.
"Suruh dia duduk di belakang," perintah pria itu saat melihat Fiona membuka pintu depan.
Fiona yang akan duduk di depan, seketika gerakannya terhenti saat sang supir berkata, "Nona kau bisa duduk di belakang." Fiona tampak ragu. Dia melihat ada sosok pria yang duduk di belakang. Sosok pria tampan dengan bibir tipis, mata tajam, dan rahang tegas.
Melihat Fiona yang tampak diam, pria itu berkata, "Apa kau akan terus berdiri mematung di situ?"
Suara berat itu membuyarkan lamunan Fiona. "Maaf," ucap Fiona sambil berlari membuka pintu belakang dan masuk ke dalam mobil.
Fiona tampak canggung duduk bersebelahan dengan pria tersebut, apalagi saat ini tubuhnya basah. Dia takut akan membuat pria itu ikut basah. Dia juga takut mengotori mobilnya.
Sosok pria itu melirik Fiona yang sedang meremas kedua tangannya sambil melemparkan pandangannya keluar jendela. Badan ramping, kulit putih, rambut sebahu, wajah pucat, mata sembab, hidung memerah, dengan baju basah, terlihat sangat menyedihkan. Meski penampilannya seperti itu, tetap tidak bisa menutupi kecantikan alaminya.
"Apa yang membuatnya berlari keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki dan dengan nekat menghadang mobilku?" gumam pria tersebut di dalam hati seraya melirik pada Fiona.
"Nona, mau diantar ke mana?" tanya sang supir yang terus menatap ke depan.
Fiona mengalihkan pandangannya ke depan menatap pria yang sedang mengemudikan mobil yang ia tumpangi. "Tolong antar saya ke Rumah Sakit Elisabeth, Tuan."
Sang supir mengangguk. "Baik,” ucap sang supir.
Tidak ada lagi obrolan selama dalam perjalanan ke rumah sakit. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan Fiona. Mobil baru saja tiba di pelataran rumah sakit.
"Nona sudah sampai," ujar sang sopir membuyarkan lamunan Fiona.
"Baik, terima kasih atas tumpangannya," ucap Fiona pada sang supir lalu beralih menatap pria yang duduk di sampingnya tadi. "Tuan, terima kasih atas kebaikanmu hari ini. Aku janji akan membalasnya nanti. Kau bisa mencariku di Clover Hill Residence. Aku tinggal di sana." Fiona bergegas menutup pintu mobil tanpa menunggu respon dari pria itu. Dia berjalan dengan cepat menuju ruang ICU.
Mobil itu tidak langsung melaju, sosok pria di dalam mobil itu terus memandangi tubuh Fiona yang sudah terlihat jauh. "Kau tunggu aku di sini. Aku akan segera kembali," ucap pria itu merapikan jasnya lalu membuka pintu mobil dan berjalan masuk rumah sakit.
Fiona berjalan gontai saat melihat dari kejauhan tubuh kaku ayahnya. Air mata yang semula sudah berhenti, kini kembali keluar lagi. Fiona berlari dan memeluk tubuh ayahnya yang terlihat putih pucat.
"Papaaaaaa..! Kenapa ini bisa terjadi? Jangan tinggal Fiona, Paa," teriak Fiona sambil memeluk jasad ayahnya.
"Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku lagi? Hanya papa yang selama ini peduli denganku. Tolong bangun Pa..! Banguun!" Fiona mengguncang tubuh ayahnya berapa kali. Ruangan yang semula hening, kini dipenuhi suara rintihan memilukan Fiona.
"Bukankankah papa sangat ingin melihatku menikah? Baiklah, aku akan menikah, tapi papa harus bangun. Bagaimana aku bisa mewujudkannya permintaan Papa itu, kalau Papa saja tidak mau bangun. Fiona mohon bangun, Pa!"
Perawat yang melihat pemandangan memilukan itu hanya bisa diam sambil memandangi Fiona dengan tatapan iba.
"Apa papa marah denganku karena aku selalu bertengkar dengan kakak dan mama? Aku berjanji tidak akan seperti itu lagi, asalkan papa bangun. Aku mohon bangun, Pa..!"
Tanpa disadari Fiona, pria tadi yang menolongnya sedang berada di depan pintu memandanginya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Pria itu terlihat sedang berdiri mematung dengan tangan kanan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.
Pria yang menolong Fiona adalah Steven Anthonio Pradigta. Dia adalah penerus dari perusahaan raksasa yang paling terkenal di negaranya. Di dunia bisnis, dia terkenal sebagai pengusaha bertangan dingin. Dia menjadi pengusaha sukses di usianya yang masih tergolong muda, bahkan keluarganya masuk peringkat satu keluarga paling disegani di negaranya.
Laki-laki yang mengemudikan mobilnya tadi adalah asisten pribadinya yang bernama Erick. Dia adalah orang kepercayaan Steven. Erick berperawakan tinggi sama dengan Steven dan memiliki wajah yang tampan. Dia berusia 27 tahun, lebih muda 3 tahun dari Steven.
"Tuan, ini yang anda minta tadi." Suara itu membuyarkan lamunan Steven yang sedari tadi menatap ke arah Fiona. Dia lalu menoleh ke kanan.
"Hhmmm," gumam Steven seraya mengambil barang yang dibawa oleh Erick tadi.
"Apakah Tuan berencana untuk menunggu wanita itu? Sepertinya kita harus pergi Tuan karena sebentar lagi kita ada meeting dengan client," ujar Erick dengan hati-hati.
"Batalkan meetingnya. Atur ulang jadwalku hari ini," perintah Steven itu tanpa menoleh.
"Baik Tuan," ujar Erick mengangguk.
"Kau tunggulah di luar. Aku akan memanggilmu jika diperlukan," perintah Steven.
"Baik Tuan." Erick membungkuk lalu pergi meninggalkannya.
Steven masih diam sambil memandangi Fiona yang terlihat sudah lebih tenang dan tidak lagi mengeluarkan suara. Fiona hanya diam menatap tubuh ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir pipi putihnya.
"Nona, bangun Nona."
Perawat yang berada di dalam ruang tersebut berusaha mengguncang tubuh Fiona. Dia melihat Fiona tampak terkulai lemas dan tidak bergerak di tempat tidur ayahnya.
Steven melangkah cepat mendekati Fiona. "Apa yang terjadi?" tanyanya sedikit panik.
Perawat itu mengalihkan pandangannya pada Steven. "Sepertinya Nona ini pingsan. Aku akan meminta bantuan perawat lain untuk memindahkannya ke IGD." Perawat itu mulai melangkah.
"Tidak perlu. Minggir... biar aku yang membawanya." Steven maju dan mengendongkan Fiona ala bridal style. Dia berjalan cepat menuju ruang IGD.
Erick yang baru saja ingin masuk ke ruang ICU, terhenti saat melihat bosnya sedang menggedong Fiona dengan terburu-buru. Dia merasa heran dengan tingkah bosnnya. dia bahkan sempat mengucek matanya beberapa kali, untuk memastikan apa yang dilihatnya barusan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
tari
lanjuttt thor
2023-07-25
0
tari
seruuu crita nya
2023-07-24
0
Qaisaa Nazarudin
Itu berarti Steven umurnya 30 ya..
2023-05-10
0