Fiona terbangun saat mendengar ponselnya berbunyi, dengan mata yang masih terpejam, dia mencoba meraih ponsel yang berada di meja samping tempat tidurnya. Setelah selesai menerima telpon, Fiona beranjak dari tempat tidur.
Fiona berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan menggosok giginya. Setelah selesai Fiona berjalan keluar dari kamarnya.
“Pagi Nona,” sapa pelayan wanita yang berumur sekitar empat puluhan saat melihat Fiona berjalan menuju dapur.
Fiona mengangguk sambil berkata, “Pagi, Bi.”
“Apa ada yang bisa saya bantu Nona?” tanya Pelayan wanita itu lagi saat melihat Fiona tampak membuka kulkas.
Fiona menoleh. “Panggil saja Fiona, Bi. Aku akan membuatkan sarapan untuk Steven,” ujar Fiona sambil mengeluarkan bahan makanan yang ada di kulkas.
Pelayan wanita itu lalu mendekati Fiona. “Jangan Nona, nanti saya dimarahi tuan Steven,” cegah Pelayan wanita itu lagi. Dia mencoba untuk menghentikan Fiona untuk memasak.
“Nggak apa-apa Bi, nanti saya yang tanggung jawab kalau Steven marah,” ucap Fiona tersenyum ramah. “Kalau pekerjaan Bibi sudah selesai. Bibi boleh pulang.”
“Baik, Nona, saya permisi dulu,” ucap pelayan wanita sambil mengangguk.
Fiona tahu dari Doni kalau pelayan di rumah Steven hanya bekerja untuk membersihkan mansionnya saja. Mereka biasanya akan pulang setelah pekerjaannya selesai karena mansion Steven memang jarang ditempati. Steven juga tidak pernah meminta pelayannya untuk menyiapkan makanan untuknya.
Steven tidak terlalu suka ada orang lain di mansionnya sehingga semua pelayan diwajibkan menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum pukul 10 pagi. Setelah selesai mereka semua diminta untuk pulang dan yang tersisa hanyalah 4 orang yang bertugas untuk menjaga mansion saja.
Fiona mulai memasak. Dia memang berencana untuk memasak pagi-pagi karena hari ini, hari minggu. Fiona berpikir kalau Steven tidak akan pergi ke kantor sehingga Fiona tidak perlu buru-buru memasak sebelum Steven bangun. Dia mempunyai cukup waktu untuk memasak beberapa makanan untuknya.
Setelah selesai memasak, Fiona berjalan menuju kamar yang ditempatinya untuk membersihkan tubuhnya, setelah menata semua makanan di meja makan.
Fiona berjalan menuju kamar Steven setelah selesai mandi dan berhanti pakaian. “Steve,” panggil Fiona saat tidak ada jawaban dari dalam setelah dia mengetuk pintu berkali-kali.
Fiona mencoba merapatkan telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan suara dari dalam. “Steve, bolehkan aku masuk?” teriak Fiona lagi setelah menunggu sekita 5 menit di depan pintu Steven.
Fiona mencoba mengetuk kembali pintu kamar Steven. Fiona memutuskan untuk memegang handle pintu setelah merasa kakinya keram karena terlalu lama berdiri di depan pintu kamar Steven.
“Steve, bangun,” ucap Fiona saat melihat Steven tampak masih berbaring di tempat tidur. Dia tadi sedikit terkejut karena kamar Steven tidak terkunci.
Fiona berjalan mendekati Steven. “Steve ini sudah siang. Ayo kita sarapan,” ajak Fiona saat sudah berada di dekat Steven. Dia mengguncang lengan Steven dengan pelan agar Steven terbangun.
Steven mulai membuka matanya. “Kamu demam, Steve?” tanya Fiona dengan wajah terkejut saat Steven meraih tangannya dan merasakan hawa panas dari tangan Steven. Fiona lalu memegang dahi Steven. “Aku akan memanggil dokter,” ucap Fiona saat melihat wajah pucat Steven.
Steven menggeleng pelan. “Tidak perlu. Aku hanya butuh istirahat."
“Kalau begitu kamu tunggu di sini.” Steven hanya diam sambil menatap Fiona yang sudah berlari keluar dari kamarnya.
Setelah beberapa saat Fiona masuk kembali ke kamar Steven dengan membawa nampan makanan dan sebuah baskom yang berisikan handuk kecil. “Steve bangun dulu,” ucap Fiona saat melihat Steven kembali memejamkan matanya.
Fiona mencoba membantu Steven untuk bangun dari tidurnya. Dia menyusun beberapa bantal untuk tempat Steven bersandar. “Kamu makan dulu. Setelah itu, aku kompres pake air hangat,” pinta Fiona saat melihat Steven tampak diam sambil terus memandangnya.
Fiona meraih piring yang dia bawa tadi. Beruntung dia membuat bubur ayam dan beberapa macam makanan lainnya untuk sarapan.
“Buka mulutmu, biar aku suapi,” ucap Fiona saat melihat wajah Steven yang tampak lemas dengan wajah memerah karena demam.
Steven hanya diam saja sambil membuka mulutnya, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Fiona. Fiona berusaha untuk mengabaikan rasa canggungnya saat Steven terus saja memandangi wajahnya tanpa berkata apa-apa.
Fiona dengan sabar menyuapi Steven. Setelah selesai menyuapi Steven, Fiona memberikan gelas yang berisi air putih pada Steven.
“Minumlah, setelah itu berbaringlah. Aku akan mengambil air hangat dulu." Fiona lalu berjalan menuju kamar mandi sambil membawa baskom tadi. Steven tidak menjawab. Dia hanya memperhatikan setiap gerak-gerik Fiona.
Beberapa saat kemudian, Fiona berjalan kembali ke arah Steven saat melihat Steven sudah berbaring lagi sambil memejamkan matanya. Fiona lalu duduk di tepi tempat tidur setelah itu memegang kembali dahi Steven.
“Kenapa kau bisa demam?”
Steven membuka matanya. “Aku hanya kelelahan.”
Fiona menghembuskan napas pelan. "Baiklah. Tidurlah." Fiona kembali mengompres dahi Steven. Dia terus mengompres selama 15 menit.
Fiona memegang dahi Steven lagi. “Apa ada obat yang biasa kamu konsumsi jika sedang demam?” tanya Fiona saat merasakan kalau dahi Steven masih panas.
“Ambil saja di kotak obat yang ada di lemari itu. Laci paling atas sebelah kiri," tunjuk Steven pada lemari yang berada di dekat jendela kamarnya.
Fiona langsung berjalan untuk mengambil kotak obat yang dimaksud Steven. Setelah itu, dia kembali duduk di tepi ranjang.
“Itu obat yang disiapkan oleh dokter pribadiku untuk berjaga-jaga kalau aku tiba-tiba sakit,” ucap Steven saat melihat tatapan ragu Fiona saat memegang plastik obat yang berlabelkan obat demam.
Fiona mengangguk, membuka plastiknya lalu memberikannya obat dan air minum pada Steven. “Terima kasih,” ucap Steven sambil memberikan gelasnya pada Fiona setelah dia meminum obatnya.
Fiona mengangguk dan berdiri mengangkat nampan dan baskom. “Aku akan membawa ini dulu ke dapur. Kamu isirahatlah dulu.” Fiona berbalik berjalan meninggalkan kamar Steven.
Fiona masuk lagi ke kamar Steven setelah dari dapur. Fiona duduk di tepi tempat tidur dan kembali mengecek dahi Steven. “Masih panas. Mungkin obatnya belum bekerja,” gumam Fiona pelan saat melihat Steven tampak sudah tertidur.
Fiona memandang wajah Steven sebentar. Dia bertanya dalam hati bagaimana bisa Steven tiba-tiba demam. Padahal semalam dia tampak baik-baik saja. Steven perlahan membuka sedikit matanya saat Fiona akan beranjak dari tempat duduknya.
"Jangan pergi," ucap Steven dengan suara pelan.
Fiona menoleh saat tangannya ditarik oleh Steven. "Aku tidak akan pergi. Aku hanya ingin ke kamar mandi sebentar," ucap Fiona sambil melepaskan tangannya dari Steven.
Saat Fiona akan melangkah, tiba-tiba tangannya ditarik kuat oleh Steven sehingga tubuh Fiona menimpa tubuh Steven.
Mata Fiona terbelalak saat merasa tubuhnya di peluk erat oleh Steven. Jantungnya berdebar kencang. Wajah tepat berada di depan dada Steven. "Steve lepaskan aku." Fiona berusaha menjauhkan tubuhnya dari Steven.
"Jangan pergi Gwen, jangan tinggalkan aku," ucap Steven tanpa sadar. Matanya setengah tertutup.
Fiona mengangkat wajahnya saat mendengar nama asing yang keluar dari mulut Steven. Steven terlihat memejamkan matanya sambil memeluk erat tubuhnya.
Alis Fiona menyatu. "Gwen? Siapa dia? Apakah pacar Steven? Apa dia mengira kalau aku ini Gwen? Sepertinya dia sedang mengigau," gumam Fiona dalam hati.
"Steve, lepaskan aku." Fiona berusaha melepaskan dirinya, tetapi ditahan oleh Steven.
"Temani aku," Steven menatap sendu pada Fiona.
"Lihat aku baik-baik, Steven! Aku bukan Gwen, aku Fiona," ucap Fiona dengan wajah kesal.
Dia merasa emosi saat Steven terus saja mengira kalau dirinya adalah Gwen. Entah mengapa dadanya tiba-tiba panas saat Steven menyebut wanita lain saat sedang memeluk tubuhnya.
Mata Steven langsung terbuka saat mendengar suara tinggi Fiona. "Apa maksudmu, Fio?" tanya Steven dengan alis menyatu.
Fiona langsung bangun dan berdiri di sisi tempat tidur tanpa menjawab perkataan Steven. Fiona menoleh sesaat pada Steven. "Dengar Steve. Jangan pernah memelukku lagi, apalagi sambil menyebut nama wanita lain," ucap Fiona dingin.
Steven bangun dari tidurnya saat melihat ekspresi Fiona tampak marah dengannya. "Tunggu. Apa maksudmu?" tanya Steven sambil meraih tangan Fiona.
"Lepaskan aku. Aku sudah tidak mau tinggal lagi di sini. Kamu bisa meminta Gwen untuk menjagamu," ucap Fiona sambil menghempaskan tangannya.
Seketika Steven langsung mengerti kenapa Fiona tiba-tiba saja marah. Dia menduga kalau dirinya salah menyebutkan nama Gwen tanpa sadar.
Steven meraih tangan Fiona lagi. "Kamu mau kemana? Apa kamu akan pergi ke rumah pria itu??" tanya Steven dengan tinggi.
Fiona menoleh pada Steven. "Bukan urusanmu. Lebih baik urus saja pacarmu!" Fiona berusaha untuk melangkah lagi. Fiona sangat marah kali ini.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi ke rumah laki-laki itu. Kamu harus tetap di sini." Steven menarik Fiona ke arah tempat tidur.
"Lepaskan aku Steve. Biarkan aku pergi." Fiona terus saja memberontak.
Steven berhenti tepat di samping tempat tidur lalu membungkam mulut Fiona dengan bibirnya.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Wkwkwk Fiona keren,Mambalik kan keadaan ke Steven sendiri,Steven marah Fio dekat dgn Leon tapi dia sendiri??!!😏😏
2023-05-11
0
Qaisaa Nazarudin
Ehem ehem Ternyata nelum move on nih??
2023-05-11
0
Edah J
Apa Gwen ada dimasa lalunya Steven?
semoga sj Fiona bukan sebagai pelampiasan sj
2022-05-05
0