“Besok kau bisa tidur di kamar tamu, malam ini kau masih harus tidur di sini karena kamar tamu tidak pernah digunakan, kemungkinan ada banyak debu di sana. Besok aku akan meminta orang untuk membersikannya untukmu,” ujar Steven yang sedang memandangi layar ponselnya.
“Tapiii....”
Steven mengangkat wajahnya. “Kau bisa tidur di tempat tidur, sementara aku akan tidur di sofa panjang itu,” tunjuk Steven pada sofa berwarna coklat yang berada tepat di depan tempat tidur.
Fiona menggeleng cepat. “Tidaak. Aku yang akan tidur di sana Bagaimanapun ini adalah kamarmu dan aku hanyalah tamu di sini. Aku tidak akan membiarkanmu tidur di sofa karena itu akan membuatmu tidak nyaman.”
“Justru karena kamu tamu, aku tidak akan membiarkan tamuku tidur di sofa apalagi kau wanita. Aku diajarkan untuk selalu menghargai wanita,” ujar Steven dengan wajah serius.
“Begini saja, kita akan tidur di kasur bersama. Aku akan membuat pembatas di tengah. Kita hanya perlu menjaga jarak saat tidur,” saran Fiona memberi solusi.
“Baiklah,” ujar Steven singkat. Dia berjalan ke lemari untuk mengambil selimut dan bantal tambahan untuk Fiona.
Fiona kemudian berjalan ke tempat tidur. “Sepertinya ini sudah cukup,” ucap Fiona saat sudah selesai membuat pembatas di tengah menggunakan beberapa bantal dan guling.
Steven menghampiri Fiona. “Kau bisa menggunakan ini.“ Steven memberikan bantal dan selimut yang diambilnya tadi.
Fiona mengangkat wajahnya. “Terima kasih Steve,” ucap Fiona saat dia menerima bantal dan selimut itu.
“Tidurlah. Aku masih harus mengerjakan sesuatu.” Steven berdiri lalu mengambil laptop di tas kerjanya.
“Apa kau terbiasa bekerja sampai larut malam?” tanya Fiona saat melihat Steven sedang menatap fokus layar laptopnya yang sudah menyala.
“Aku insomnia, jadi biasanya aku mengerjakan urusan kantor selagi aku tidak bisa tidur,” jawab Steven sambil terus memandangi layar laptopnya.
“Apa kau sudah pernah berkonsultasi dengan dokter? Bagamanapun ini tidak baik untuk kesehatanmu jika terus seperti itu,” ujar Fiona sambil naik ke atas tempat tidur.
“Sudah, dokter memberikan aku obat tidur, tapi aku juga tidak bisa selalu mengkonsumsi obat itu. Aku tidak mau ketergantungan.”
“Kalau begitu kau bisa berbaring di sini denganku, kita bisa mengobrol sampai kau bisa tertidur,” saran Fiona.
Steven menoleh sejenak pada Fiona yang tampak sedang bersandar di tempat tidur. “Kau bisa tidur duluan, tidak perlu memperdulikan aku. Aku sudah terbiasa begini.”
“Kalau begitu, aku akan menunggumu sampai kau mulai mengantuk.”
Steven menoleh pada Fiona lagi. “Kau bisa sakit jika ikut begadang bersamaku.” Steven menatap Fiona yang tampak sedang memandangnya juga.
Fiona mengalihkan pandangannya saat mata mereka tidak sengaja bertatapan. “Aku sudah terlalu banyak tidur tadi, jadi mataku juga belum mengantuk lagi pula aku tidak biasa tidur dengan lampu menyala,” jelas Fiona.
“Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat,” ucap Steven sibuk mengetik sambil terus menatap layar di depannya tanpa menghiraukan tatapan Fiona.
“Steve, apa kau tinggal di sini sendiri?” tanya Fiona spontan. Dia penasaran karena tampaknya mansion ini jarang dihuni.
“Aku jarang ke sini, selama ini aku tinggal di mansion ibuku,” jelas Steven tanpa menoleh ke Fiona.
“Apakah ibumu tidak mencarimu jika kau tidur di sini?" tanya Fiona dengan wajah heran.
“Tidak, aku sudah mengatakan tidak bisa pulang semetara waktu. Sebenarnya aku dan ibuku tidak sedekat dulu. Dia berubah semenjak ayahku meninggal. Semenjak itu, dia selalu mengatur hidupku. Aku jadi lebih sering selisih paham denganya. Segala sesuatu yang kuperbuat harus dilaporkan kepadanya. Mungkin dia lupa, kalau aku sudah dewasa.”
“Ternyata kita tidak jauh berbeda. Aku juga sepertimu. Tidak begitu dekat dengan ibuku,” ucap Fiona sambil tersenyum miris. “Apa kau terpaksa tinggal di sini karena aku?” tanya Fiona sambil memangku bantal yang ada di depannya.
“Aku tidak bisa membawamu ke mansion orang tuaku karena takut ibuku akan salah paham denganmu, jadi aku membawamu ke sini."
“Bukan itu maksudku Steve. Maksudku adalah kau jadi repot harus tinggal di sini karena harus menampungku sementara waktu. Kau harus berjauhan dengan ibumu karena aku. Padahal kau tidak punya kewajiban membantuku atas apa yang sedang menimpaku,” jelas Fiona saat dia merasa kalau Steven salah paham dengan pertanyaannya.
Steven menghentikan pekerjaannya lalu menatap tajam pada Fiona. “Apa kau selalu merasa tertekan saat aku membantumu karena kita tidak saling mengenal sebelumnya?”
“Kalau salah paham Steve. Aku merasa hanya bisa menjadi bebanmu saja jika aku terus tinggal di sini.”
“Sudah kukatakan, aku tidak keberatan membantumu. Jika kau tidak ingin aku salah paham, berhenti membahas masalah ini.” Steven melirik tajam Fiona sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke laptop.
“Maaf Steve,” ujar Fiona menunduk.
Steven mematikan laptopnya karena melihat perubahan wajah Fiona. Dia meletakkan laptopnya di atas nakas samping tempat tidur kemudian mematikan lampu kamarnya dan menyisakan lampu tidur yang masih menyala.
“Tidurlah. Ini sudah malam.”
Fiona ikut berbaring setelah melihat Steven merebahkan tubuhnya membelakangi Fiona.
“Selamat malam Steve,” ucap Fiona sebelum dia memejamkan mata. Dia tidur menghadap ke punggung Steven.
Steven tidak menanggapi ucapan Fiona. Dia hanya diam sambil berpikir. Setelah mencoba memejamkan matanya beberapa saat, Fiona tampak mulai terlelap.
Steven mencoba membalikkan tubuhnya dengan perlahan setelah merasa tidak ada pergerakan lagi dari Fiona. Saat Steven sudah berbalik, dia langsung bisa melihat wajah Fiona yang sudah tertidur pulas. Steven memandang wajah polos Fiona yang tampak cantik saat tertidur.
Steven terus merasakan perasaan aneh saat memandang wajah Fiona. Dia kemudian memperhatikan sekilas tubuh ringkih Fiona. Walaupun dia tampak tegar di depannya, tetapi Steven tahu kalau wanita di depannya ini memendam banyak luka di dalam hatinya. Steven merasa hatinya ikut sakit saat melihat Fiona menangis kemarin.
Puas memandangi wajah Fiona, Steven mencoba memejamkan matanya. Ada perasaan nyaman saat tidur bersama Fiona. Tidak butuh lama dia ikut terlelap.
Tengah malam Steven terbangun saat merasa sedikit sulit bernapas. Dia membuka matanya dan terkejut saat melihat wajahnya dengan Fiona berjarak sangat dekat. Fiona juga terlihat memeluk tubuhnya. Bantal yang semula dijadikan batas terlihat sudah berpindah ke lantai kamar Steven.
Steven bahkan bisa merasakan hembusan napas Fiona. Dia merasa wajahnya menjadi panas. Dia menjauhkan sedikit wajahnya, tiba-tiba pandangannya terfokus pada bibir tipis Fiona yang berwarna sedikit merah. Berbagai macam pikiran muncul di kepala Steven.
Steven berusaha menepisnya, lagi-lagi Fiona memancing hasratnya. Steven mengusap kasar wajahnya dan mencoba menjauhkan tubuh Fiona darinya. Dia takut tidak bisa mengendalikan dirinya jika berdekatan terus dengan Fiona.
Sial, wanita ini sudah beberapa kali membuatku tersiksa. Dengan santainya dia tidur sambil memelukku tanpa memperdulikan aku. Dia sungguh berbahaya. Jangan salahkan aku kalau aku tidak bisa menahan diri nanti. Kau yang sudah memancingku terlebih dahulu, Fio.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Edah J
Sabarrr dan tahan Steven
jln keluar nya adalah kmr mandi 😁✌️
2022-05-05
0