Melihat ada pergerakan dari ranjang Fiona, Steven bergegas menghampirinya. "Kau sudah sadar?" tanya Steven ketika melihat mata Fiona yang terbuka.
Fiona yang merasa asing dengan suara itu, berusaha menoleh ke sumber suara. "Tuan, kenapa anda masih di sini? Bukankah tadi kau sudah pergi?" Fiona mencoba untuk bangun dari tidurnya dengan gerakan pelan. Dia lalu duduk bersandar dengan bantal.
"Aku hanya ingin memastikan keadaanmu tadi," jelas Steven dengan pelan.
Erick melirik bosnya saat dia sudah selesai makan. Dia hanya memperhatikan bosnya tanpa berkata apapun. Erick masih bingung dengan sikap bosnya yang terlihat khawatir dengan keadaan Fiona.
"Kenapa aku bisa di sini? Dan bagaimana bisa bajuku sudah diganti?" tanya Fiona dengan heran seraya menunduk menatap pakaian yang melekat pada tubuhnya.
Steven melirik baju Fiona sejenak, lalu beralih menatap Fiona dengan wajah tenang. "Kau pingsan saat di ruangan ICU. Baju itu adalah pakaian yang asistenku beli. Aku meminta perawat yang menggantikan bajumu."
Erick ternganga melihat bosnya dengan mudahnya menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Fiona. Biasanya Steven jarang sekali memberikan penjelasan panjang lebar pada orang lain. Dia terbiasa berbicara singkat dan irit sekali dalam berbicara, terlebih lagi dengan orang yang baru dikenalnya.
Fiona mengerutkan keningnya. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Atau kita pernah saling kenal?" tanya Fiona lagi.
Alis Steven naik sebelah. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku hanya tidak habis pikir, kita tidak saling mengenal, tapi Tuan begitu baik padaku, bahkan Tuan sudah sudah 2 kali menolongku hari ini," jelas Fiona pelan.
Terlihat Steven sedikit terganggu dengan ucapan Fiona. "Apakah kita harus saling mengenal dulu, baru aku bisa menolongmu?” tanya Steven dengan wajah datar.
Fiona langsung menggeleng, "Bukan itu maksudku Tuan. Aku hanya merasa beruntung bertemu dengan orang sebaik anda. Tuan tidak mengenalku, tapi begitu baik terhadapku. Aku ucapkan banyak terima kasih karena sudah menolongku hari ini. Kelak, aku akan membalas kebaikanmu."
"Kau jangan berpikir terlalu jauh. Aku hanya berniat menolongmu, tidak mengharapkan yang lain. Kau tidak perlu membalasnya. Aku tidak mempunyai maksud apa-apa terhadapmu," ucap Steven tanpa ekspresi.
Ini kalimat terpanjang yang pernah Erick dengar dari mulut Steven ketika mendengarnya berbicara dengab orang yang tidak dikenalnya.
"Sekali lagi terima kasih Tuan," ucap Fiona tulus.
"Kau harus makan. Aku sudah meminta Erick untuk membawa makanan untukmu," jelas Steven.
"Aku baik-baik saja Tuan. Aku ingin menemui ayahku dulu. Aku bisa makan nanti." Fiona menggerakkan tubuhnya berencana turun dari ranjang pasien.
Steven menahan lengan Fiona dengan cepat. "Apa kau berencana mati dengan cepat menyusul ayahmu?"
Tubuh Fiona bergetar dab matanya langsung berkaca-kaca saat Steven menyinggung perihal ayahnya. "Apa maksud Tuan?"
"Dokter mengatakan kondisimu lemah karena belum makan dan terlalu lama terkena hujan. Kau bisa saja pingsan lagi jika kau tidak makan dulu. Itu akan memperburuk keadaanmu," ujar Steven saat melihat air mata Fiona menggenang di matanya.
Fiona melepaskan tangan Steven darinya. "Aku bisa mengurus tubuhku sendiri Tuan." Fiona turun dari ranjang pasien. Dia tidak memperdulikan sama sekali kata-kata Steven.
Steven memejamkan kedua matanya sesaat melihat sikap keras kepala Fiona. Dia belum pernah sekalipun membujuk seseorang seperti yang dia lakukan pada Fiona saat ini. Setelah dia bisa menguasai diri, dia berdiri lalu berjalan keluar dari ruangannya. Steven menyusul Fiona diikuti Erick di belakangnya.
Fiona berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan ICU. "Kemana jasad ayahku suster?" tanya Fiona kepada perawat yang ada di ICU, setelah dia tidak melihat tubuh ayahnya di tempat tidur tadi.
Perawat itu mendongakkan kepala menatap ke arah Fiona. "Ayahmu sudah dipindahkan ke ruang jenasah. Kau bisa ke sana jika ingin melihatnya."
Steven mengejar Fiona saat gadis itu memutar arah menuju kamar jenasah. Dia berjalan dengan cepat. Fiona menghentikkan langkahnya di depan kamar jenasah. Terlihat di dalam sudah ada ibu dan kakaknya yang sedang menangis di samping tempat tidur ayahnya.
Wajah Fiona kini dibanjiri air mata lagi. Dengan suara bergetar dia berkata, "Ma... Kak Cindy." Fiona melangkah pelan mendekati mereka.
Seketika orang yang dipanggil menoleh ke arah Fiona. Ibunya maju mendekati Fiona dengan wajah emosi. "Dasar anak pembawa sial. Pergi kamu dari sini..!!" teriak ibunya mengusir Fiona. Cindy tampak hanya diam.
Tubuh Fiona terjatuh akibat dorongan kuat ibunya. Steven yang melihat adegan itu langsung terperanjat. Bagaimana bisa seorang ibu dengan tega mendorong dan memaki anaknya, disaat suasan berduka seperti ini.
Steven maju dan membantu Fiona untuk bangun. "Maaa, apa salahku?" tanya Fiona berjalan mendekati ibunya lagi. Steven hanya menatap Fiona yang sudah berjalan mendekati ibunya dan menjauh darinya.
"Kalau bukan karenamu. Ayahmu tidak akan meninggal. Kau itu hanya membawa sial untuk keluarga kita!" seru ibu Fiona marah. Matanya sudah memerah. Wajahnya juga sudah basah karena air mata. "Aku menyesal pernah membesarkanmu." Matanya menyala menatap Fiona.
"Maaa, aku juga sangat sedih sama seperti kalian. Dia itu ayahku. Aku juga terpukul dengan kepergiannya, tapi itu bukan salahku Ma. Bukan aku yang membuat papa pergi," isak Fiona.
"Pergi kau dari sini..! Aku tidak mau melihatmu lagi!" seru ibunya dengan suara lantang.
Fiona berlutut dengan air mata masih mengalir di pipinya. Fiona meraih dan memeluk kaki ibunya dengan jemari gemetar hebat. Dia melebarkan mata dan mengangkat wajah pucatnya lalu berkata dengan suara lirih, "Aku mohon Ma, jangan usir aku. Aku hanya ingin melihat papa untuk terakhir kalinya sebelum papa dimakamkan."
Ibu Fiona melepaskan kakinya dari dekapan Fiona. "Lepaskan! Aku tidak mau kau menampakkan wajahmu lagi di sini. Pergi kau dari sini!" Ibu Fiona kembali mendorongnya lagi.
"Cukup..! Apa begini perlakuan seorang ibu, terhadap anaknya yang baru saja kehilangan ayahnya?" ujar Steven dengan ekspresi mengeras.
Dia membantu Fiona untuk berdiri lalu memegang kedua lengannya sambil menahan tubuh lemah Fiona. Erick hanya bisa menatap dari kejauhan perdebatan mereka tanpa mau ikut campur.
Tatapan ibu Fiona beralih pada laki-laki yang berada di samping Fiona. "Memangnya kau siapa? Berani sekali ikut campur masalah keluargaku!" seru ibu Fiona dengan wajah menantang.
"Maa, ini bukan salahnya. Mama tolong jangan libatkan dia. Ini salahku. Salahkan saja aku."
Fiona memegang tangan ibunya. Dia berdiri tepat di depan tubuh Steven. Dia berniat untuk melindungi Steven dari amarah ibunya.
Ibu Fiona menghempaskan tangan Fiona. "Jangan pernah kau sentuh aku lagi..! Sekarang kau lebih baik keluar dari sini..! Atau aku akan menyeret paksa kau agar keluar dari sini!" ujar ibu Fiona menggebu-gebu.
"Maa... Aku hanya ingin melihat papa sebentar. Setelah itu, aku akan keluar." Fiona tetap berusaha untuk memohon pada ibunya. Air matanya masih mengalir deras pelupuk matanya.
"Maa, biarkan Fiona tetap di sini. Kasihanilah dia." Cindy akhirnya membuka suara setelah sekian lama terdiam dan hanya melihat perdebatan mama dan adiknya.
Ibu Fiona menoleh ke Cindy. "Kamu tidak usah belain anak pembawa sial ini!" Ibu Fiona memarahi Cindy.
Ibu Fiona maju lalu menyeret tangan Fiona dengan paksa. Fiona hanya diam ketika ibunya menarik paksa dirinya. Dia sudah tidak mempunyai tenaga untuk melawan karena tubuhnya masih lemah.
"Berhenti!" seru Steven dengan suara berat. Dia merasa geram saat melihat Fiona diseret secara paksa oleh ibunya sendiri. Langkahnya bertambah cepat saat perkataannya tidak dihiraukan oleh ibu Fiona. "Apa kau tidak dengar saat aku bilang berhenti?" ujar Steven sambil mencengkram tangan ibu Fiona untuk menghentikan langkah wanita itu menyeret Fiona dengan kasar.
Ibu Fiona mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman kuat tangan Steven. "Lepaskan tanganku!" Ibu Fiona memandang marah pada Steven.
Steven menyeringai. "Kenapa aku harus mendengarkanmu saat kau tidak menghiraukan kata-kataku tadi?"
Ibu Fiona menatap nyalang pada Steven. "Kau hanya orang luar. Kau tidak berhak untuk ikut campur urusanku dengan anak pembawa sial ini!" Emosi Ibu Fiona tersulu karena laki-laki tersebut masih saja ikut campur masalah keluarganya.
Steven menampilkan wajah serius dan sorot mata tajam mendengar ucapan ibu Fiona. "Selama masih menyangkut Fiona, itu akan menjadi urusanku juga. Jika kau bersikap baik padanya, aku tidak akan ikut campur masalah kalian." Steven lalu menghempaskan tangan mama Fiona.
Mama Fiona tertawa mengejek, "Jadi, kau adalah teman anak pembawa sial ini?" tunjuknya pada Fiona dengan wajah mencemooh.
"Bukan, aku adalah kekasihnya. Aku bukanlah orang yang sabar. Jadi, lebih baik hentikan tindakan kasarmu, sebelum kau menyesal karena sudah berurusan denganku."
Bersambung...
Bantu berikan dukungan untuk author dengan cara Komen, Vote, Favorite dan Like setiap bab ya. Kasih hadiah juga boleh..Dukungan kalian sangat berarti bagi Author. Terima Kasih..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Dayu Mayun
next makin seru
2022-07-08
0
Edah J
Apakah ini cinta pada pandangan pertama?🤔
2022-05-05
0