NovelToon NovelToon

Goresan Luka di Hati Fiona

Duka Fiona

Derasnya hujan tidak menghalangi Fiona untuk terus berlari keluar rumah untuk mencari taksi. Dengan baju kaos dan jeans panjang, tanpa alas kaki, terus mencoba berjalan menuju jalan raya. 

Pipi yang basah, entah karena hujan atau air mata, yang pasti wajahnya terlihat pucat pasi. 

Baru saja dia mendapatkan kabar dari pihak rumah sakit jika papanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, dan sekarang jenasahnya, sudah berasa di rumah sakit.

Ibu dan kakaknya sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang berlibur keluar kota tanpa mengajaknya. Kemungkinan besar, mereka belum mengetahui berita tentang papanya. 

Dengan panik dan linglung, Fiona mencoba menghentikan mobil. Sudah 15 menit dia berdiri, tapi tidak ada satupun yang mau berhenti. Mungkin karena kondisi Fiona yang sudah basah kuyup, tidak ada yang mau membuat mobil mereka basah. Dengan pikiran kacau, Fiona nekat menghadang sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam yang sedang melaju ke arahnya. 

"Ciiiitttsss..!!" Terdengar suara decitan ban mobil yang mengerem secara mendadak.

"Ada apa? Kenapa kau mengerem mendadak?" tanya sosok pria yang duduk di belakang dengan tubuh yang bersandar dan mata yang masih terpejam. Pengemudi itu menoleh ke belakang dengan wajah panik. "Maaf Tuan, ada seorang gadis yang menghadang mobil kita." 

Sosok pria yang duduk di belakang seketika membuka matanya kemudian duduk tegak. "Apa dia sudah gila? Sedang apa dia di situ dengan keadaan basah kuyup?" 

Fiona berjalan menghampiri mobil itu, lalu mengetuk kaca mobil pengemudinya. "Tuan, tolong beri saya tumpangan," mohon Fiona dengan suara bergetar sambil terus terisak. 

Sang pengemudi menurunkan kaca sedikit. "Maaf Nona, silahkan cari mobil yang lain. Saya tidak bisa memberi tumpangan," teriak pengemudi mobil itu karena derasnya hujan membuatnya harus meninggikan suara agar terdengar jelas. 

Fiona terus saja mengetuk. "Tolong Tuan..! Saya sudah mencoba untuk menghentikan mobil lain, tapi tidak ada satupun yang berhenti. Saya mohon, tolong saya Tuan. Kali ini saja," ujar Fiona memohon dengan wajah sedih dan memelas.

"Maaf Nona, tapi saya sedang terburu-buru," tolak sang pengemudi lagi.

"Saya mohon. Sekali ini saja. Saya harus menemui ayah saya di rumah sakit," terangnya lagi seraya terus menangis. 

"Biarkan dia naik." Terdengar suara berat dari kursi belakang.

Seketika pengemudi itu langsung menoleh ke belakang. "Apa Tuan yakin akan memberi tumpangan kepadanya?" tanya pengemudi di depan. Dia ingin memastikan lagi apa yang dia dengar tadi.

"Apa kau akan membiarkan dia mati kedinginan di sini?" tanya sosok pria itu dengan suara berat. 

"Maaf Tuan." Pria itu lalu menoleh pada Fiona.

"Naiklah Nona, tuanku sudah mengijinkan untuk memberimu tumpangan." Fiona tersenyum senang, lalu membungkukkan tubuhnya beberapa kali, tanda dia sangat berterima kasih. 

"Suruh dia duduk di belakang," perintah pria itu saat melihat Fiona membuka pintu depan.

Fiona yang akan duduk di depan, seketika gerakannya terhenti saat sang supir berkata, "Nona kau bisa duduk di belakang." Fiona tampak ragu. Dia melihat ada sosok pria yang duduk di belakang. Sosok pria tampan dengan bibir tipis, mata tajam, dan rahang tegas. 

Melihat Fiona yang tampak diam, pria itu berkata, "Apa kau akan terus berdiri mematung di situ?"

Suara berat itu membuyarkan lamunan Fiona. "Maaf," ucap Fiona sambil berlari membuka pintu belakang dan masuk ke dalam mobil. 

Fiona tampak canggung duduk bersebelahan dengan pria tersebut, apalagi saat ini tubuhnya basah. Dia takut akan membuat pria itu ikut basah. Dia juga takut mengotori mobilnya. 

Sosok pria itu melirik Fiona yang sedang meremas kedua tangannya sambil melemparkan pandangannya keluar jendela. Badan ramping, kulit putih, rambut sebahu, wajah pucat, mata sembab, hidung memerah, dengan baju basah, terlihat sangat menyedihkan. Meski penampilannya seperti itu, tetap tidak bisa menutupi kecantikan alaminya. 

"Apa yang membuatnya berlari keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki dan dengan nekat menghadang mobilku?" gumam pria tersebut di dalam hati seraya melirik pada Fiona.

"Nona, mau diantar ke mana?" tanya sang supir yang terus menatap ke depan. 

Fiona mengalihkan pandangannya ke depan menatap pria yang sedang mengemudikan mobil yang ia tumpangi. "Tolong antar saya ke Rumah Sakit Elisabeth, Tuan."

Sang supir mengangguk. "Baik,” ucap sang supir. 

Tidak ada lagi obrolan selama dalam perjalanan ke rumah sakit. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan Fiona. Mobil baru saja tiba di pelataran rumah sakit.

"Nona sudah sampai," ujar sang sopir membuyarkan lamunan Fiona. 

"Baik, terima kasih atas tumpangannya," ucap Fiona pada sang supir lalu beralih menatap pria yang duduk di sampingnya tadi. "Tuan, terima kasih atas kebaikanmu hari ini. Aku janji akan membalasnya nanti. Kau bisa mencariku di Clover Hill Residence. Aku tinggal di sana." Fiona bergegas menutup pintu mobil tanpa menunggu respon dari pria itu. Dia berjalan dengan cepat menuju ruang ICU. 

Mobil itu tidak langsung melaju, sosok pria di dalam mobil itu terus memandangi tubuh Fiona yang sudah terlihat jauh. "Kau tunggu aku di sini. Aku akan segera kembali," ucap pria itu merapikan jasnya lalu membuka pintu mobil dan berjalan masuk rumah sakit. 

Fiona berjalan gontai saat melihat dari kejauhan tubuh kaku ayahnya. Air mata yang semula sudah berhenti, kini kembali keluar lagi. Fiona berlari dan memeluk tubuh ayahnya yang terlihat putih pucat. 

"Papaaaaaa..! Kenapa ini bisa terjadi? Jangan tinggal Fiona, Paa," teriak Fiona sambil memeluk jasad ayahnya. 

"Bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku lagi? Hanya papa yang selama ini peduli denganku. Tolong bangun Pa..! Banguun!" Fiona mengguncang tubuh ayahnya berapa kali. Ruangan yang semula hening, kini dipenuhi suara rintihan memilukan Fiona. 

"Bukankankah papa sangat ingin melihatku menikah? Baiklah, aku akan menikah, tapi papa harus bangun. Bagaimana aku bisa mewujudkannya permintaan Papa itu, kalau Papa saja tidak mau bangun. Fiona mohon bangun, Pa!"

Perawat yang melihat pemandangan memilukan itu hanya bisa diam sambil memandangi Fiona dengan tatapan iba. 

"Apa papa marah denganku karena aku selalu bertengkar dengan kakak dan mama? Aku berjanji tidak akan seperti itu lagi, asalkan papa bangun. Aku mohon bangun, Pa..!" 

Tanpa disadari Fiona, pria tadi yang menolongnya sedang berada di depan pintu memandanginya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Pria itu terlihat sedang berdiri mematung dengan tangan kanan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. 

Pria yang menolong Fiona adalah Steven Anthonio Pradigta. Dia adalah penerus dari perusahaan raksasa yang paling terkenal di negaranya. Di dunia bisnis, dia terkenal sebagai pengusaha bertangan dingin. Dia menjadi pengusaha sukses di usianya yang masih tergolong muda, bahkan keluarganya masuk peringkat satu keluarga paling disegani di negaranya.

Laki-laki yang mengemudikan mobilnya tadi adalah asisten pribadinya yang bernama Erick. Dia adalah orang kepercayaan Steven. Erick berperawakan tinggi sama dengan Steven dan memiliki wajah yang tampan. Dia berusia 27 tahun, lebih muda 3 tahun dari Steven.

"Tuan, ini yang anda minta tadi." Suara itu membuyarkan lamunan Steven yang sedari tadi menatap ke arah Fiona. Dia lalu menoleh ke kanan.

"Hhmmm," gumam Steven seraya mengambil barang yang dibawa oleh Erick tadi. 

"Apakah Tuan berencana untuk menunggu wanita itu? Sepertinya kita harus pergi Tuan karena sebentar lagi kita ada meeting dengan client," ujar Erick dengan hati-hati.

"Batalkan meetingnya. Atur ulang jadwalku hari ini," perintah Steven itu tanpa menoleh.

"Baik Tuan," ujar Erick mengangguk.

"Kau tunggulah di luar. Aku akan memanggilmu jika diperlukan," perintah Steven. 

"Baik Tuan." Erick membungkuk lalu pergi meninggalkannya. 

Steven masih diam sambil memandangi Fiona yang terlihat sudah lebih tenang dan tidak lagi mengeluarkan suara. Fiona hanya diam menatap tubuh ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir pipi putihnya. 

"Nona, bangun Nona."

Perawat yang berada di dalam ruang tersebut berusaha mengguncang tubuh Fiona. Dia melihat Fiona tampak terkulai lemas dan tidak bergerak di tempat tidur ayahnya. 

Steven melangkah cepat mendekati Fiona. "Apa yang terjadi?" tanyanya sedikit panik. 

Perawat itu mengalihkan pandangannya pada Steven. "Sepertinya Nona ini pingsan. Aku akan meminta bantuan perawat lain untuk memindahkannya ke IGD." Perawat itu mulai melangkah.

"Tidak perlu. Minggir... biar aku yang membawanya." Steven maju dan mengendongkan Fiona ala bridal style. Dia berjalan cepat menuju ruang IGD. 

Erick yang baru saja ingin masuk ke ruang ICU, terhenti saat melihat bosnya sedang menggedong Fiona dengan terburu-buru. Dia merasa heran dengan tingkah bosnnya. dia bahkan sempat mengucek matanya beberapa kali, untuk memastikan apa yang dilihatnya barusan.

Bersambung...

Menunggunya Sadar

Erick yang baru saja ingin masuk ke ruang ICU, terhenti saat melihat bosnya sedang menggedong Fiona dengan terburu-buru. Dia merasa heran dengan tingkah bosnnya. Dia bahkan sempat mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya barusan.

Erick terdiam selama beberapa saat. Dia sangat terkejut saat melihat bosnya menggendong wanita yang baru dikenalnya. Pasalnya, bosnya itu tidak pernah peduli dengan wanita manapun selama ini.

Bagaimana bisa wanita yang baru saja ditemui hari ini, bisa mendapatkan perlakuan istimewa dari bosnya tersebut. Dia dibuat heran akan tingkah bosnya hari ini. Setelah tadi membatalkan meeting, sekarang dia bahkan menggedong sendiri wanita itu. Bosnya bukan tipe orang yang suka membuang waktunya untuk orang yang tidak dikenalnya.

Setelah berada di IGD, Steven meletakkan tubuh Fiona dengan hati-hati di ranjang  pasien. Dia kemudian meminta dokter untuk segera memeriksanya. Dia berdiri tidak jauh dari Fiona dan sedang memperhatikan dokter yang memeriksa kondisi Fiona.

"Tuan, maaf mengganggu anda. Tadi nyonya besar menelpon dan menanyakan anda sedang berada di mana. Nyonya besar meminta Tuan menghubunginya segera." Erick berbicara pelan kepada Steven.

"Apa kau memberitahu ibuku kalau aku berada di sini?" Steven melirik Erick sekilas.

"Tidak Tuan. Saya hanya mengatakan kalau Tuan sedang ada keperluan penting, jadi tidak bisa diganggu untuk saat ini."

"Bagus, jangan beritahu apa-apa kepada ibuku. Aku yang akan mengurusnya nanti." Steven mengalihkan pandangannya lagi ke Fiona.

"Baik Tuan," ujar Erick sambil menganggukkan kepalanya, "saya menemukan ini tertinggal di ruangan ICU tadi Tuan." Erick menyerahkan paperbag yang diminta oleh Steven tadi.

Steven menoleh dan mengulurkan tangan mengambilnya. "Kau urus kepindahan wanita ini ke ruang perawatan. Di sini terlalu banyak orang, tidak nyaman untuknya berada di sini terlalu lama. Pesan ruang VVIP untuknya," perintah Steven kepada Erick.

Erick tecengang sesaat. Hari ini, tidak hentinya dia dibuat terkejut dengan sikap Steven. Dia menyadari ada yang aneh dengan bosnya hari ini. Apakah kepala bosnya habis terbentur? Atau bosnya salah minum obat? Entahlah, yang pastu banyak sekali keanehan yang ditunjukkan hari ini.

Steven yang menyadari tidak ada pergerakan dari Erick lalu menoleh kemudian berkata, "Kenapa kau masih di sini? Kau tidak dengar apa yang barusan aku katakan padamu?" 

Erick langsung sadar dari keterkejutannya. "Maaf Tuan, saya akan langsung mengurusnya." Erick berjalan cepat keluar dari ruang IGD.

"Apa kau keluarga pasien?" tanya dokter yang memeriksa Fiona tadi dan saat ini sedang berdiri di depan Steven. 

"Bukan," jawab Steven pendek. 

Alis dokter itu mengerut. "Baiklah kalau bagitu, aku akan meminta perawat menghubungi keluarganya." Dokter tersebut ingin berjalan tapi dihentikan oleh Steven. 

"Apakah ada hal yang serius dengannya?" tanya Steven. 

Dokter itu menatap Steven dengan heran. "Bukankah kau bilang bukan keluarganya? Aku tidak bisa memberitahumu kalau begitu."

Steven menghalangi dokter yang akan melewatinya. "Aku memang bukan keluarganya, tapi aku kekasihnya."

Dokter itu sedikit terkejut. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi. Dia hanya kelelahan, tubuhnya lemah, mungkin karena dia belum makan. Ditambah lagi pakaian basah yang terlalu lama melekat di tubuhnya. Sepetinya dia juga sedang terguncang. Sebagai kekasihnya, kau harus lebih memperhatikannya. Kau harusnya tidak membiarkan dia kehujanan dan memakai baju basah tanpa menggantinya," ujar dokter itu panjang lebar sambil menggelengkan kepalanya. 

"Maaf Dokter, aku akan lebih memperhatikannya," ucap Steven. 

Erick yang baru saja selesai mengurus administrasi kamar untuk Fiona, lagi-lagi dibuat tercengang saat mendengar Steven meminta maaf kepada dokter itu.

“Apa dokter itu tidak mengenal Steven? Apa dia sudah gila beraninya mengomeli bosku? Kalau dia tahu siapa sebenarnya bosku, pasti dia akan gemetaran dengan wajah pucat," gumam Erick di dalam hati.

Erick lalu berjalan mendekati bosnya. "Tuan, saya sudah mengurus kamar untuk nona ini," ujar Erick.

Steven menoleh sejenak. "Minta perawat untuk memindahkannya sekarang juga dan minta perawat wanita untuk mengganti pakaian wanita itu dengan pakaian yang tadi kau bawa," perintah Steven cepat.

"Baik, Tuan." Erick berjalan meninggalkan Steven yang terlihat masih berdiri memandangi Fiona.

Setelah beberapa saat perawat pun datang dan segera memindahkan Fiona ke ruang perawatan diikuti oleh Steven dan Erick dari belakang.

Saat ini, mereka sedang berdiri di depan pintu ruangan VVIP milik Fiona, perawat sedang mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang baru saja dibeli oleh Erick.

Steven dan Erick menoleh ketika pintu terbuka. Seorang perawat baru saja keluar dari ruangan itu. "Sudah selesai Tuan, anda bisa masuk sekarang," ujar perawat itu sopan.

"Terima kasih," ucap Erick.

Perawat itu mengangguk kemudian berjalan meninggalkan ruangan Fiona. Steven sudah masuk terlebih dahulu tanpa memperdulikan Erick yang masih berdiri di depan pintu.

Steven duduk di kursi yang berada di samping tempat tidur Fiona. Dia hanya diam memandangi wajah Fiona yang terlihat pucat.

Erick memperhatikan gerak-gerik bosnya dari kejauhan. Dia tidak berani mendekat apalagi mengganggu bosnya. Dia memilih duduk di sofa menunggu perintah dari bosnya.

Lama Steven memandang wajah Fiona, tangannya mulai terulur ke wajah Fiona mencoba merapikan rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Dia baru bisa memperhatikan dengan detail wajah wanita di depannya. Wajah polos, hidung mancung, alis tebal, bibir tipis yang terlihat pucat. Ada perasaan aneh yang dirasakan saat memandang wanita di depannya.

Steven mengalihkan pandangannya pada Erick. "Rick, cari tahu siapa keluarganya. Segera hubungi mereka." Erick langsung berdiri setelah mendengar perintah bosnya.

"Baik Tuan." Erick kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.

Steven memutuskan untuk berjalan ke sofa. Dia ingin merebahkan tubuhnya yang lelah, entah kenapa hari ini dia sama sekali tidak punya semangat. Setelah duduk, Steven menyandarkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. 

Ketika Erick kembali, dia melihat bosnya sedang memejamkan matanya. Dia berjalan dengan sangat pelan karea takut membangunkan bosnya. Dia kemudian duduk di sofa yang berada di samping Steven.

Setengah jam sudah dia menunggu bosnya. Terlihat tidak ada pergerakan sama sekali dari Steven sedari tadi. Erick hanya diam sambil memandang bosnya. Tidak biasanya bosnya itu bisa tidur saat seperti ini. Bahkan bosnya terbiasa lembur, dan hanya tidur beberapa jam saja.

"Apa kau sudah menghubungi keluarganya?"

Terdengar suara serak Steven yang seketika membuyarkan lamunan Erick dan langsubf mengubah posisi duduknya saat melihat Steven baru saja membuka matanya.

"Pihak rumah sakit sudah menghubungi keluargannya perihal kematian ayahnya. Saya juga sudah meminta perawat untuk memberitahu keluarganya bahwa nona Fiona dirawat di ruangan ini," terang Erick.

"Fiona? Apakah Fiona nama gadis itu?" Steven memandang Fiona dari kejauhan.

Erick mengangguk cepat. "Benar Tuan. Dia anak kedua dari keluarga Widhiawangsa."

Dahi Steven mengerut sesaat. "Widhiawangsa?"

"Benar Tuan," jawab Erick seraya mengangguk mantap.

"Apakah keluarganya sudah datang?" tanya Steven lagi.

"Belum Tuan. Mereka sedang dalam perjalanan dari luar kota. Kemungkinan memakan waktu 2 jam," jelas Erick.

Melihat Steven hanya diam, Erick berkata lagi, "Apakah Tuan akan pergi? Aku bisa meminta perawat untuk standby menjaga nona Fiona di sini."

Steven berdiri. "Tidak perlu, aku akan menjaganya. Kau pergilah membeli makan untuknya." Steven kembali duduk di kursi samping ranjang Fiona.

"Baik, Tuan." Erick segera meninggalkan ruangan tersebut.

*****

Steven menoleh saat Erick kembali masuk ke ruangan Fiona dengan membawa buah dan banyak makanan. Dia meletaklan di atas meja, kemudian kembali duduk di sofa.

"Tuan bisa makan terlebih dahulu sambil menunggu nona Fiona sadar. Ini sudah lewat dari jam makan siang," ujar Erick mengingatkan.

"Kau makanlah dulu, jangan sampai kau juga pingsan. Aku tidak mau direpotkan olehmu. Aku akan makan setelah dia sadar," ucap Steven yang sudah mengalihkan pandangannya ke Fiona.

"Baik Tuan." Erick mulai makan tanpa membantah bosnya.

Melihat ada pergerakan dari ranjang Fiona, Steven bergegas menghampirinya. "Kau sudah sadar?" tanya Steven ketika melihat mata Fiona yang terbuka.

Bersambung..

Bantu berikan dukungan untuk author dengan cara Komen, Vote, Favorite dan Like setiap bab ya. Kasih hadiah juga boleh..Dukungan kalian sangat berarti bagi Author. Terima Kasih..

Membelanya

Melihat ada pergerakan dari ranjang Fiona, Steven bergegas menghampirinya. "Kau sudah sadar?" tanya Steven ketika melihat mata Fiona yang terbuka.

Fiona yang merasa asing dengan suara itu, berusaha menoleh ke sumber suara. "Tuan, kenapa anda masih di sini? Bukankah tadi kau sudah pergi?" Fiona mencoba untuk bangun dari tidurnya dengan gerakan pelan. Dia lalu duduk bersandar dengan bantal. 

"Aku hanya ingin memastikan keadaanmu tadi," jelas Steven dengan pelan. 

Erick melirik bosnya saat dia sudah selesai makan. Dia hanya memperhatikan bosnya tanpa berkata apapun. Erick masih bingung dengan sikap bosnya yang terlihat khawatir dengan keadaan Fiona. 

"Kenapa aku bisa di sini? Dan bagaimana bisa bajuku sudah diganti?" tanya Fiona dengan heran seraya menunduk menatap pakaian yang melekat pada tubuhnya.

Steven melirik baju Fiona sejenak, lalu beralih menatap Fiona dengan wajah tenang. "Kau pingsan saat di ruangan ICU. Baju itu adalah pakaian yang asistenku beli. Aku meminta perawat yang menggantikan bajumu."

Erick ternganga melihat bosnya dengan mudahnya menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Fiona. Biasanya Steven jarang sekali memberikan penjelasan panjang lebar pada orang lain. Dia terbiasa berbicara singkat dan irit sekali dalam berbicara, terlebih lagi dengan orang yang baru dikenalnya.

Fiona mengerutkan keningnya. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Atau kita pernah saling kenal?" tanya Fiona lagi. 

Alis Steven naik sebelah. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Aku hanya tidak habis pikir, kita tidak saling mengenal, tapi Tuan begitu baik padaku, bahkan Tuan sudah sudah 2 kali menolongku hari ini," jelas Fiona pelan.

Terlihat Steven sedikit terganggu dengan ucapan Fiona. "Apakah kita harus saling mengenal dulu, baru aku bisa menolongmu?” tanya Steven dengan wajah datar.

Fiona langsung menggeleng, "Bukan itu maksudku Tuan. Aku hanya merasa beruntung bertemu dengan orang sebaik anda. Tuan tidak mengenalku, tapi begitu baik terhadapku. Aku ucapkan banyak terima kasih karena sudah menolongku hari ini. Kelak, aku akan membalas kebaikanmu."

"Kau jangan berpikir terlalu jauh. Aku hanya berniat menolongmu, tidak mengharapkan yang lain. Kau tidak perlu membalasnya. Aku tidak mempunyai maksud apa-apa terhadapmu," ucap Steven tanpa ekspresi. 

Ini kalimat terpanjang yang pernah Erick dengar dari mulut Steven ketika mendengarnya berbicara dengab orang yang tidak dikenalnya.

"Sekali lagi terima kasih Tuan," ucap Fiona tulus. 

"Kau harus makan. Aku sudah meminta Erick untuk membawa makanan untukmu," jelas Steven.

"Aku baik-baik saja Tuan. Aku ingin menemui ayahku dulu. Aku bisa makan nanti." Fiona menggerakkan tubuhnya berencana turun dari ranjang pasien. 

Steven menahan lengan Fiona dengan cepat. "Apa kau berencana mati dengan cepat menyusul ayahmu?"

Tubuh Fiona bergetar dab matanya langsung berkaca-kaca saat Steven menyinggung perihal ayahnya. "Apa maksud Tuan?" 

"Dokter mengatakan kondisimu lemah karena belum makan dan terlalu lama terkena hujan. Kau bisa saja pingsan lagi jika kau tidak makan dulu. Itu akan memperburuk keadaanmu," ujar Steven saat melihat air mata Fiona menggenang di matanya.

Fiona melepaskan tangan Steven darinya. "Aku bisa mengurus tubuhku sendiri Tuan." Fiona turun dari ranjang pasien. Dia tidak memperdulikan sama sekali kata-kata Steven. 

Steven memejamkan kedua matanya sesaat melihat sikap keras kepala Fiona. Dia belum pernah sekalipun membujuk seseorang seperti yang dia lakukan pada Fiona saat ini. Setelah dia bisa menguasai diri, dia berdiri lalu berjalan keluar dari ruangannya. Steven menyusul Fiona diikuti Erick di belakangnya.

Fiona berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan ICU. "Kemana jasad ayahku suster?" tanya Fiona kepada perawat yang ada di ICU, setelah dia tidak melihat tubuh ayahnya di tempat tidur tadi.

Perawat itu mendongakkan kepala menatap ke arah Fiona. "Ayahmu sudah dipindahkan ke ruang jenasah. Kau bisa ke sana jika ingin melihatnya."

Steven mengejar Fiona saat gadis itu memutar arah menuju kamar jenasah. Dia berjalan dengan cepat. Fiona menghentikkan langkahnya di depan kamar jenasah. Terlihat di dalam sudah ada ibu dan kakaknya yang sedang menangis di samping tempat tidur ayahnya. 

Wajah Fiona kini dibanjiri air mata lagi. Dengan suara bergetar dia berkata, "Ma... Kak Cindy." Fiona melangkah pelan mendekati mereka.

Seketika orang yang dipanggil menoleh ke arah Fiona. Ibunya maju mendekati Fiona dengan wajah emosi. "Dasar anak pembawa sial. Pergi kamu dari sini..!!" teriak ibunya mengusir Fiona. Cindy tampak hanya diam.

Tubuh Fiona terjatuh akibat dorongan kuat ibunya. Steven yang melihat adegan itu langsung terperanjat. Bagaimana bisa seorang ibu dengan tega mendorong dan memaki anaknya, disaat suasan berduka seperti ini.

Steven maju dan membantu Fiona untuk bangun. "Maaa, apa salahku?" tanya Fiona berjalan mendekati ibunya lagi. Steven hanya menatap Fiona yang sudah berjalan mendekati ibunya dan menjauh darinya.

"Kalau bukan karenamu. Ayahmu tidak akan meninggal. Kau itu hanya membawa sial untuk keluarga kita!" seru ibu Fiona marah. Matanya sudah memerah. Wajahnya juga sudah basah karena air mata. "Aku menyesal pernah membesarkanmu." Matanya menyala menatap Fiona.

"Maaa, aku juga sangat sedih sama seperti kalian. Dia itu ayahku. Aku juga terpukul dengan kepergiannya, tapi itu bukan salahku Ma. Bukan aku yang membuat papa pergi," isak Fiona.

"Pergi kau dari sini..! Aku tidak mau melihatmu lagi!" seru ibunya dengan suara lantang.

Fiona berlutut dengan air mata masih mengalir di pipinya. Fiona meraih dan memeluk kaki ibunya dengan jemari gemetar hebat. Dia melebarkan mata dan mengangkat wajah pucatnya lalu berkata dengan suara lirih, "Aku mohon Ma, jangan usir aku. Aku hanya ingin melihat papa untuk terakhir kalinya sebelum papa dimakamkan."

Ibu Fiona melepaskan kakinya dari dekapan Fiona. "Lepaskan! Aku tidak mau kau menampakkan wajahmu lagi di sini. Pergi kau dari sini!" Ibu Fiona kembali mendorongnya lagi.

"Cukup..! Apa begini perlakuan seorang ibu, terhadap anaknya yang baru saja kehilangan ayahnya?" ujar Steven dengan ekspresi mengeras.

Dia membantu Fiona untuk berdiri lalu memegang kedua lengannya sambil menahan tubuh lemah Fiona. Erick hanya bisa menatap dari kejauhan perdebatan mereka tanpa mau ikut campur. 

Tatapan ibu Fiona beralih pada laki-laki yang berada di samping Fiona. "Memangnya kau siapa? Berani sekali ikut campur masalah keluargaku!" seru ibu Fiona dengan wajah menantang.

"Maa, ini bukan salahnya. Mama tolong jangan libatkan dia. Ini salahku. Salahkan saja aku."

Fiona memegang tangan ibunya. Dia berdiri tepat di depan tubuh Steven. Dia berniat untuk melindungi Steven dari amarah ibunya.

Ibu Fiona menghempaskan tangan Fiona. "Jangan pernah kau sentuh aku lagi..! Sekarang kau lebih baik keluar dari sini..! Atau aku akan menyeret paksa kau agar keluar dari sini!" ujar ibu Fiona menggebu-gebu.

"Maa... Aku hanya ingin melihat papa sebentar. Setelah itu, aku akan keluar." Fiona tetap berusaha untuk memohon pada ibunya. Air matanya masih mengalir deras pelupuk matanya.

"Maa, biarkan Fiona tetap di sini. Kasihanilah dia." Cindy akhirnya membuka suara setelah sekian lama terdiam dan hanya melihat perdebatan mama dan adiknya.

Ibu Fiona menoleh ke Cindy. "Kamu tidak usah belain anak pembawa sial ini!" Ibu Fiona memarahi Cindy.

Ibu Fiona maju lalu menyeret tangan Fiona dengan paksa. Fiona hanya diam ketika ibunya menarik paksa dirinya. Dia sudah tidak mempunyai tenaga untuk melawan karena tubuhnya masih lemah.

"Berhenti!" seru Steven dengan suara berat. Dia merasa geram saat melihat Fiona diseret secara paksa oleh ibunya sendiri. Langkahnya bertambah cepat saat perkataannya tidak dihiraukan oleh ibu Fiona. "Apa kau tidak dengar saat aku bilang berhenti?" ujar Steven sambil mencengkram tangan ibu Fiona untuk menghentikan langkah wanita itu menyeret Fiona dengan kasar.

Ibu Fiona mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman kuat tangan Steven. "Lepaskan tanganku!" Ibu Fiona memandang marah pada Steven.  

Steven menyeringai. "Kenapa aku harus mendengarkanmu saat kau tidak menghiraukan kata-kataku tadi?"

Ibu Fiona menatap nyalang pada Steven. "Kau hanya orang luar. Kau tidak berhak untuk ikut campur urusanku dengan anak pembawa sial ini!" Emosi Ibu Fiona tersulu karena laki-laki tersebut masih saja ikut campur masalah keluarganya.

Steven menampilkan wajah serius dan sorot mata tajam mendengar ucapan ibu Fiona. "Selama masih menyangkut Fiona, itu akan menjadi urusanku juga. Jika kau bersikap baik padanya, aku tidak akan ikut campur masalah kalian." Steven lalu menghempaskan tangan mama Fiona.

Mama Fiona tertawa mengejek, "Jadi, kau adalah teman anak pembawa sial ini?" tunjuknya pada Fiona dengan wajah mencemooh.

"Bukan, aku adalah kekasihnya. Aku bukanlah orang yang sabar. Jadi, lebih baik hentikan tindakan kasarmu, sebelum kau menyesal karena sudah berurusan denganku."

Bersambung...

Bantu berikan dukungan untuk author dengan cara Komen, Vote, Favorite dan Like setiap bab ya. Kasih hadiah juga boleh..Dukungan kalian sangat berarti bagi Author. Terima Kasih..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!