Mama Fiona tertawa mengejek, "Jadi, kau adalah teman anak pembawa sial ini?" tunjuknya pada Fiona dengan wajah mencemooh.
"Bukan, aku adalah kekasihnya. Aku bukanlah orang yang sabar. Jadi, lebih baik hentikan tindakan kasarmu sebelum kau menyesal karena sudah berurusan denganku."
"Memangnya kau siapa? Kenapa aku harus takut denganmu? Bahkan kau masih anak kemarin sore," ujar ibu Fiona dengan nada meremehkan.
"Aku tidak perlu mengungkapkan identitasku. Takutnya jika kau tahu, jangankan bicara denganku, menatapku saja kau tidak akan berani," jawab Steven dengan nada arogan. Baru kali ada yang berani merendahkannya.
Melihat ada yang membela Fiona membuat ibu Fiona merasa kesal. "Kau memang sangat cocok dengannya. Kalian berdua sama-sama pembual dan tidak tahu malu. Aku minta kalian pergi sekarang atau aku minta petugas untuk menyeret kalian keluar!" ancam ibu Fiona.
"Maaa, tolong jangan begini Ma. Aku juga anak Mama. Kenapa Mama selalu bersikap seperti ini kepadaku? Apa salahku Ma?" tanya Fiona sambil menangis tersedu-sedu.
Ibu Fiona menatap marah kepada Fiona. "Salahmu adalah karena kau terlahir ke dunia ini."
"Apa maksud Mama? Kau yang melahirkan aku, kenapa kau menyalahkan aku Ma?" Fiona menatap sedih pada ibunya.
Ibu Fiona terlihat mulai tidak sabar. "Jangan banyak bicara. Lebih baik kau pergi. Aku tidak mau mendengar omong kosongmu lagi. Sekarang tinggalkan tempat ini!"
Ibu Fiona menarik paksa Fiona lalu mendorongnya dengan kuat sehingga membuat Fiona terjatuh ke lantai. Mama Fiona langsung membalikkan tubuhnya setelah mendorong Fiona tanpa menoleh sedikit pun.
Steven langsung berlari ke arah Fiona saat melihatnya tidak sadarkan diri. "Fiona..Bangun Fio." Steven menepuk-nepuk wajah Fiona mencoba menyadarkan gadis itu. "Fio... Aku bilang Bangun."
Melihat tidak ada reaksi apapun dari Fiona, Erick lalu berkata, "Tuan, lebih baik kita bawa nona Fiona ke ruangan perawatan. Aku akan menggendong nona Fiona ke kamarnya."
"Tidak perlu. Biar aku saja," ujar Steven.
"Tapi Tuan...." Ucapan Erick terpotong saat melihat bosnya sudah mengangkat tubuh Fiona lalu membopongnya pergi dari situ.
Erick kemudian menyusul bosnya yang sudah berjalan menjauh darinya. Setelah sampai ruangan Fiona, Steven meletakkannya dengan hati-hati di ranjang pasien. Steven lalu berjalan ke sofa, setelah merapikan selimut untuk menutupi tubuh Fiona.
"Lebih baik Tuan makan siang dulu." Erick mendekat pada Steven saat melihat bosnya bersandar sambil memejamkan matanya.
Steven memijit pelipisnya dengan wajah lelah. "Cari tahu tentang Fiona, termasuk bagaimana keluarganya memperlakukan dia selama ini," perintah Steven tanpa menoleh ke Erick.
Erick terlihat terkejut, dia terdiam sesaat, dahinya mengerut sesaat. "Apakah Tuan kasihan padanya?" tanya Erick takut-takut.
"Aku hanya ingin tahu saja. Aku memiliki firasat aneh tentang hubungan antara ibu dan anak itu."
"Baik Tuan." Erick mengangguk tanda mengerti.
"Kau kembali saja ke kantor. Kau handle dulu kerjaan kantor untuk hari ini," perintah Steven.
Dia lalu mengubah posisi duduknya menjadi tegak seraya memegang tengkuknya. "Dan ingat! Jangan beritahu ibuku kalau aku di sini. Katakan saja aku sedang ada urusan di luar kota dan tidak bisa menemuinya malam ini." Erick mengangguk, lalu berlalu pergi meninggalkan Steven sendiri.
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Fiona belum juga membuka matanya. Steven sedang menerima telpon di sudut ruangan sambil melihat keluar jendela kamar itu.
Perlahan Fiona membuka matanya, sayup-sayup dia mendengar suara seseorang sedang berbicara. Dia melihat Steven sedang berdiri membelakanginya
"Tuan." Fiona bergerak bangun dari tidurnya lalu duduk. Steven yang mendengar suara Fiona langsung membalikkan sedikit tubuhnya lalu menoleh pada Fiona. Steven segera mengakhiri pembicaraannya di telpon saat melihat Fiona sudah duduk bersandar di ranjang pasien sambil memandangnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Steven memasukkan ponselnya di saku celana lalu berjalan menghampiri Fiona.
"Iya Tuan, saya sudah merasa lebih baik. Terima kasih karena sudah menolong saya tadi."
Steven mengamati wajah putih Fiona, bibir pucat, mata bengkak dan sayu. "Berhentilah berterima kasih. Cukup kau turuti saja perkataanku."
Fiona mengerutkan dahinya. "Maksud Tuan?"
"Makanlah. Kau belum mengisi perutmu sama sekali. Bagaimana bisa kau menghadapi ibumu jika kau saja tidak punya tenaga," ucap Steven dengan wajah datar.
"Saya akan makan jika saya lapar. Tuan bisa pergi sekarang. Saya tidak mau melibatkan anda dengan urusan keluarga saya. Saya sudah banyak berhutang budi dengan anda," ujarnya pelan.
Steven dia memperdulikan ucapan Fiona. "Tuan, anda mau bawa saya ke mana? Tolong turunkan saya. Saya bisa jalan sendiri," ujar Fiona saat Steven sudah menggendong Fiona ala bridal style. Fiona tanpa sadar langsung mengalungkan tanganya ke leher Steven karena takut terjatuh.
"Makanlah, jika tidak, aku yang akan menyuapimu." Steven menurunkan tubuh Fiona di sofa panjang dengan hati-hati.
Fiona menundukkan wajahnya. Dia menyembunyikan rona merah wajahnya agar tidak terlihat oleh Steven. Dia merasa malu karena digendong oleh Steven tadi. "Aku akan makan sendiri Tuan," ucap Fiona pelan. Dia kemudian mengambil makanan yang sudah tersedia di depannya.
"Apa kau selalu keras kepala seperti ini?" Steven duduk di samping Fiona dan melirik Fiona sekilas.
"Seperti inilah saya, Tuan." Fiona terlihat mengunyah makanannya dengan pelan.
"Steven, itu namaku. Kau bisa memanggilku dengan Steve. Aku tidak suka mendengarmu memanggilku dengan kata Tuan." Steven menatap malas Fiona.
"Kita tidak saling mengenal, kita juga tidak dekat. Tidak sopan jika aku langsung memanggilmu dengan nama," ujar Fiona pelan.
Steven mendekatkan wajahnya ke Fiona lalu menatap dalam matanya. "Aku tidak suka dibantah! Jika kau masih memanggilku dengan kata tuan, aku akan langsung menciummu," ancam Steven dengan wajah serius.
Wajah Fiona memerah. Dia langsung memalingkan wajahnya ke samping karena merasa malu. Dia terlihat salah tingkah ditatap oleh Steven dari jarak dekat. "Baik Tuan, eeh maksudku Steve," ucap Fiona gugup.
Steven lalu menjauhkan wajahnya. "Makanlah. Kau harus habiskan makananmu. Aku akan keluar sebentar. Jangan pergi kemana-mana sebelum aku kembali." Dia berdiri kemudian meninggalkan ruangan tersebut. Fiona memandang punggung Steven yang terlihat sudah menjauh.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Steven berjalan masuk ke dalam ruangan yang ditempati Fiona. Terlihat dari kejahauhan, Fiona sedang duduk melamun di atas tempat tidur.
"Kenapa kau melamun?" Steven mendekati Fiona yang terlihat duduk diam dengan tatapan kosong.
Fiona mengalihkan pandangannya pada Steven. "Aku hanya memikirkan ayahku," ujar Fiona menunduk.
"Jasad ayahmu sudah dibawa pulang oleh ibumu, tidak lama setelah kau pingsan tadi."
Fiona langsung terkejut. Air matanya kembali mengalir di pipi pucatnya. "Aku harus pulang. Aku ingin melihat ayahku." Fiona turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu.
Langkah Fiona terhenti saat tangannya dicekal oleh Steven. "Ayahmu sudah dimakamkan tadi siang. Kau tidak bisa melihatnya lagi."
Fiona langsung terduduk lemas di lantai. Air matanya terus mengalir di pipinya. Dia tidak lagi mengeluarkan suara tangisan. Fiona hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Steven hanya berdiri membiarkan Fiona menangis tanpa melakukan apapun. Beberapa saat kemudian Steven berjalan keluar sambil menempelkan ponselnya ke telinga lalu berbicara dengan seseorang.
Lama Fiona terdiam, akhirnya dia berdiri lalu berjalan keluar ruangan perawatan. Steven menarik tangan Fiona saat melihat gadis itu berjalan tanpa arah. Pandangannya terlihat masih kosong. "Kau mau ke mana?" Steven meraih pergelangan tangan Fiona untuk menghentikan langkahnya.
Fiona tidak menggubris pertanyaannya Steven. Dia malah berusaha melepaskan tangannya dari Steven. "Tolong lepaskan tanganku, Tuan."
"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau memberitahuku ke mana kau akan pergi." Steven menatap tajam Fiona yang terus berusaha melepaskan tangannya.
Fiona mulai terisak. "Aku ingin melihat makam ayahku. Tolong lepaskan aku, Tuan," ujar Fiona memohon.
"Bagaimana kau bisa ke sana. Kau bahkan tidak tahu di mana makam ayahmu berada." Steven tidak mengijinkan Fiona untuk pergi.
"Aku akan bertanya kepada mama atau dengan kak Cindy."
Steven mencibir. "Apa kau pikir mereka akan memberitahumu? Apa kau belum sadar juga kalau ibumu itu membencimu."
Bersambung..
Bantu berikan dukungan untuk author dengan cara Komen, Vote, Favorite dan Like setiap bab ya. Kasih hadiah juga boleh..Dukungan kalian sangat berarti bagi Author. Terima Kasih..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Fiona bukan anak kandung mama nya,Atau Fiona anak org lain..
2023-05-11
0
Qaisaa Nazarudin
Cihh Rasanya kalau kau tau siapa Dteven,Aku pasti kau akan mempergunakan anak mu Cindy utk menggoda Steven demi hartanya,percaya deh 😡😡
2023-05-11
0
Edah J
Kenapa hidupmu begitu menyedihkan Fio 😢
yg kuat dan sabar yaa
semangat jg buat author 😘
2022-05-05
0