"Aku sibuk karena mempersiapkan ini semua untuk mu, untuk kehidupan kita selanjutnya, Raya Lubis, maukah kau menikah dengan ku !?" tiba tiba Martin bersimpuh di hadapannya dan membuka kotak yang berisi cincin yang sepertinya baru saja di belinya secara mendadak itu.
Raya terpaku, entah apa yang harus di rasakannya saat ini, senang? bahagia? terharu?
Mengapa rasanya Raya tak menemukan semua rasa itu, hampir dua tahun mereka bersama, saat mereka bertunangan setahun lalu, rasa bahagia Raya benar benar terpancar di wajahnya, bukankah rasa bahagia itu seharusnya berkali kali lipat saat dirinya di lamar Martin?
"Emh, kak, bangun! Malu tau, di liatin orang!" Raya menengok ke kiri dan ke kanan, saat ini mereka menjadi pusat perhatian para pengunjung yang lumayan sedang ramai.
Kata kata yang keluar dari mulut Raya justru di luar dugaan Martin, pria itu kira, Raya akan menangis terharu dan langsung berkata "Yes, i will!" namun ternyata wajah Raya malah terkesan datar dan tak menunjukan antusias sama sekali.
"Ke- kenapa? Kamu gak mau nikah sama aku, ya?" tanya Martin lirih.
Harga dirinya kini sedang di pertaruhkan di hadapan banyak orang, mau ditaruh di mana mukanya kalau sampai dia di tolak saat melamar tunangannya.
"Bukan gak mau, sepertinya ini bukan waktu yang tepat, ayah masih terbaring kritis di rumah sakit, apa pantas kita berpesta?" kata Raya memberikan alasannya.
"Ya sudah, tapi sebaiknya cincinnya di terima dulu, aku tak mau malu di hadapan semua orang yang menonton kita saat ini," bisik Martin meminta pertolongan.
"Oke, untuk sementara, cincinnya aku simpan dulu, ya!" Raya meraih kotak kecil di lapisi kain bludru berwarna merah itu, lalu meletakkannya di atas meja.
"Aku mendengar kalau kamu beberapa kali terlihat dekat dengan pria lain, siapa? Apa aku mengenalnya?" tanya Martin menanyakan apa yang menjadi tanda tanya dirinya dan Karina beberapa hari terakhir ini.
"Ah, itu hanya teman lama, kamu tak mengenalnya, sayang!" Raya tau pria mana yang di maksud oleh Martin, tapi entah kenapa hatinya berkata untuk menutupi identitas Toni untuk sementara waktu dari tunangannya itu, dia tak ingin menambah masalah baru lagi nantinya, semua masalah saat ini yang menimpanya sudah cukup menguras pikiran.
"Hmmm,,, hanya teman lama rupanya,!" gumam Toni menunjukkan ketidak puasan akan jawaban yang di berikan Raya, namun untuk saat ini, dirinya tak ingin memaksa Raya untuk mengatakan siapa pria itu sesungguhnya, karena cepat ataupun lambat, dirinya pasti akan mengetahui siapa sebenarnya pria itu.
"Baiklah, aku tak ingin mengganggu waktu bekerja mu, aku juga harus ke rumah sakit, ada yang ingin aku bicarakan dengan dokter yang menangani ayah," pungkas Raya mengakhiri pembicaraannya dengan Martin.
"Baik sayang, tapi maaf aku tak bisa menemani mu karena aku harus segera kembali ke kantor untuk rapat siang ini," Martin melirik jam mahal pemberian Karina yang melingkar di pergelangan tangannya.
"It's ok, sayang,,, aku bisa sendiri," jawab Raya.
Gadis itu terlihat datar tanpa ekspresi saat Martin berpamitan dan mencium pipinya, persis seperti kebiasaan Toni yang selalu bersikap seperti es batu, bahkan saat tunangannya memeluknya tanda salam perpisahan, Raya hanya bersikap dingin tanpa membalas pelukannya.
Raya buru buru ke parkiran dan masuk ke dalam mobilnya sesaat setelah sang tunangan pergi dari sana, kotak berisi cincin yang di berikan Martin saat melamarnya tadi, dia lempar begitu saja ke dashboard mobilnya dengan sembarang.
***
Menjelang sore hari, Raya masih berada dijalanan memacu kendaraannya tak tentu arah, sampai dia tiba tiba tanpa di sadarinya berhenti di sasana tinju yang biasa menjadi tempat biasa Toni berada.
Anggap saja pikirannya kacau atau bahkan sudah gila sekalian, Raya bahkan tak tau kenapa kini dirinya selalu berakhir mencari Toni setiap dirinya sedang dalam keadaan tidak baik baik saja seperti sekarang ini, padahal pria kulkas itu tak pernah bisa menenangkannya, tak pernah bisa menghibur dengan kata kata manisnya, namun lagi lagi pria ketus, jutek, galak, dingin,dan arogan itu menjadi orang yang paling di carinya dalam keadaan rapuhnya.
"Hai Raya,,,!" Cila datang di saat yang tak tepat, sepertinya dia baru saja keluar dari sasana milik ayahnya itu.
"Ah, Cila,,,ternyata kamu di sini, apa kamu baru saja menemui kekasih mu?" pancing Raya seolah dirinya kali ini datang kesana untuk bertemu temannya itu, dan jujur saja ada rasa tak nyaman saat dirinya bertanya seperti itu pada Cila.
"Aku bahkan tak bertemu dengannya beberapa hari terakhir ini, dia juga tak terlihat di sini maupun di tempat kostnya," keluh Cila yang setiap hari selalu mencari Toni yang menjadi sangat susah di temui itu.
"Tempat kost? Memangnya pacar mu tidak tinggal di sini?" tanya Raya yang di jawab dengan gelengan kepala Cila.
"Ah beberapa hari yang lalu aku melihat mobil mu keluar dari sini, kamu mencari ku?" Cila teringat saat melihat mobil Raya melintas di hadapannya keluar dari parkiran sasana, tempo hari.
"Oh, mungkin itu sopir ku, beberapa hari terakhir ini aku di rumah sakit menemani ayah ku yang sedang di rawat," bohongnya, padahal itu memang dia bersama Toni.
'Maafkan aku Cila!' jerit batin Raya merasa telah sangat jahat karena beberapa kali mengajak pacarnya pergi tanpa sepengetahuan Cila.
"Ayah mu sakit?" beo Cila.
"Iya, ini juga aku harus ke sana lagi, tadi aku membeli keperluan buat ayah di dekat sini jadi mampir sebentar, tapi kamu tak ada di rumah, jadi aku pikir pasti di sini, pacaran!" bohongnya lagi sambil buru buru berpamitan.
Raya melanjutkan berkendaranya yang tanpa arah lagi, hatinya sangat kesal karena tak dapat menemui Toni di sasana, padahal ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada pria tak punya perasaan itu, rasanya kini hatinya seakan tak tenang bila tak berkeluh kesah pada pria galak itu.
"Shiiiitttt ! Bahkan nomor teleponnya pun aku tak punya!" kesal Raya ang lalu melempar ponselnya ke kursi kosong sebelahnya.
Kebingungan membawanya ke sebuah daerah agak kumuh untuk ukuran dirinya yang terbiasa hidup dalam lingkungan mewah.
Jalanan pun sangat sempit, sepertinya tak bisa di lalui bila tiba tiba berpapasan dengan kendaraan lain.
Benar saja, sebuah mobil bak pengangkut bahan bangunan kini berada di hadapannya, sang sopir yang terlihat garang itu membunyikan klakson berulang kali, dia keukeuh ngotot meminta Raya untuk mundur, semetara di belakangnya ada motor roda tiga pengangkut galon, berkendara di bawah tekanan seperti itu, apa lagi dengan keadaan dirinya yang sedang kalut, membuat Raya menjadi grogi dan membuat belakang mobilnya menabrak motor pengangkut galon itu saat dirinya sedang memundurkan mobilnya dengan grogi karena sopir mobil bak di depannya terus membunyikan klakson, dengan mata melotot dan memaki dari balik kaca jendelanya yang terbuka lebar.
"Gini nih, kalo orang kaya yang sim nya boleh nembak, mundur aja gak becus, malah nabrak orang, turun!" teriak sopir mobil bak yang kini sudah berdiri di samping pintu mobilnya, bersama si pengemudi motor yang dia tabrak, dan beberapa warga yang sepertinya siap menghakiminya di sana.
Wajah Raya memucat ketakutan, banyak berita yang dia lihat dan baca pengendara mobil yang di keroyok masa dan di rusak mobilnya akibat menyerempet pengendara lain, hal itu semakin membuat Raya takut dan tak berani keluar dari dalam mobilnya, kakinya pun kini terasa gemetaran.
Sampai tiba tiba kaca jendela mobilnya di ketuk dengan keras dari luar, namun suara masa yang tadi sangat berisik memakinya tak terdengar lagi.
Raya memberanikan diri menurunkan setengah kaca jendelanya, dengan wajah yang di sembunyikan di balik setirnya karena saking takutnya.
"Ampun,,,jangan pukul saya, saya salah, saya akan ganti semua kerusakan, tapi tolong jangan siksa saya!" jerit Raya ketakutan.
Pintu mobil terdengar di buka dari luar, setelah saking gugupnya Raya memencet tombol unlock otomatis tanpa sengaja.
"Keluar, dan pindah ke kursi penumpang!" suara yang sangat dia kenali terdengar bagai oase di padang gersang.
Raya mengangkat wajahnya yang dia sembunyikan di balik kemudinya itu lalu keluar dari mobilnya dan berhambur memeluk Toni yang tiba tiba saja bak pahlawan di film film yang selalu hadir saat dirinya sedang ada masalah.
"Toni, tolong aku,,, aku takut!" raungnya, tangisnya pecah seketika di dada bidang dan keras pria datar itu, tak peduli puluhan pasang mata sedang menontonnya.
"Sudah, cepat masuk ke sana, jalanan ini menjadi macet parah akibat ulah mu, dasar gadis manja!" omel Toni, mengurai pelukan Raya dan segera mengambil alih kemudinya, sementara Raya langsung masuk ke pintu sisi lainnya, tanpa mengangkat wajah sedikit pun, dia teramat takut dengan orang orang yang masih ramai di sana memperhatikannya, seakan dirinya tontonan yang mengasyikan.
Mobil pengangkut bahan bangunan itu sudah tidak ada di depan, sepertinya dia mengalah dan memundurkan mobilnya.
"Kenapa kau bodoh sekali, dan sangat ceroboh, sangat merepotkan!" Toni tak berhenti mengomel sampai dia memarkirkan mobil itu di sebuah lapangan yang tak jauh dari tempat insiden tadi.
"Dimana ini, kenapa berhenti di sini?" tanya Raya yang sejak tadi hanya terdiam menerima semua omelan Toni.
"Menemui orang yang motornya kau tabrak tadi, apa kau tak ingin mengganti rugi kerusakan motornya akibat di tabrak oleh mu?" ucap Toni ketus.
"A- apa kamu kenal dia? Apa dia akan marah pada ku?"
"Walaupun orangnya marah, kau harus terima, kau salah, untung saja hanya motornya yang rusak, bagaimana jika orangnya yang kau tabrak, lalu mati?" ucap Toni terdengar seperti menakut nakuti.
"Iya,, iya,, aku salah, aku mau bertanggung jawab!" ucap Raya.
Tibalah mereka di sebuah bangunan panjang dengan deretan pintu di setiap jarak lima meternya.
"Ba- bangunan apa ini? kenapa banyak sekali pintu berjajar di sini?" tanya Raya, seolah baru pernah melihat bangunan memanjang mirip gerbong kereta dengan pintu dan jendela kecil di setiap beberapa langkah yang dia lewati.
"Ini tempat kost ku! Kenapa?" sinis Toni.
Tempat kost di bayangan Raya dan kenyataannya sangat berbeda jauh, kalau di bayangan Raya tempat kost itu berbentuk seperti apartemen, tapi ini.... kumuh! Batin Raya.
"Eh, kenapa ke tempat kost mu? bukankah kita akan ke rumah orang yang ku tabrak tadi?" tanya Raya.
"Dia penghuni kost ini juga, dia kerja di tempat isi ulang air minum, jam 7 malam baru pulang, masih satu setengah jam lagi, bukankah lebih baik menunggunya di tempat kost ku?" ucap Toni memutar kunci di sebuah pintu yang terletak paling ujung.
"Ini,,, tempat tinggal mu?" tanya Raya menyapu ruangan sempit yang hanya tersedia kasur di lantai beralas karpet, dan lemari plastik, sepertinya kamar asisten rumah tangga di rumahnya berpuluh puluh kali lebih layak dari pada ini.
Namun ternyata, pikiran lain yang justru kini mengusik pikirannya.
"Apa Cila sering datang dan menginap di sini?" tanya Raya, sedikit meragukan kalau Cila mau berlama lama di tempat kost kekasihnya itu.
"Tentu saja, kenapa memangnya?" bohong Toni.
Wajah Raya berubah menjadi sangat kesal, apalagi pikiran nakalnya membayangkan Cila dan Toni tidur di kasur busa yang sempit itu, mereka pasti harus saling berpelukan erat agar tak terjatuh ke lantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Irena Irani
dah mulai pada cemburu yaaaa😂
2025-02-15
1
Rini Asih
ada yg cemburu nih ... lanjut Thor..sekalu kutunggu lanjutannya besuk...
2022-04-25
6