Raya turun dari kamarnya dengan malas, menyusuri tangga menuju ruang tengah, wajahnya terlihat cemberut dengan mata yang sepertinya masih lengket bak terkena lem super keras, maklum lah selama dua malam dia tak tidur dengan benar karena perjalanan panjang menyenangkan ke Bandung bersama Toni.
"Kemana saja Kamu pergi selama beberapa hari terakhir ini ?" tanya Arsan dengan nada bicara tegas yang sudah bercampur emosi.
"Kenapa anda tiba tiba seolah berperan sebagai ayah ?" tanya Raya cuek.
"Apa maksud mu ? Aku memang ayah mu !" volume suara Arsan semakin bertambah tinggi dari sebelumnya.
"Ayah yang tidak pernah peduli pada anak satu satunya ? Bahkan tak sempat hanya sekedar mengucapkan selamat ulang tahun pada putrinya ?" lawan Raya.
"Oh, Tuhan,,, maafkan bunda, ini salah bunda, andai saja tiga hari yang lalu bunda tidak pergi ke Bali bersama teman teman Bunda, mungkin kamu tidak akan mencari pelarian seperti ini !" ucap Karina mencari muka.
"Bunda ke Bali? Dari tiga hari yang lalu? di Bali?" tanya Raya merasa janggal, karena baru kemarin dia melihat ibu sambungnya itu berdua bersama Martin sang tunangan di lobi apartemen milik Martin.
Namun Raya tak ingin membahas hal itu terlalu cepat, dia tak mau menambah permasalahan jika ternyata dirinya hanya salah paham, atau bahkan salah menebak apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, yang jelas, Raya yakin Martin dan ibu sambungnya itu mempunyai alasan berbuat seperti itu.
"Iya, bunda di bali tiga hari, maafkan bunda, yang lupa hari spesial mu, harusnya kemarin bunda ajak kamu ke sana merayakan bersama teman teman bunda," ucapnya penuh kepalsuan.
"Tidak usah meminta maaf pada anak tak tau aturan ini, dia memang selalu bertindak semaunya, kamu tak salah, sayang. Kamu sudah berbuat semaksimal mungkin untuk mengurus nya," bela Arsan untuk istrinya, yang tentu saja membuat hati Raya terasa bagai teriris, bagai mana mungkin ayahnya lebih membela istri barunya di banding anak kandungnya sendiri.
"Tidak sayang, aku yang sudah lalai, maafkan aku belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Raya," Karina mengeluarkan air mata buaya untuk menarik simpatik suami sekaligus tambang uangnya itu.
"Raya, kamu belum menjawabnya, darimana saja selama beberapa hari ini?" Arsan kembali menginterogasi putrinya.
"Hanya bersenang senang!" jawab Raya seolah menantang ayahnya.
"Bersenang senang, kata mu? Bersama seorang pria? Mau jadi apa kamu ini? Mau jadi jallang kecil? Ingat, kamu itu sudah bertunangan, tak pantas pergi berdua bersama pria sampai berhari hari lamanya! Siapa yang mengajari mu menjadi murahan seperti ini?" emosi Arsan memuncak karena merasa tersulut dengan ucapan putrinya yang seakan menantang dirinya.
"Sayang, sabar,,, ingat penyakit mu!" Karina mengusap usap dada Arsan, seraya mengingatkan pada Arsan dan Raya kalau pria tua itu mempunyai penyakit jantung yang sewaktu waktu bisa saja kambuh dan merenggut nyawanya.
"Aku tau ayah, dan terimakasih atas tuduhan mu pada putri mu ini, terimakasih sudah menyebutku seorang jallang, semoga aku bisa terus menjaga diri ku agar ucapan mu pada ku tidak akan pernah terbukti dan terjadi!" sekuat tenaga Raya menahan tangisnya, menahan rasa sakit yang kini hatinya rasakan.
Kalau orang lain yang menghinanya mungkin dia masih bisa terima, tapi ini ayahnya, ayah kandungnya, dimana dia berbagi darah dan daging yang sama di tubuhnya, ini terlalu menyakitkan baginya, meski ini bukan yang pertama Arsan memperlakukan nya dengan kasar dan tidak adil.
Sungguh pengaruh Karina memang dahsyat, wanita itu mampu mengendalikan dan membolak balikan perasaan Arsan yang tadinya sangat menyayangi putri satu satunya itu, sekarang menjadi seolah tak peduli sama sekali, bahkan tak jarang ucapan kasar yang bisa saja melukai hati putrinya pun meluncur begitu saja dari mulutnya, padahal dulu hanya kata kata manis yang keluar dari sana untuk putri kesayangannya itu.
"Raya, ayah belum selesai berbicara dengan mu! kamu benar benar berubah jadi wanita liar, sekarang!" teriak Arsan ketika mendapati sang putri malah berlari kembali ke kamarnya.
Bruak !!!
Suara pintu kamar Raya yang di tutup sekencang mungkin begitu menggema dan membuat para pelayan yang sedang berada di sekitar sana merasa kaget bukan main.
Raya mengunci diri di kamar mewahnya, menangis tersedu sedu di atas kasurnya yang luas dan empuk sampai dirinya tertidur pulas.
***
"Lion!" panggil Burhan dari kejauhan, menghentikan langkah Toni yang baru saja sampai sasana dan bersiap untuk berlatih.
"Ini uang hasil pertandingan mu kemarin, aku mencari cari mu dari semenjak pertandingan usai, tapi tak menemukan mu, aku juga mencari mu ke kost kemarin sore, tapi kata ibu kost mu, katanya kau tak pulang, apa ada masalah?" lanjut Burhan.
"Aku hanya ada sedikit urusan ke luar kota!" jawab Toni menerima amplop berisi uang hasil bertarungnya kemarin malam yang belum sempat dia ambil dari Burhan karena dia keburu pergi bersama Raya.
Toni memejamkan matanya beberapa detik lalu menggelengkan kepalanya pelan, tiba tiba wajah Raya menari nari di bayangannya, membuat dia merasa sedikit tidak nyaman akan hal itu.
'Sial, kenapa gadis manja itu terus menerus mengganggu pikiran ku!' umpatnya dalam hati.
"Kau baik baik saja?" tanya Burhan yang melihat petarungnya bertingkah tak seperti biasanya.
"Aku tak bertanding malam ini, pikiran ku sepertinya sedang kacau, dari pada aku tak akan bisa berkonsentrasi nanti!" ucap Toni yang lalu pergi meninggalkan sasana sebelum sempat dia masuk ke dalam tempat latihan yang biasanya membuatnya nyaman dan betah berlama lama di tempat itu.
"Abang!" kali ini Cila yang berteriak memanggilnya.
Toni melirik sekilas, "Ada apa? Aku sedang terburu buru!" ketusnya, seakan memberi sinyal kalau dirinya sedang tak ingin di ganggu.
"Cila mencari cari abang dari kemarin, bang Lion kemana saja?" tanya Cila.
"Ada apa mencari ku?"
"Karena ayah mencari cari abang juga dari kemarin, Cila di suruh ayah nyariin abang," kata Cila.
Toni menautkan kedua alisnya,
"Ada apa, ayah mu mencari ku?" tanya Toni.
"Mana Cila tau!" jawab gadis itu seraya mengangkat kedua bahunya.
"Ayo kita temui ayah, siapa tau kita berdua di kawinin!" seloroh Cila yang lalu mendapat toyoran di kepalanya oleh Toni.
Toni mengekor langkah Cila menuju rumahnya yang letaknya hanya terhalang beberapa rumah saja dari sasana.
"Ah Lion, susah sekali menemukan mu, ayo sini, Aku punya sesuatu untuk di bicarakan dengan mu!" sambut Rolan yang baru saja hendak memasuki mobil nya, pria setengah baya yang ditakuti banyak orang itu mengajak Toni untuk ikut bersama dirinya masuk ke dalam mobil suv mahal berwarna hitam.
Tapi Toni menahan langkahnya.
"Kemana?" tanya Toni, seakan enggan untuk ikut bersama pimpinan mafia itu.
"Kawal aku mengantar barang untuk Martin, pria yang kita temui tempo hari," bisik Rolan seakan tak ingin Cila sang putri mendengarnya.
Tanpa penolakan atau argumen apapun, Toni langsung ikut masuk ke dalam mobil bersama Rolan yang merasa sangat senang karena Toni ikut terlibat pekerjaan bersamanya untuk ke dua kalinya, bahkan kali ini tak ada penolakan sama sekali, Toni langsung mengikutinya meski diri nya belum membuka nominal untuk pembayaran upah kerjanya.
'Sepertinya Lion sudah mulai tertarik dengan pekerjaan ini, atau dia sedang membutuhkan uang, sehingga begitu mudahnya aku ajak, sehingga tak ada penolakan seperti biasanya,' batin Rolan.
"Ayah, Cila ikut,,,! Cila juga pengen pergi sama bang Lion!" rengek Cila.
"Lion ada urusan pekerjaan dengan ayah, kamu tak boleh ikut, lebih baik kamu belanja atau pergi ke salon bersama ibu mu!" ucap Rolan menolak permintaan putrinya untuk ikut bersama dengan Toni dan juga dirinya, sehingga membuat bibir Cila mengerucut karena kesal dengan ayahnya karena tak di ijinkan untuk ikut bersama mereka.
Rolan sungguh tau benar kalau putrinya itu sangat menyukai Toni, Rolan juga tak pernah melarang hal itu, apalagi Rolan dapat melihat kemampuan Toni yang sepertinya cukup bisa di andalkan untuk menjadi penerus bisnis hitamnya jika suatu hari nanti Toni bersedia menikah dengan Cila putrinya.
Selain Rolan merasa Toni orang yang tepat untuk Cila, Rolan juga sangat menyayangi putri satu satunya itu, apapun akan dia berikan meski nyawa yang harus menjadi taruhannya.
"Apa kau mulai tertarik dengan pekerjaan ini? Atau kau sedang membutuhkan uang lagi?" tanya Rolan penasaran.
"Katakan lah seperti itu!" jawab Toni ambigu.
Sejujurnya dirinya tak pernah berkeinginan atau tertarik sedikit pun dengan pekerjaan Rolan, namun ketika Rolan menyebut nama Martin, entah mengapa dirinya langsung menyetujuinya begitu saja.
Rasanya Toni ingin mengetahui lebih dalam siapa Martin sesungguhnya, dan mengapa Martin juga Karina yang merupakan ibu tiri dari Raya itu bersekongkol memperdaya dan mencurangi Raya di belakang gadis manja itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Chauli Maulidiah
jgn terlena dgn dunia hitam lion...
2022-04-18
5
Anonymous
lanjuutt..seeruuuu..🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰😅🥰
2022-04-18
1