"Kamu akan bosan jika ikut aku ke dalam, kalau kamu malas, kamu boleh berjalan jalan di sekitar sini, sepuluh menit kemudian kita bertemu lagi di sini," ucap Raya, yang lantas di angguki Toni tanpa pertanyaan apapun.
Toni sengaja memilih menikmati pemandangan alam yang indah ini sendirian, dia tak ingin mencampuri urusan Raya, sepertinya gadis itu butuh privasi, setidaknya itu yang Toni tangkap dari ucapan Raya sebelum dia masuk ke area pemakaman itu.
Area pemakaman itu terlihat sangat asri, dan di lihat dari tempatnya yang tak terlalu luas, sepertinya itu merupakan pemakaman milik pribadi atau keluarga, dan bukan pemakaman umum, ada sebuah gazebo kecil di area itu, sepertinya itu tempat tukang bersih bersih beristirahat, karena berbagai pekakas seperti sapu, cangkul, arit dan sebagainya tertata rapi di gazebo itu.
Toni duduk di dalam gazebo itu, mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya, dari kejauhan terlihat Raya bersimpuh di sebuah makam dengan nisan terbuat dari batu granit mahal berwarna hitam, sesekali tangannya membelai dan mengusap lembut nisan itu, entah apa yang sedang di ucapkannya, tapi sepertinya gadis itu asik bercerita.
Toni tiba tiba tergelitik penasaran untuk mendekat ke tempat dimana Raya berada kini.
Raya sedang terisak pilu saat Toni berdiri tak jauh dari gadis itu, tangisnya membuat Toni menghentikan langkahnya dan menatap iba Raya yang suara tangisannya mampu membuat hati Toni yang lama membatu itu merasa seperti ikut tersayat perih.
"Ibu,,, gak ada yang peduli sama Raya, semenjak ibu pergi, Raya benar benar sendiri, Ayah tak pernah lagi peduli dengan Raya, di hidupnya hanya ada kerja dan Bunda, gak ada lagi Raya,,," adunya pada makam yang nisannya bertuliskan nama Maria dengan tinta emas di atas batu granit hitam itu.
Namun isak tangis Raya tiba tiba berhenti saat gadis itu menyadari seseorang sepertinya sedang memperhatikan dirinya dari belakang.
Benar saja, saat dirinya menoleh ke belakang, Toni sedang menatapnya dari bawah pohon kamboja yang saat itu sedang berbunga.
"Ah, apa aku kelamaan, sampai kamu menyusul ku?" tanya Raya tak enak hati.
Toni hanya menggelengkan kepalanya, seperti biasanya dia tak terlalu suka banyak bicara.
"Sini, aku kenalkan kamu pada ibu ku!" ajak Raya melambaikan tangannya agar Toni lebih mendekat ke tempatnya duduk.
Meski agak ragu dan sungkan, Toni melangkah mendekat.
"Ibu, ini---"Raya sedikit berpikir, mana mungkin dia memperkenalkan pria dingin itu pada ibunya, sedangkan dirinya sendiri pun tak tau siapa nama pria datar itu.
Toni hanya sedikit membungkuk tanda penghormatan ke arah makam ibunda Raya, tanpa bersuara.
"Ah, ini pacarnya teman ku, dia sudah berbaik hati mengantar Raya bertemu dengan ibu, Raya sangat bahagia bisa melewatkan hari ulang tahun bersama ibu di sini," kata Raya, tak penting siapa nama pria itu, yang dia tau kalau pria yang mengantarnya ke sini adalah pacarnya Cila, jadi ya, seperti itu juga dia perkenalkan Toni pada ibunya.
"Ayo pulang !" ajak Raya setelah puas mengobrol dengan pusara ibunya dan berpamitan.
"Apa boleh kita tidak langsung pulang ke Jakarta dulu?" tanya Toni tiba tiba.
Raya hanya melongo, "Apa kamu lelah? Kita bisa bergantian mengemudi," kata Raya.
"Bukan, aku hanya ingin menikmati suasana alam ini sedikit lebih lama, siang atau sore baru kita pulang, bagaimana?" tanya Toni lagi.
"Mhhh,,,, oke!" ibu jari tangan kanan Raya dan jari telunjuknya menyatu membentuk huruf O, di tambah bonus senyuman dan kedipan mata kanan Raya yang hampir membuat jantung Toni mencelos karena begitu gemas melihatnya.
Toni menggeleng gelengkan kepala beberapa kali untuk tetap menjaga kewarasannya dari pikiran pikiran aneh tentang gadis manja itu.
Mereka berjalan beriringan menyusuri ruas jalan di antara hamparan hijau daun teh yang masih menyisakan titik titik embun di beberapa helai daunnya.
Beberapa pekerja yang masih tersisa di sana menyelesaikan pekerjaannya.
Biasanya waktu pemetikan daun teh yang bagus adalah sekitar jam 5 sampai jam 9 pagi, setelah itu di lanjutkan di jam 10 hingga pukul 12 siang.
Pemetikan daun teh memang biasa di lakukan pagi hari karena akan masih membutuhkan proses yang panjang untuk menjadi bubuk teh kering yang siap di seduh dan minum. Daun teh yang baru di petik itu harus segera di bawa ke tempat pelayuan agar tidak busuk di jalan.
Beberapa pekerja menyapa ramah Raya saat mereka berpapasan di sepanjang jalan yang mereka lewati.
"Mereka pekerja mu?" tanya Toni.
"Pekerja almarhum ibu ku, ini kebun milik ibu, namun sekarang di urus oleh salah satu orang kepercayaan ibu yang sudah ikut bekerja pada ibu semenjak dulu.
"Kenapa kamu atau ayahmu tidak mengelolanya?" tanya Toni lagi yang menyayangkan aset sebesar ini bila harus terbengkalai karena di abaikan pemiliknya.
"Ayahku mana ada waktu mengurus perkebunan seperti ini, untuk mengurus bisnisnya saja 24 jam seakan tak cukup baginya, sampai aku, anak satu satunya tak pernah lagi di perhatikan, baginya memberi banyak uang adalah bentuk perhatian nya, dan itu sudah lebih dari cukup," keluh Raya, secara spontan menceritakan kehidupannya dan mengalir begitu saja.
"Lalu, kenapa bukan kamu saja yang mengurusnya?" ucap Toni enteng.
"Haish, aku mana bisa mengurus hal seperti ini," seloroh Raya.
"Tidak bisa atau tidak mau? Aku lupa, yang kau bisa hanya membuang buang uang, bukan bekerja!" cibir Toni santai.
"Kau! aku tidak seperti itu!" Raya menghentikan langkahnya, berbalik dan mengacungkan telunjuknya ke depan wajah Toni sambil mendengus kesal, namun Toni yang di perlakukan seperti itu oleh Raya tak menggubrisnya, dengan santai dan cuek dia tetap melanjutkan langkahnya, seolah tak terganggu dengan perlakuan Raya padanya.
"Ish,,, pria menyebalkan !" cicit Raya menghentakkan kakinya kesal, lalu menyusul langkah Toni yang meninggalkannya dalam suasana hati yang dongkol.
Lama mereka berjalan jalan menikmati suasana perkebunan di daerah pangalengan Bandung itu, tak terlihat rasa lelah di wajah mereka, meski tak banyak obrolan di antara mereka di sepanjang perjalanan, tapi mereka terlihat sangat menikmatinya.
Entah itu menikmati alam yang memang sangat indah, atau menikmati kebersamaan mereka, dua orang asing yang tiba tiba menghabiskan waktu bersama sejak semalam.
"Sudah jam setengah dua, ayo ke rumah, mang Dasep pasti sudah memasak makanan untuk kita, aku lapar!" cicit Raya sambil memegangi perutnya.
"Hmm," deham Toni sambil mengangguk tanda setuju, perutnya pun ternyata merasakan rasa lapar yang sama, namun saking asiknya menikmati pemandangan alam di sana, mereka sampai lupa waktu dan lupa makan.
***
"Neng Raya darimana saja, Mamang dari tadi nyari nyari, ke makam, ke kebun, sampai kebingungan dan ketakutan!" sambut mang Dasep di pintu depan.
"Jalan jalan, mang!" jawab Raya.
Benar saja, berbagai makanan sudah tersaji di meja makan, mang Dasep sepertinya tak main main dalam menjamu tamu istimewa yang merupakan putri dari pemilik perkebunan teh dan peternakan sapi yang kini di kelolanya itu.
"Ayo makan dulu, sebelum semuanya dingin." mang Dasep mempersilahkan.
"Terimakasih, mang!" jawab Raya seraya mengajak Toni untuk makan bersamanya.
Ada rasa hangat menyeruak di dada Toni si pria singa liar itu, saat mereka sedang makan berdua di meja makan bersama Raya, pikiran Toni bekerja keras memikirkan kapan terakhir kali dirinya makan makanan rumahan di temani seseorang, biasanya dia hanya makan nasi bungkus di kamar kostnya, kalau tidak, dia makan di warteg langganannya di ujung jalan yang tak jauh dari tempat kostnya.
Selesai makan, Raya berpamitan pada mang Dasep untuk kembali ke Jakarta, namun tiba tiba langit menghitam, dan hujan turun dengan derasnya, seakan alam tak mengijinkan Raya dan Toni untuk meninggalkan tempat itu.
"Neng, sebaiknya tunggu hujan reda dahulu, akan sangat berbahaya melakukan perjalanan di tengah hujan deras seperti ini, kabutnya juga sangat tebal," cegah mang Dasep merasa sangat hawatir.
Raya menoleh ke arah Toni meminta pendapat pria arogan itu.
Namun Toni seperti biasa hanya mengangkat kedua bahunya tanpa bersuara, seolah berkata 'Terserah !'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments