Beri Saya Waktu

Pram menyeruput secangkir teh hangat sambil memandangi gedung menjulang tinggi di depannya. Tampak sibuk di bawah sana dengan hiruk pikuk pejalan kaki yang akan riuh dengan tujuannya masing-masing. Pagi ini berbeda dari biasanya. Pram sangat bersemangat menjalani aktivitasnya. Semua karna Reyna. Gadis itu telah membuat gunung es di dalam diri Pram sedikit mencair.

"Pagi pak Pram" sapa Diana tersenyum manis.

Pram menoleh dengan mimik tak suka.

"Semakin hari kamu makin lancang. Saya selalu bilang ketuk pintu dulu sebelum masuk" terang Pram ketus.

"Maaf pak dari tadi saya sudah ketuk pintu tapi pak Pram gak jawab. Saya khawatir pak Pram kenapa-napa jadi saya langsung masuk pak. Sekali lagi saya minta maaf pak" Diana menundukkan kepalanya sebagai tanda penyesalannya.

Pram kembali ke kursi kebesarannya.

"Duduk" perintah Pram. "Ada apa? Hari ini jadwal saya kosongkan? Saya cuman stay di kantor"

"Iya pak. Hmm tapi ada yang mau saya bicarakan...." ungkap Diana ragu.

"Apa? Wajah kamu pucat. Sakit?"

Diana menggeleng pelan.

"Lalu?"

"Pak saya...hmm saya..."

"Saya apa? Buruan masih banyak yang harus saya kerjakan"

"Saya hamil pak. Saya hamil anak pak Pram" kata Diana takut. Ia takut Pram tidak mau tanggungjawab lalu memecatnya.

Pram menanggapi pengakuan Diana dengan senyum sinis menakutkan.

"Kamu pikir saya anak kecil yang bisa kamu kibulin. Saya selalu memakai pengaman setiap berhubungan sama kamu lalu gimana caranya kamu bisa hamil anak saya?"

Diana tercengang dengan mata mendelik. Ia panik dengan pikiran kacau. Entah apa yang akan terjadi padanya setelah ini?

"Pak Pram lupa saat baapk kalah tender dan bapak sangat frustasi lalu pak Pram minta saya nemenin bapak ke club, pak Pram lalu...."

"Cukup" potong Pram mengankat telapak tangannya memberi isyarat agar Diana berhenti bicara.

"Saya ingatkan. Kamu jangan coba membohongi saya apalagi menekan saya. Saat itu saya memang mabuk tapi saya yakin saya tidak melakukan itu sama kamu jadi jangan coba menjebak saya" jelas Pram sangat yakin dengan apa yang ia ingat.

"Pak, malam itu bapak sangat mabuk. Pak Pram mana ingat kejadiannya. Pak Pram sendiri yang memaksa saya melakukan itu tanpa pengaman..."

Prakkkkk

Pram memukul keras meja kerjanya.

Ia bangkit dari duduknya kemudian sedikit mencondongkan badannya ke depan lebih dekat kepada Diana. Matanya menatap tajam seperti ujung pisau yang siap memotong habis musuhnya.

"Stop jangan bicara lagi. Saya tidak akan percaya apapun yang kamu katakan. Kita akan melakukan tes DNA. Saya sangat yakin itu bukan anak saya"

"Ok kita lakukan tes DNA setelah anak ini lahir. Tapi sebelum itu pak Pram harus nikahin saya. Saya tidak mau anak ini lahir tanpa seorang ayah"

Pram melengos dengan sudut bibir kiri sedikit terangkat kemudian berbalik badan lalu melipat tangannya di dada.

"Jadi ini rencana licik kamu. Kamu menjadikan anak itu sebagai alat untuk memeras saya. Kamu tidak akan pernah berhasil. Sekarang kamu keluar" usir Pram tegas.

"Saya akan menunggu jawaban pak Pram. Dan saya harap pak Pram bersikap gentlement. Tanggungjawab atas apa yang sudah pak Pram perbuat. Ini anak pak Pram karna saya tidak melakukan itu dengan laki-laki lain" Diana beranjak lalu menghilang di balik pintu. Wajahnya tampak putus asa membayangkan kelak ia melahirkan tanpa seorang suami. Hal yang sangat memalukan melahirkan di luar status pernikahan.

Pram memijit pelan keningnya lalu mengusap kasar wajahnya. Bagaimana ini? Apa yang harus dilakukannya? Diana terlihat sangat yakin. Pram menjadi ragu sekarang. Mungkin saja anak yang sedang dikandung Diana beneran anaknya. Lalu bagaimana dengan Reyna? Apa yang harus ia katakan?

"Tumben pulang cepat" sambut Reyna ramah.

Pram membalas dengan senyum tipis kemudian duduk di ruang tengah. Melonggarkan dasinya lalu meletakkan kakinya di atas meja untuk mengistirahatkan diri.

"Capek banget ya. Mau aku buatkan minum kesukaan kamu?" tanya Reyna prihatin. Ia tidak tahu apa yang terjadi tapi tidak biasanya Pram begini. Wajah suaminya itu terlihat lusuh layaknya orang yang sedang memikul beban berat.

"Atau gak mau aku buatin sop Iga favorit kamu? Kamu sepertinya capek banget" Reyna terus menawarkan jasanya untuk menghibur Pram. Namun Pram terus diam dengan mata terpejam.

"Bisa gak jangan berisik. Suara kamu semakin membuat saya pusing" Pram membuka matanya memberi tatapan tajam pada Reyna.

Reyna terpaku. Kali ini Pram yang berbeda lagi dari yang ia lihat semalam. Mata sendu itu kembali berapi lagi. Reyna melangkah perlahan bermaksud meninggalkan Pram sendiri agar pria itu bisa istirahat.

"Mau kemana kamu?"

"Kamar"

"Siapa yang suruh?"

"Kamu bilang suaraku bikin pusing"

Pram menurunkan kaki mengambil posisi duduk yang benar.

"Duduk sini" pinta Pram seraya memberi kode agar Reyna duduk di sebelahnya.

"Malas" tolak Reyna tegas. Iapun berlalu pergi.

Haaaah

Pram menarik nafas panjang lalu membuangnya kasar. Pram sendiri heran kenapa ia terus membuat Reyna marah. Sikapnya terkadang keterlaluan juga menyebalkan.

Tok tok tok

"Reyna saya lapar. Bisa masak buat saya?" Pram sebenarnya tidak ada nafsu makan. Hanya saja Reyna tidak akan bisa menolak jika sudah diminta memasakkan sesuatu. Ia tidak tega melihat Pram kelaparan.

Tak lama berselang pintu terbuka menampakkan Reyna dengan ekspresi cueknya. Reyna melewati Pram turun ke bawah.

Dengan sabar Pram menunggu masakan Reyna masak. Matanya tak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik Reyna.

"Kenapa kamu tidak pernah menolak saat saya meminta kamu memasak untukku?" tanya Pram penasaran.

"Aku tahu gimana menderitanya menahan lapar. Aku terlahir bukan dari keluarga berada seperti kamu. Dulu ayahku harus bekerja sangat keras agar kami bisa makan dan jika jualan ayah tidak laku satupun, ya kami tidak bisa makan" ujar Reyna mengingat lagi semua perjuangan ayahnya agar ia bisa hidup layak.

"Jadi karna ini alasan ayah kamu ngotot memaksa saya menikahi kamu" celetuk Pram.

Seketika kuping Reyna menjadi panas. Ia sangat sensitif segala sesuatu yang menyangkut tentang ayahnya. Namun kali ini Reyna tidak mau meladenin Pram dengan adu mulut walaupun sebenarnya ia sangat marah. Reyna diam seribu bahasa lalu pergi meninggalkan masakannya.

Pram mengeratkan buku tangannya melihat Reyna pergi. Dari dulu Pram paling tidak suka ditinggalkan saat ia sedang bicara. Lebih tepatnya sejak 10 tahun yang lalu, Pram sulit untuk mempercayai orang lain. Baginya perhatian orang lain padanya hanya karna menginginkan uangnya saja.

"Apa dia tidak bisa menahan ucapannya? Kenapa dia selalu menghina ayah? Kali ini aku tidak akan bicara dengannya sebelum dia minta maaf"

Tok tok tok

"Reyna buka pintunya. Buka pintunya saya belum selesai bicara" Pram semakin keras menggedor pintu kamar. "Buka atau saya dobrak" ancam Pram nyaring.

"Bodoh amatlah. Ini juga rumahnya. Kalau pintunya rusak, dia sendiri yang benerin. Yang habis uangnya juga. Terserahlah" racau Reyna dalam hati.

Sesuai ancamannya tadi, Pram mendobrak pintu kamar Reyna dengan tendangan yang cukup keras. Reyna tersentak sesaat namun ia tetap tak keluar dari persembunyiannya. Selimut tebal masih menutupi seluruh tubuhnya.

"Keluar kamu" perintah Pram menggebu.

Reyna tetap acuh. Ia tak bergeming.

Pram semakin kesal. Tanpa permisi Pram langsung menarik selimut yang membungkus badan Reyna namun itu tak berjalan lancar. Sekuat tenaga Reyna menahan selimutnya.

Haaahh

"Wah kamu semakin kuat. Ok kalau kamu mau adu kekuatan" Pram mengoyangkan jari-jarinya meregangkan persendian tangannya.

Kembali Pram menarik selimut itu. Selang beberapa menit, Pram akhirnya berhasil menyingkirkan selimut itu dari Reyna.

"Apa...mau kamu apa?" Reyna berdiri menentang tangannya di pinggang.

Pram berjalan perlahan terus berjalan hingga Reyna terjatuh di kasur. Dengan gerakan cepat Reyna bangun namun Pram mendorong pundak Reyna membuatnya kembali berbaring di kasur. Pram lalu menjatuhkan dirinya di atas tubuh Reyna. Kemudian memberi sedikit jarak. Mata keduanya bertemu intim dengan jantung berdetak seirama.

"Kenapa selalu kabur saat saya sedang bicara? Apa kamu tidak diajarin adab sopan santun dalam berbicara dengan orang lain?"

Mata Reyna mendelik tajam. Bukannya minta maaf, Pram kembali menghinanya. Reyna ingin bangun namun Pram dengan cepat meraih kedua tangan Reyna lalu menekannya mengunci Reyna tidak bisa kemana-mana.

"Aku tidak suka kamu menghina ayahku" ucap Reyna dingin.

"Saya tidak menghina ayah kamu. Saya hanya mengunkapkan kenyataan. Memang benarkan ayah kamu memaksa saya menikahi kamu agar kamu bisa hidup enak"

"Kenapa sih kamu selalu berubah-ubah. Kemarin kamu memelukku hangat memintaku untuk tidak pergi lalu sekarang bersikap seolah-olah kamu tidak pernah melakukan itu semua. Kamu membuatku bingung. Dan apa salahnya minta maaf" jelas Reyna capek dengan semua sikap Pram yang bisa berubah-ubah secara tiba-tiba.

"Kamu tahu sikap kamu ini kekanak-kanakan"

Reyna memicingkan mata tak mengerti.

"Setiap kita bertengkar kamu selalu pergi begitu saja, tidak ada niat untuk menyelesaikan masalah. Kamu juga terlalu sering menuntut dariku. Itu yang kamu lakukan sekarang" Pram berbaring di sebelah Reyna.

Keduanya diam dalam hening menyelami perasaan masing-masing, menduga enggan bertanya. Mata Pram dan Reyna bertemu kembali menatap dalam seakan mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di dalam hati.

"Beri saya waktu"

...----------------------------------...

Terpopuler

Comments

Nurdia Nailaaqila

Nurdia Nailaaqila

semangat terus

2022-06-30

0

Rice Btamban

Rice Btamban

tetap semangat Thor

2022-06-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!