Pandangan mata Lug terkunci pada sebuah roda papan yang berputar sangat cepat. Saking cepatnya itu seperti baling-baling kipas angin yang disetel paling cepat. Tetapi Lug terus memandanginya seakan dia benar-benar dapat melihat perputarannya. Orang-orang juga terpaku padanya dan sangat menanti-nanti anak panah yang akan dilesatkannya, seolah mereka berkata, ayolah! Cepat sedikit, kapan kau akan melepaskan anak panah itu?
Dalam hati Lug terus menenangkan dirinya. Lug, tenanglah. Kau pasti bisa, ini hanya masalah sepele, batinnya. Pada saat ini Lug benar-benar berkonsentrasi, ia memejamkan matanya dan menghembuskan nafas dari mulutnya. Lantas membuka matanya menatap tajam pada roda yang berputar di depannya sejauh lima belas kaki.
Berbeda dengan panahan sebelumnya yang targetnya hanya diayun-ayunkan begitu saja, walaupun diayunkan dengan cepat tapi tidak secepat putaran roda yang sekarang berada di depan mata Lug.
WHUUUSH
Anak panah melesat dari busurnya. Semua orang antusias melihatnya, mata mereka mengikuti kemana arah anak panah itu melesat, seakan pandangan mata mereka telah terkunci pada anak panah itu. Dan ...
TUK
Anak panah yang Lug lesatkan menancap pada roda yang berputar di depannya. Seseorang yang berpakaian compang-camping menghentikan putaran roda tersebut–pria yang sama seperti yang mencabut anak panah milik Lug sebelumnya. Dan ketika roda berputar itu dihentikan, semua orang terperangah melihat anak panah milik Lug menancap pada bagian warna merah yang sangat tipis. Itu sangat mencengangkan, semua orang hampir tak percaya itu dilakukan oleh seorang anak kecil yang baru berusia lima tahun.
Tetapi mau bagaimana lagi? Itu sudah terjadi dan tak bisa diubah lagi. Pria berkumis yang mengenakan jas hitam yang menjaga rentetan orang berbaris itu bertepuk tangan memberikan apresiasinya kepada Lug, diikuti oleh pria dengan pakaian compang-camping yang menghentikan putaran roda papan. Sedangkan orang lain yang mengantre dan menonton enggan untuk memberikan tepuk tangan.
"Luar biasa," puji pria berkumis itu sembari berjalan ke arah Lug.
"Bagaimana kau melakukannya? Melihatmu berkonsentrasi, aku bahkan sampai tidak bernafas pada saat itu. Menegangkan sekali."
Lug menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari menyeringai. "Aku benar-benar tak tahu mau bilang apa," ujarnya.
Pria berkumis itu menjabat tangan Lug, lantas memperkenalkan diri, "Namaku Brock Heckselburn, kau bisa memanggilku tuan Brock."
Haha, pria ini sedang menunjukkan kedewasaannya pada bocah kecil sepertiku, gumam Lug dalam hati. "Namaku Lug, Lug Vincent, dari desa Nedhen," balasnya. Semua orang mulai ribut sendiri, mereka seolah tahu siapa Lug. Mungkin mereka tahu kalau Lug adalah seorang anak yang pernah mengalahkan putra sulung keluarga Laurent.
"Ah, desa Nedhen?" sahut Brock.
Lug memiringkan kepalanya, "kau pernah ke sana?" tanyanya penasaran.
"Ya, dulu sekali. Bertahun-tahun silam."
Pria ini bicaranya terlalu dipanjang lebarkan. Apa tidak dibisa cuman berkata, YA DULU SEKALI dan itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaanku, pikir Lug yang agak kesal. Tapi dia menanggapinya lucu. Kemudian Lug kembali pada hadiahnya, Brock juga sudah tau bahwa anak kecil pasti langsung mengincar hadiahnya.
"Di antara yang tiga ini, kau mau pilih yang mana?" Brock membawa Lug mendekat ke arah meja yang diatasnya terdapat papan yang bertuliskan barang spesial. "Atau kau mau ambil barang tiga bintang dan dua bintang?" Brock memberikan penawaran. Tetapi Lug sudah tertuju pada benda yang telah membuatnya tertarik.
"Koin emas itu," sahut Lug seraya menunjuk ke sebuah koin emas kotor. "Aku menginginkannya.'
Brock sedikit bingung, dia mengira bahwa anak kecil itu akan memilih pedang besar yang dipajangnya. Anak-anak pastinya lebih suka memilih benda yang mencolok seperti pedang untuk dipamerkan. Tetapi berbeda dengan Lug, dia justru memilih sebuah benda jelek yang bahkan kebanyakan orang tak memperhatikannya. "Kau yakin memilih koin emas itu? Apa kau sudah memantapkan hati?"
Memantapkan hati apanya? Aku memang menginginkan koin itu. Kenapa malah kebanyakan tanya? Pikir Lug heran. "Ya, aku yakin."
Lantas Brock mengambil koin emas yang tergeletak di atas meja tanpa banyak pikir. Tapi sebenarnya dia juga heran sendiri, menurutnya itu cukup aneh. Dia mengira bahwa Lug seolah tahu tentang apa yang ada di dalam koin emas yang ia pajangkan. Lantas Brock memberikan koin tersebut kepada Lug.
"Terima kasih," ucap Lug setelah menerima koin emas tersebut. Dan itu masih membuat banyak orang terheran-heran.
"Hei, nak, apa yang spesial dari koin itu?" sahut seseorang yang mengantre, orang itu berada sangat jauh di belakang. Lug menggelengkan kepalanya, lantas mengangkat bahunya.
"Tidak ada," jawab Lug. "Aku hanya menyukainya saja." Sebenarnya Lug hendak menjawab nanti kau tahu sendiri, tapi dia akan membuat banyak orang curiga dengan apa yang ada di dalam koin tersebut. Dan kebetulan orang yang mengadakan acara panahan ini, Brock Heckselburn, juga sangat tahu tentang koin emas kotor tersebut. Dan dia hanya memandangi Lug tanpa komentar apapun. Serta jawaban yang diberikan oleh Lug menyadarkan banyak orang bahwa anak kecil tetaplah anak kecil, apapun yang membuatnya tertarik itulah yang dia pilih.
"Mungkin kau memilih hadiah yang bagus," ujar Brock. "Seharusnya kau tahu, kan?"
Lug hanya nyengir dan mengangkat bahunya saja. Lantas berlarian kecil pergi dari sana. "Entahlah!" Sembari berlari, Lug menghampiri anak kecil yang sebelumnya sempat menghujatnya. Lantas menjulurkan lidahnya dan pergi dengan meninggalkan perasaan jengkel pada anak itu.
Anak lelaki berambut hitam itu mengerutkan keningnya–memasang wajah kesal yang teramat sangat, seakan dia berkata aku akan melemparimu kotoran anjing suatu saat nanti.
Perginya Lug membuat banyak orang menjadi bersemangat untuk memenangkan panahannya. Dan banyak orang lagi yang berbondong-bondong untuk mengantre. Hanya saja ketika mereka melihat roda papannya diputar, semangat mereka seolah terbang entah kemana. Mereka langsung ingat bahwa seorang anak desa tadi tidak memanah roda papan yang tidak diputar. Putarannya sangatlah cepat, sampai membuat semangat mereka berputar-putar dan terlempar ke suatu tempat yang jauh nan asing, sehingga mereka tampak lesu.
Lug segera kembali ke ayahnya. Dia baru menyadari bahwa dirinya telah pergi meninggalkan ayahnya hingga hampir satu jam. Waktunya dihabiskan hanya untuk mengantre saja. "Huh," Lug mendesah. "Harusnya aku tidak pergi selama itu." Tetapi Lug tidak semenyesal itu. Ia telah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Ketika Lug sudah dekat dengan akademi kemiliteran, dia tak melihat ayahnya. Bahkan dengan menggunakan Penglihatan Langit dan Penglihatan Dunia-nya sekalipun.
Lug pergi mencari Vans, ayahnya. Dia berputar mengelilingi akademi kemiliteran. Tetapi Lug tak menemukannya. Ia mencarinya ke tempat lain, menyusuri tiap jalan beton di setiap gang sempit. Dan akhirnya Lug merasakan keberadaan ayahnya. Ia pergi ke sebuah restoran berplester merah muda yang di bagian depannya diisi oleh kaca jendela yang lebar, di depannya dihiasi oleh banyak sekali tumbuhan hijau yang ditanam di dalam pot. Di sampingnya terdapat pintu masuk yang di atasnya terdapat papan kayu yang digantung. Terdapat tulisan berwarna emas berkilauan yang bertuliskan Restoran Angelova dengan ukiran yang sangat cantik, meskipun terlihat rumit.
Lug dapat melihat apa yang ada di dalamnya, dan dia melihat begitu banyak meja bundar dan kursi kayu yang sangat banyak. Di sana banyak sekali pengunjung yang datang, memakai pakaian elegan dan memampangkan status sosial mereka. Dan Lug juga melihat ayahnya sedang disuguhi sebuah minuman berwarna ungu gelap. "Ayah tidak pernah minum minuman seperti itu," gumam Lug.
Pada saat itu, Lug segera masuk dengan perasaan marah. Tetapi ia menahannya dengan menampakkan senyum manisnya.
"Ah, itu anakmu," ucap seorang pria berambut ikal, Avan–sekarang dia telah mengganti pakaian kotornya dengan setelan rapi-kaus putih polos yang bersih, luarnya dilapisi jas biru kelasi dengan kain yang kasar, dan celana jeans yang warnanya hampir sama dengan jas yang ia kenakan, hanya sedikit lebih gelap saja.
Vans menoleh. Matanya merah, padahal dia sama sekali tidak pernah minum minuman beralkohol. Di sana pria ini seperti sedang dipermalukan. Seorang pria dari desa dengan pakaian kuno yang compang camping, disertai sepatu boots coklat seperti yang biasanya digunakan oleh petani, kini sedang mabuk dan melakukan hal yang tidak pantas. Vans bahkan merobek bajunya, semua kancing hitamnya lepas dan berceceran di lantai.
Lug tahu, sekarang bukan waktunya untuk mempermalukan dirinya sendiri. Tapi, bagaimana perasaan kalian jika orang tua kalian dipermalukan sampai seperti itu? Sangat mengesalkan, rasanya seperti ingin sekali menginjak kepala orang itu sampai bersatu padu dengan tanah.
"Oh," kata Lug. "Ayah, kenapa kau di sini? Ayo kita pulang." Ia memasang wajah anak-anaknya, seakan memperlihatkan bahwa dia sudah biasa melihat ayahnya seperti itu.
Avan menyunggingkan bibirnya, seakan dia tahu apa yang dirasakan oleh Lug. "Hei, bocah, ayahmu ini sedang mabuk. Kenapa kau langsung mengajaknya pulang? Nanti keretanya menabrak pohon, lantas terjatuh dan kau menangis, huhu," sindir pria itu.
Hanya saja Lug memasang wajah terkejut, dengan sekejap merubah ekspresinya menjadi cemberut marah. "Aku tidak peduli!" bentak Lug. "Memangnya kau ini siapa? Lagipula aku sama sekali tidak peduli dengan ocehanmu." Kalimatnya sedikit mengusik Avan. Lug sama sekali tidak peduli dengan itu, dan ia jauh lebih senang apabila Avan terpancing lebih dalam lagi.
Apa Vans terbiasa mabuk seperti ini? Bocah itu- dia seperti tidak peduli, batin Avan. Lantas ia berdiri dan menggeser kursi kayu yang didudukinya. Berjalan ke arah Lug seakan memperlihatkan kharisma yang sama sekali belum diperlihatkannya kepada orang lain.
"Oh," Lug berjalan mendekat pula. "Kau hendak melakukan apa?" tanyanya sembari menatap Avan sinis.
Pria yang ditatap Lug itu hanya tersenyum, seolah adalah hal biasa ditatap seperti itu oleh anak kecil. Avan tetap berjalan mendekatinya tanpa memikirkan hal lain. "Bukankah kau yang mengalahkan Luis?" tanyanya dengan percaya diri. Avan juga sudah pernah melihat Lug, namun tidak secara langsung. Jadi ketika diilustrasikan oleh David Lorenzo, lancer dari keluarga Laurent, ia langsung tahu siapa anak kecil berambut jamur berwarna hitam mengkilap. Tetapi sekarang Lug rambutnya sedikit berantakan karena diterpa angin ketika ia berlari mencari Vans.
Lug dan Avan saling menatap dengan sinis, seolah petir mencuat dari mata mereka dan saling menyambar satu sama lain.
"Maaf, aku hanya ingin membawa ayahku pergi, itu saja." Lug melewati Avan begitu saja, alih-alih beradu argumen, membawa Vans pergi jauh lebih baik daripada membuat masalah.
Avan sama sekali tidak menghalanginya, karena dia sendiri telah memberikannya sebuah minuman biasa yang ditaburi oleh serbuk yang dapat membuat orang mabuk karena meminumnya. Dan efeknya bukan hanya beberapa jam, melainkan sampai berhari-hari. Lug sudah menduganya, itu semua ditujukan agar membuatnya terpojok dan mengemis-ngemis untuk mendapatkan obatnya. Dan di saat Lug mendekati ayahnya, dia menggunakan sihir Udara Ketenangan. Dan mengeluarkan sebuah koin emas yang didapatkannya dari acara panahan sebelumnya.
"Tak disangka aku menggunakannya secepat ini," gumam Lug. Sihir Udara Ketenangan yang tercipta di bawah kakinya seakan menciptakan embun hangat yang membuat suasana menjadi begitu nyaman. Itu tak pernah terjadi sebelumnya ketika Lug menggunakan sihir Udara Ketenangan.
Semua orang menatapnya kagum, tetapi mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Tidak ada yang berkomentar satupun.
Dan pada saat yang bersamaan, Vans menghirup udaranya dengan sangat halus. Seketika ia tersadar dari mabuknya. Vans seketika sadar dengan apa yang telah ia perbuat dan ingat siapa yang telah melakukan ini semua. Ya, itu adalah Avan, dia memang tidak merampok atau mencuri uang yang telah dibayarkan. Tetapi dengan maksud yang lain, Avan telah mempermalukan Vans di depan orang lain. Dan seketika Vans curiga dengan kawan baiknya itu.
Avan terkejut, mata membelalak. Bagaimana bisa? Itu- itu tidak mungkin! Dia tidak percaya bahwa efek obat yang telah diberikannya hilang pada saat ini juga. Bahkan belum berlangsung selama satu jam, gumamnya dalam hati.
"Ada orang yang hendak mempermalukanku tadi," sindir Lug dengan tatapan penuh kepada ayahnya. "Sehingga aku menghampirimu." Lug melirik kepada Avan, dan Vans langsung mengerti.
"Avan," kata Vans. "Kenapa kau melakukan ini? Kupikir kau ... " Tiba-tiba saja ucapannya terhenti. Vans melirik sekitar, banyak sekali tatapan yang tertuju padanya. Dia sangat ingin menyelesaikan kalimatnya, tetapi ia tahu bahwa itu akan menyinggung banyak orang di sana.
Lalu Lug meremas tangan ayahnya. "Ayo kita pulang," katanya. "Tak ada gunanya kita berlama-lama di sini."
Mereka pun pergi dari tempat itu dengan penuh perasaan malu. Tetapi Lug tetap memancarkan keceriaannya, meskipun ia sedikit menahan amarahnya. Perjalanannya kembali tidak terjadi apapun, hanya saja mereka menjadi pusat perhatian di sepanjang jalan. Itu karena baju yang dikenakan oleh Vans begitu kacau dan amat sangat tidak layak pakai. Orang-orang yang melihatnya merasa jijik, dalam hati mereka berkata, ya ampun, siapa mereka ini? Benar-benar menjijikkan! Bagaimana bisa mereka ada di kota ini? Bahkan ada yang mencaci secara langsung atau saling berbisik-bisik hingga menertawakan, Vans dan Lug dapat mendengar ucapan mereka dan mereka berdua tidak memperdulikannya.
Vans mengambil keretanya yang sudah diparkirkan di depan akademi kemiliteran. Dan para prajurit yang sebelumnya berwajah datar, sekarang mereka menunjukkan sedikit ekspresi tidak senang.
Vans dan Lug pun pergi meninggalkan kota kerajaan. Vans mendapati dirinya tak dapat berbicara lagi dengan anaknya–perasaan malu membungkam dirinya, seolah tak dapat lagi menatap mata anaknya, Lug.
Lug berkata, "Ayah, kau tak perlu malu. Lagipula kupikir mereka hanya menatapmu aneh, bukankah itu benar?"
Vans merasa itu benar, dia tahu perasaan ketika dirinya ditatap aneh oleh orang lain itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Ya, setidaknya jika ia tak mengulanginya untuk yang kedua kalinya. Tetapi memperlihatkannya di hadapan seorang anaknya adalah tamparan keras baginya. Vans juga tahu anaknya masih kecil, namun ia mengerti bahwa suatu saat nanti Lug akan dewasa dan mungkin saja mengingat kejadian memalukan seperti itu.
Dan lagi-lagi, Lug masih berusaha menenangkan ayahnya. "Apa kau malu karena ada aku di sana?" tanyanya.
Vans tak menjawab, dia hanya diam karena Lug sudah tahu jawabannya. Bagaimanapun juga Vans tahu bahwa Lug itu sudah seperti memiliki pemikiran yang dewasa. Sekarang ia menampakkan wajah murungnya, sesekali memejamkan matanya dan merapatkan bibirnya.
"Ayah, katakan sesuatu!" desak Lug.
Akhirnya Vans membuka suara. "Dengar, Lug!" ujarnya. "Kupikir hubungan persahabatan antara dua orang lelaki takkan pernah berakhir meskipun mereka memiliki kasta yang berbeda." Lug antusias mendengarnya. Vans masih belum membuang wajah murungnya. "Seharusnya aku tak terlalu mempercayainya ketika aku tahu bahwa dia adalah bagian dari ... Keluarga Laurent."
Ya, memang benar. Avan berasal dari keluarga Laurent, mamanya adalah Avan Laurent. Dia memiliki hubungan kekerabatan yang sedikit jauh dengan Luis. Tapi hubungan mereka berdua tidaklah renggang walaupun bukan sesama keluarga inti.
Maka dari itu Lug sempat menyinggung masalah pajak ketika berdiri di hadapan Avan. Dia sudah tahu apa yang dilakukannya. Karena itu Avan justru ingin menjerumuskannya ke dalam tragedi yang memalukan. Tetapi Lug dapat keluar dari jebakan itu, kesadaran ayahnya kembali dan justru itu menjadi titik balik baginya. Hanya saja Lug tidak ingin melakukan pembalasan, itu hanya membawanya ke dalam situasi yang jauh lebih tidak menguntungkannya.
Dengan senyuman hangatnya, Lug berkata, "Sudahlah ayah, lupakan itu! Semakin kau tidak mengungkitnya, semakin aku tidak ingin mengingatnya."
Vans pun membalas senyumannya dan menoleh ke arah Lug. Wajahnya kembali berseri, meskipun itu tak dapat mengubah apa yang telah terjadi. "Kau benar, Lug," sahutnya.
Bersambung!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Mochamadribut
lanjut
2022-06-16
0
John Singgih
menolong ayahnya dari hal memalukan
2022-05-07
2