Perjalanan Lug dan Vans hampir berakhir. Mereka kini telah tiba di depan gerbang kerajaan yang menjulang tinggi, dindingnya membentang sangat luas melindungi seluruh wilayah kerajaan yang luasnya hingga ratusan hipagrit.
Note :
(1 hipagrit \= 1000 regrit)
Lug dan ayahnya disambut oleh selusin penjaga gerbang yang berseragamkan zirah besi, perisai baja, dan tombak panjang. Dinding yang menutup bagian atas gerbang, di atasnya banyak berlalu lalang penjaga gerbang yang memantau para pengunjung dengan hati-hati. Pandangan para prajurit begitu tajam, seakan mereka mengatakan bahwa mereka akan membunuh siapapun yang macam-macam.
Setelah selesai memeriksa barang bawaan Vans, mereka menanyakan apa yang perlu dilakukan semua pedang yang ada di dalam pedati.
"Itu semua adalah pesanan dari akademi kemiliteran." Jawab Vans.
Para penjaga itu mulai memeriksa pedang dan beberapa senjata lainnya. Lantas mereka membiarkan Vans dan Lug masuk tanpa ada banyak hal yang perlu diurus. Mereka memang sudah tahu bahwa akademi kemiliteran membutuhkan tambahan stok senjata.
Lug sedikit takut bahwa para penjaga gerbang itu tidak percaya dengan ucapan ayahnya. Mereka sama sekali tidak berekspresi, menjadikan wajah mereka menakutkan dan sulit ditebak. Bahkan mereka juga tidak berbica di dalam hati, itu membuat Lug semakin bingung. Tetapi dia yakin bahwa prajurit prajurit itu telah dilatih secara fisik maupun mental. "Ayah, bagaimana bisa akademi kemiliteran kerajaan mengetahui kalau ayah adalah seorang penempa? Kita kan berasal dari desa terpencil yang bahkan orang-orang dari kerajaan tidak ingin tahu tentang kita," tanya Lug penasaran.
Vans menoleh ke arah anaknya yang duduk di dalam pedati, "Ayah punya teman yang dulunya adalah salah satu murid dari akademi sihir kerajaan," ungkapnya. "Dia sekarang bekerja di akademi kemiliteran."
"Jadi dia yang memesan ini?"
"Ya," Vans mengangguk. Mereka kembali melanjutkan perjalanan dan menuju ke akademi kemiliteran.
Di tengah perjalanan, Lug melihat banyak bangunan yang megah. Bahkan toko toko yang berada pinggiran jalan pun lebih mewah dari tempat tinggalnya. Meski begitu, tatapan Lug hanya sebatas kagum dengan bentuk bangunan bangunan megah itu. Lug tak tertarik dengan hal lain, dan dia jelas tahu bahwa pendapatan harian keluarga di dalam kerajaan lebih banyak daripada pendapatan bulanan orang-orang dari pedesaan terpencil. Itu adalah hal yang wajar dan tidak membuat Lug terkejut.
Bukan hanya pertokoan saja yang terlihat bagus dan rapi, bahkan jalanan yang sedang dilaluinya itu tersusun dari ribuan beton berkualitas dan sangat enak untuk dilalui kendaraan. Bukan seperti desa Nedhen yang jalanannya tidak diratakan dan bahkan banyak ditumbuhi rerumputan liar atau alang-alang
"Ayah," Lug memanggil. "Apa kau pernah pergi ke sini sebelumnya? Kulihat ayah sudah sangat familiar di kota ini."
"Ya, ayah memang dulu sering ke kota kerajaan." Jawab Vans, lantas ia diam sejenak dan mendesah. "Yah, itu adalah masa lalu," tambahnya.
Lug tahu ayahnya memiliki sebuah masalah masalah yang tak ingin diungkapkan. Maka dari itu Lug tidak ingin mengungkitnya dan mencari-cari lebih dalam tentang itu, yang ada akan membuat Vans sedih. Pria paruh baya itu menunduk dan menatap kuda yang ditungganginya dengan tatapan kosong.
*****
Sebuah bangunan yang besar, dibangun dengan pilar pilar yang tersusun menjadi dinding–mirip seperti Colosseum. Bangunan itu tingginya hingga 7 regrit, berdiri sangat kokoh. Terdengar suara teriakan teriakan dari dalamnya, suara mereka sangat keras dan berat. Lug dan Vans berdiri di beranda depan pintu gerbangnya yang cukup besar. Itu dijaga oleh dua orang prajurit yang sama seperti penjaga gerbang kerajaan.
Kemudian Vans turun dari kudanya dan berbicara kepada kedua prajurit tersebut. Ia memberikan sebuah surat berupa kain usang yang digulung sedemikian rupa. Kedua prajurit itu menerimanya, lalu membaca isi dari suratnya.
Lug sebenarnya kurang suka terhadap mereka. Tampang mereka sangat kasar, seolah mereka lahir dari sebuah mesin raksasa yang mencetak manusia kasar tanpa ekspresi. Ya, mesin raksasa itu tepat berada di depan Lug saat ini. Itu adalah akademi kemiliteran kerajaan yang saat ini sedang melatih banyak pemuda untuk berlatih menjadi militer.
Setelah itu, para prajurit itu menggulung kembali suratnya dan memberikannya kepada Vans. "Baiklah," kata prajurit itu mengangguk. "Kami akan membawa semua ini ke dalam. Untuk masalah pembayarannya, kalian tunggu saja di sini. Nanti akan ada orang yang menemui kalian."
Prajurit yang satunya langsung menunggangi kuda yang menarik pedati, lantas membawanya masuk melalu pintu lain yang lebih besar. Dan prajurit yang membaca surat barusan juga masuk.
Lug mengamati dengan serius. Mereka sama sekali tidak memiliki niat buruk untuk membawa barang-barang itu tanpa membayar. "Ayah, apa menurutmu mereka itu bisa dipercaya?"
Vans menelan ludah. "Entahlah," katanya. "Tapi kalau kita tidak mempercayainya, kita akan mendapatkan kejutan yang buruk."
Itu karena tidak mempercayai orang-orang dari kerajaan sama dengan berkhianat. Itu memang bukanlah ketetapan yang sebenarnya, hanya saja beberapa keluarga yang menjadi petinggi kerajaan menetapkannya agar mengurangi jumlah pengkhianatan yang semakin lama semakin marak. Bahkan ada pula yang melakukannya secara terang-terangan sebelumnya, maka dari itu para keluarga bangsawan membentuk kebijakan baru, meskipun bukan kebijakan resmi. Dan tidak banyak orang yang tahu bahwa kebijakan tersebut tidaklah resmi.
Beberapa saat kemudian ada seseorang lelaki berambut ikal yang memanjang hingga sebahu, rambut depannya membingkai di wajahnya. Mengenakan jas tipis hitam yang memiliki dua saku, dan dibaliknya terdapat lebih banyak saku lagi. Baju yang dikenakannya adalah kaos abu-abu polos yang sangat kusut dan dipenuhi noda lumpur. Itu seperti hanya dibasuh dengan air saja, celana jins yang tidak terlalu ketat berwarna cokelat, dan sepatu boots hitam yang dipenuhi dengan noda lumpur, seperti benar-benar baru saja keluar dari kubangan lumpur.
"Hai, Avan," Vans menyapa. "Lama tak jumpa, bagaimana kabarmu?"
Lelaki bernama Avan itu membalas dengan senyum palsu yang cukup kaku. Tetapi dia tetap bersikap baik-baik saja. "Aku baik, bagaimana denganmu?"
"Aku juga baik."
Pandangan Avan terlempar pada Lug, lantas mengerutkan keningnya. "Dia anakmu?"
"Iya, memangnya kenapa?"
Avan menggeleng. "Tidak ada apa-apa," jawabnya. "Dia punya fisik yang lumayan bagus. Padahal usianya masih begitu muda."
Lug merasa ada yang aneh dengan pria itu. Itu karena seolah pria yang bernama Avan itu seperti mengenal Lug. Dan benar saja, ketika Avan berbicara sendiri di dalam hatinya, Lug mendengar sesuatu. Itu membuatnya tahu siapa pria tersebut dan itu terhubung dengan suatu kejadian.
"Ayah," Lug memanggil. "Aku ingin pergi, sangat membosankan di sini. Kupikir kita akan dipungut pajak jika terus berdiri di sini."
Avan menyipitkan matanya, kalimat itu seakan telah menyinggungnya. Lantas pandangannya kembali pada Vans. "Anakmu itu berlagak seperti orang dewasa saja," ujar Avan. "Memangnya dia tahu apa tentang pajak?"
"Namanya juga anak kecil," Vans menimpali. "Mereka hanya ingin mengekspresikan dirinya saja. Kau pasti dulunya begitu, suka mencari perhatian, begitulah anak kecil." Dan kemudian Vans memperbolehkan Lug pergi, dia pikir anaknya itu ingin bermain. Tetapi sebenarnya bukan hal yang tepat meninggalkan ayahnya sendiri di tempat seperti ini. Lug memang tidak meninggalkan ayahnya begitu saja, jelas dia hanya pergi di sekitaran saja-di tempat yang mana Penglihatan Langit dan Penglihatan Dunia-nya masih dapat mengawasi ayahnya.
"Tapi," kata Vans. "Anakku biasanya tidak bertingkah kekanak-kanakan seperti itu. Ya, aku tahu dia memang masih kecil, tapi tak biasanya dia seperti itu."
"Anak kecil tetaplah anak kecil," sahut Avan.
Beralih pada Lug, dia berjalan-jalan di sekitar dan mencari sesuatu untuk dibeli. Sebelumnya Vans memberikannya uang untuk membeli sesuatu, hanya 25 koin perak saja. Di sana Lug melihat banyak barang yang dijual berupa makanan, kristal ajaib, dan barang-barang lainnya. Ada suatu benda yang membuat Lug tertarik, tetapi harganya bahkan lebih dari sepuluh kali lipat harga pedati milik ayahnya. Itu adalah sebuah batu sajak, batu yang memiliki ukiran sihir menyala dengan tulisan kuno. Memiliki kegunaan untuk meningkatkan pemahaman sihir, sehingga penguasaan terhadap sihir yang dipelajari akan menjadi jauh lebih mudah. Dan itu sifatnya permanen.
Dan Lug tiba di suatu tempat yang cukup ramai. Di sana beberapa orang terlihat sedang memanah papan lingkaran yang diayunkan di tengah balok kayu yang kedua kakinya ditegakkan hingga membentuk huruf n. Lug tertarik, "Boleh juga ke sana." Lug menuju ke tempat panahan. Di sana sangatlah ramai, hingga bahkan Lug sampai berdesak-desakan hanya untuk mengantri saja.
"Hei, minggir kau bocah desa!"
"Cih, kau mengantri di depanku, itu tidak pantas. Minggirlah! Biar aku saja yang ada di tempatmu."
Lug mendapatkan banyak cemoohan dari orang-orang. Tetapi dia hanya diam dan menganggap semua perkataan itu hanyalah lalu lalang. Hanya saja ada orang yang main kasar, dia mencengkeram pundak Lug dengan sangat keras, tetapi bocah itu tidak bergeming sama sekali. Hingga orang yang mencengkeram pundaknya itu kesakitan sendiri. Tangannya malah kram karena pundak Lug terlalu keras.
"Bocah ini- dia ... Lupakan! Apa dia patung?!" Berusaha menahan malu karena tidak bisa membuat Lug pergi, seseorang yang mengenakan baju putih elegan itu berusaha membuang wajahnya–berusaha mengubah topik.
Salah satunya menyahuti, "Bocah ini adalah orang dari desa. Dia terlalu takut sampai sampai bergerak pun tidak mau, apalagi berteriak."
"Ucapanmu itu ada benarnya juga."
Orang-orang tahu bahwa lelaki tinggi yang mengenakan baju putih itu hanya ingin mengalihkan pembicaraan saja. Tetapi mereka mengabaikannya, justru semakin mencaci Lug dengan semena-mena.
Dan Lug juga mendengar semua ucapan mereka. Apa? Takut? Tidak! Aku hanya berpikir untuk membiarkan kalian saja. Orang tuaku akan mendapatkan masalah jika aku meladeni perbuatan kalian. Lagipula kalian malah terlihat seperti bocah kampungan yang baru saja melihat anjing menggonggong. Lug masih terus mendapat cacian hingga akhirnya gilirannya tiba.
"25 koin perak," ujar seseorang yang menjaga antrean panjang di belakang Lug.
Oh, ayolah ... Kenapa semahal itu? Aku sudah tau kalau akan semahal ini, tapi kenapa harus mahal? Daging yang dijual Teressa saja hanya sepuluh koin perak, batin Lug. Lantas dia mendapatkan sebuah busur dan tiga buah anak panah.
"Apa yang kau inginkan?" tanya seorang pria berkumis di samping Lug yang tiba-tiba datang secara mengejutkan. Pria itu tidak lebih tinggi dari ayahnya, mengenakan pakaian mewah seperti jas berwarna hitam, baju hitam dan celana jins hitam yang tidak terlalu ketat. Semua pakaian itu dianggap mewah bagi beberapa penduduk setempat. Tetapi anak itu sama sekali tidak terkejut.
Ketika itu Lug melihat begitu banyak barang yang berada di atas sebuah meja papan besar yang bertingkat dan tergantung sebuah papan kecil di setiap tingkatnya. Barang yang ada di bawah memiliki token bergambarkan sebuah bintang, yang berarti harus memenangkan satu kali panahan. Begitu juga dengan token di tingkat kedua dan ketiga yang bintangnya bertambah.
Di bintang satu, terdapat banyak barang tidak berguna seperti boneka kain empuk seharga 15 hingga 20 koin perak. Ya, kualitasnya jelas buruk karena harganya murah dengan barang sejenis boneka kain yang empuk. Di tingkat dua bintang terdapat beberapa aksesoris sihir seperti kalung permata, cincin permata, atau bandana rajut. Semua itu memang bukan untuk sihir-bukan! Tapi hanya untuk pamer saja, mungkin seharga 30 sampai 45 koin perak. Itu cukup mahal untuk barang imitasi seperti itu. Dan ada juga beberapa benda lain di bintang dua. Di tingkat tiga bintang ada beberapa material sihir, dapat digunakan untuk menempa senjata sihir.
Lantas Lug melirik sebuah meja yang terdapat papan segitiga yang bertuliskan barang spesial. Lug sedikit tertarik pada benda yang ada di meja tersebut. "Hadiah yang ada di sana, bagaimana cara mendapatkannya?" tanyanya.
Sebelum menjawab, pria dengan jas hitam itu melirik meja yang dimaksud. "Kau ingin mendapatkannya?" tanya pria tersebut. "Kalau kau bisa mengenai sampai tiga kali berturut-turut, kau mendapat satu kesempatan lagi."
Lantas pria itu menuding sebuah roda papan yang berputar dengan warna biru yang hampir memenuhinya, dan warna merah yang amat sangat tipis pada setengah diameternya saja, saking tipisnya itu bahkan sama seperti lebarnya jari-jari tangan Lug–bahkan tidak lebih lebar dari ibu jarinya. Roda itu berputar sangat cepat sampai bahkan mata orang biasa pun sulit untuk mengikutinya. "Panah saja yang warna merah itu dengan panah tambahan!" ujar pria yang menuding roda tersebut. "Kalau kau bisa mengenainya, kau akan mendapatkan hadiah spesial itu.
Menarik, batin Lug.
Hanya ada tiga hadiah spesial saja. Yang pertama adalah sebuah pedang panjang dengan gagang hitam dan mata pedang berwarna putih dan agak tebal, pada ujung gagangnya tergantung sebuah rantai yang memiliki gantungan berupa tengkorak berwarna perak gelap. Bagian pinggiran mata pedangnya bergerigi dan menyala, di tengahnya terdapat rongga yang memisahkan mata pedang bagian atas dan bawah, dan juga di dalam rongga tersebut terdapat sebuah jarum panjang yang bahkan lebih panjang dari mata pedangnya, berwarna biru menyala dengan sinar putih terang. Lantas ada juga sebuah koin emas yang yang terlihat biasa saja. Terukir sebuah simbol yang tak diketahui–simbolnya seperti dua buah garis bergelombang. Warna emas koin tersebut sangat kusut dan dipenuhi dengan berbagai goresan di sekitar simbolnya. Dan yang terakhir adalah sebuah kubus hitam pekat. Tak ada karakteristik yang mencolok dari benda itu dan hanya sebuah kubus yang berwarna hitam pekat saja.
Kebetulan juga Lug mengetahui kebenaran yang disembunyikan dari ketiga hadiah itu. Lug tahu bahwa kubus hitam itu adalah sebuah artefak kuno yang jarang orang ketahui. Tetapi itu hanyalah artefak peninggalan seseorang yang mungkin saja sudah hampir tidak berfungsi.
Dari ketiga hadiah spesial itu, Lug hanya tertarik pada satu benda saja. Meskipun dia tahu bahwa semua hadiah itu bukanlah imitasi alias bahan tiruan–semua itu asli.
"Percuma saja kau bertanya!" seru seorang anak yang mengantri. Anak lelaki ini terlihat sedikit lebih tua dari Lug. "Toh, memangnya kau bisa memanah dengan akurat?"
Lantas pria berjas hitam yang mengawasi antrian itu menimpali, "Tidak ada yang tahu." Dia mengangkat bahunya. "Lagipula aturannya tidak boleh menggunakan sihir, apapun jenisnya. Hanya boleh mengandalkan keterampilan dan kemampuan masing-masing."
Lantas Lug mulai mengangkat busurnya. Tatapannya bergeser pada anak yang mengkritiknya barusan. "Kita lihat saja!" Dan anak yang ditatapnya itu malah mengangkat bahunya dan tertawa.
"Kau lucu."
Lug pun menarik tali busurnya bersama dengan anak panahnya. Tatapan matanya sangatlah tajam. Nafasnya sangatlah halus dan begitu tenang. Orang-orang yang melihatnya hanya meremehkannya saja sambil menelan ludah. Mata Lug seolah berbinar di dalam kegelapan tak berujung. Ketenangannya memecah keramaian, seolah dia sama sekali tidak melihat atau bahkan menganggap orang-orang yang di sekitarnya itu tidak ada.
Lalu Lug merasa yakin dan melepaskannya tarikannya.
WHUUUSH
Anak panah melesat sedemikian cepatnya. Menancap tepat pada sasaran yang bergerak berayun-ayun. Ratusan mata menatapnya, dalam hati mereka itu luar biasa. Tetapi orang-orang menahan rasa takjubnya, membiarkan gengsi menguasai hati mereka. Lumayan juga sih, mungkin keberuntungan!
"Itu hanya kebetulan!" ucap anak lelaki tadi lagi.
"Ya, iya itu cuman kebetulan."
"Dia hanya beruntung bisa mengenainya saja."
Orang-orang setuju. Mereka bukannya memuji, justru semakin memaki Lug yang berhasil pada percobaan pertamanya. Pria berjas hitam yang menjaga antrean hanya bisa terdiam sambil memandangi seorang anak yang membawa panahannya.
Kemudian seseorang yang mengenakan baju berwarna putih kotor dan kainnya yang kusut mengambil anak panah yang menancap pada papan kayu, lantas mengayunkannya lebih cepat lagi. Lug menarik anak panah keduanya. Orang-orang yang mengantre masih belum berhenti memakinya.
WHUUUSH
Panah kedua berhasil menancap dengan sempurna seperti sebelumnya. Lug masih terus berhasil sampai saat ini. Orang-orang mulai ragu bahwa Lug hanya sekedar mengandalkan keberuntungannya saja. Tetapi gengsi mereka lebih tinggi dari keraguannya.
"Beruntung lagi bocah itu."
"Iya, dia hanya beruntung saja. Dan kebetulan itu bisa pas mengenainya."
Orang-orang masih memaki Lug. Hanya saja anak kecil yang tadi menghujatnya kini malah terdiam dan hanya bisa menggertakkan giginya saja–tak berani berucap sepatah katapun.
Dan kini masih tersisa anak panah terakhir. Lug telah menarik anak panah, orang-orang menunggunya sampai melepaskan anak panahnya, hati mereka berdegup kencang–berharap anak panah terakhir gagal mengenai sasaran. Sungguh menegangkan.
Tetapi dengan santainya, Lug tersenyum. Dia menatap ke arah orang-orang yang memandanginya dengan begitu antusias. Mereka membalasnya dengan cercaan yang sangat kasar.
"APA KAU SENYUM SENYUM?"
"LIHAT ITU! LIHAT DI DEPANMU!"
"KAU PASTI TIDAK BISA MENEMBAK DENGAN BENAR UNTUK YANG TERAKHIR INI!"
Panah pun melesat.
WHUUUSH
Tanpa melihat targetnya, Lug melepaskan tarikan anak panahnya. Dan dengan cepat anak panah itu melesat dan berhasil mengenai papan lingkaran yang berayun-ayun dengan cepat. Mereka yang menontonnya semakin takjub, meskipun gengsi mereka sangatlah tinggi sehingga membuatnya tak dapat berkata-kata. Mereka hanya diam sembari melihat bagaimana Lug menyombongkan dirinya–bertolak pinggang.
Tetapi itu hanya bayangan para penontonnya saja. Yang sebenarnya terjadi Lug masih sangat fokus dengan apa yang ada di depannya.
Bersambung!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Mochamadribut
lanjutkan lah
2022-06-16
0
John Singgih
menang dalam adu memanah
2022-05-05
2