Bazar begitu ramai dan sesak. Para warga berdatangan untuk membeli barang yang dibutuhkan atau menjual barang dagangannya. Ada yang menjual kain atau pakaian, aksesoris, perlengkapan sihir, makanan, dan lain-lain.
Sementara itu Rakt dan Teressa masih saling malu-malu akibat insiden di mana Lug melemparkan daging tadi.
"S-sekali lagi, kumohon maafkan adikku," pinta Rakt sembari memohon dengan malu malu.
Meskipun Teressa semakin tak menyukai Lug, dia menjadi lebih terbuka dengan kakaknya anak itu. Dia jadi dapat lebih dekat orang lain apalagi lawan jenis.
Teressa tersenyum, "Berapa kali kau akan meminta maaf. Sudahlah, lupakan itu," ujarnya. Namun nyatanya gadis ini tak bisa melupakan insiden tadi, dia merasa dendam dengan apa yang Lug lakukan padanya. Itu juga sudah mempermalukannya di depan seorang laki-laki lain.
"Aku tahu wanita tak semudah itu untuk memaafkan, jadi aku ingin kau memaafkannya dengan tulus. Lagipula dia hanyalah anak-anak," tambah Rakt sembari memotong daging.
Tetapi di mata Teressa, Lug bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah pernah melihat apa yang anak itu dapat lakukan.
Kini Rakt berada di dalam ruangan untuk memotong dagingnya. Dia mempersiapkannya dalam bentuk potongan rapi alias sate. Ada juga satu daging besar yang digantung di atas pembakaran.
Untuk mengatasi pelanggan adalah urusan Teressa. Untuk berkomunikasi mereka menggunakan sebuah lubang berbentuk persegi yang ada di dinding. Itu memang sudah dipersiapkan untuk berkomunikasi ataupun memeriksa pelanggan di luar.
Kemudian Teressa menoleh kepada lelaki yang sedang memotong daging tersebut. "Bukankah dari pagi kau terus membantuku? Apa kau sedang punya banyak waktu sekarang ini?" tanyanya.
Lantas Rakt menoleh padanya. Dia pun tersenyum, "Yaah- seperti itulah. Aku memang sedang punya banyak waktu hari ini," jawabnya.
Padahal sebenarnya Rakt itu tak memiliki pekerjaan yang pasti. Dia ingin sekali bekerja di bidang apapun asalkan dia mampu, tetapi tak ada seorangpun yang mau menerimanya. Dan kepala desa memaklumi hal tersebut, maka dari itu dia memberikan kompensasi khusus kepadanya karena banyak ditolak dari berbagai pekerjaan.
Kepala desa memberi Rakt sebuah pekerjaan untuk membersihkan perpustakaan desa. Dan dia juga diberi tempat tinggal yang sekarng ia tinggali ini.
Rakt bersyukur mendapatkan pekerjaan tersebut, meskipun bayaran yang ia dapatkan tidaklah besar. Cukup baginya makan untuk sehari itu adalah berkah yang patut disyukuri. Jadi dia tak mengeluh tentang apapun.
"Oh iya, Teressa, apa kau ingin kedai ini terus berjalan?" tanya lelaki itu sembari pandangannya tetap tertuju pada daging di yang sedang dipotongnya.
Teressa menoleh lagi padanya, dia menyunggingkan bibirnya dan memasang ekspresi bingung. "Aku tak tahu. Jika ada yang membantuku, aku mungkin akan terus membukanya," jawabnya.
Seketika itu Rakt berdiri dan menoleh padanya. "Apa kau serius? Kita bisa membukanya bersama, lagipula aku selalu punya banyak waktu yang kosong." ujarnya dengan semangat.
Bagi Rakt bekerja dan menghasilkan uang itu adalah kebutuhan dasar. Jika dia tak bekerja, maka tak ada uang yang datang padanya. Dia membutuhkan uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Maka dari itu dia rela untuk mengambil pekerjaan walaupun upahnya sangatlah rendah. Dari prinsipnya itu yang membuatnya bekerja di perpustakaan desa sampai sekarang ini, dan gajinya itu tidaklah seberapa sementara cukup untuknya memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Dan begitu dia mendengar apa yang Teressa katakan, dia menjadi semangat. "Mari kita buka toko kita bersama. Lagipula memulai semua ini juga tidaklah terlalu sulit," ujarnya lagi.
Teressa menimpali, "Tetapi daging ini adalah daging buruan adikmu seminggu yang lalu. Bagaimana kita bisa mendapatkannya lagi?"
Dengan penuh percaya diri, Rakt membusungkan dadanya dan berkata, "Aku lah yang mengajarinya sihir. Di desa ini juga aku adalah salah satu pemuda yang dapat menguasai sihir empat lingkaran. Berburu rusa dan domba liar saja itu sangat mudah. Bahkan serigala pun bisa aku buru."
Lantas Rakt keluar dan mendekati Teressa. "Jika kita sudah berhasil, kita bisa membelinya dari pedagang atau kita mungkin bisa ternak sendiri," ujar lelaki itu.
Wajah Teressa memerah. Dia berjalan mundur perlahan dan hampir terjatuh, "K-kau terlalu dekat ... Ini- ini terlalu sesak," ujarnya tergagap.
Rakt menyadarinya dan segera mundur menjauh. "Ah ... M-maafkan aku."
"Tak masalah."
Setelah itu, Teressa mengambil beberapa tusukan sate yang ada di papan kayu di sampingnya. Lantas diletakkannya di atas bara api dan membakarnya.
Sementara itu di rumah, Vans mengambil seluruh persenjataan buatannya yang ada di dalam ruang penempaan. Ia meletakkannya di atas sebuah pedati, pedati tersebut adalah miliknya. Dia mendapatkannya dari menjual kristal ajaib yang anak bungsunya dapatkan.
Mata uang yang digunakan adalah koin emas dan koin perak. Satu koin emas setara dengan seribu koin perak. Dan pedati tersebut seharga 1 koin emas. Vans mendapatkan lebih dari berpuluh-puluh koin emas setelah menjual kristal ajaib yang Lug berikan padanya.
Tepat ketika Lug masuk, dia mendapati ayahnya yang sedang sibuk sendiri. "Ayah, sedang apa kau?"
Vans menoleh. "Oh, Lug. Ayah sedang ingin mengirim pesanan seseorang dari kerajaan, lusa harus sudah diterima," jelasnya seraya kembali mengangkat pedang pedang yang terletak di atas meja yang lumayan lebar. "Ayah harus berangkat siang ini."
Akan ada sebuah penginapan di tengah hutan yang bertepatan dengan jalur menuju ke kerajaan. Itu adalah tempat bagi para pedagang yang ingin menjual barangnya di kerajaan. Vans hendak ke penginapan tersebut sebelum ke kota kerajaan, dan dia akan berangkat hari ini.
"Apa boleh aku ikut?" Tiba-tiba saja Lug mengajukan diri. Vans sedikit terkejut, tetapi kembali berbalik menyelesaikan urusannya.
"Lug, ayah bukan sedang ingin berjalan-jalan. Jadi kumohon mengertilah." Ujar Vans. "Mungkin banyak hal tak diinginkan terjadi selama perjalanan, ayah sangat cemas jika kau ikut denganku pergi," tambahnya.
Sudah jelas Lug tahu akan perihal tersebut. "Aku justru mengkhawatirkan keselamatan ayah," celetuknya.
"Apa?" Pandangannya terlempar dari pedang pedang yang ada di meja, sejenak teralih pada anaknya.
"Ayah akan baik-baik saja selama perjalanan. Kau jangan khawatir tentang itu." Vans kembali pada senjata tajam yang terletak di meja dan mengambilnya. "Tolong jangan banyak tanya lagi, ayah harus cepat," tambahnya.
Lug mendekat ke ayahnya. Dan ketika pria berjanggut tipis itu meletakkan pedangnya, anak itu segera menggenggam lengan ayahnya.
"Ayah, aku saja bisa menjaga diri ketika masuk ke dalam pedalaman hutan. Berburu saja menjadi hal yang mudah bagiku, dapat melindungi diri sendiri adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi."
Vans menjadi goyah ketika melihat pandangan anaknya. Tetapi dia tetap menggeleng dan tak menginginkan Lug untuk ikut bersamanya.
"Dengar, Lug! Melawan hewan buas yang hanya menggunakan nafsunya itu berbeda dengan melawan manusia yang menggunakan akal pikirannya," jelas Vans seraya memegang bahu anaknya. Lantas mengambil beberapa barang yang tersisa dan lekas menyelesaikan urusannya.
Lug tersenyum, seakan ada awan yang membawakan kabar gembira kepadanya. "Pagi tadi aku melawan kakak Rakt dan aku menang."
"Aku tetap tak mengizinkanmu."
"Ayolah ayah, sempai kapan aku bisa melihat kerajaan?"
"Sampai kau bisa mengikuti penerimaan murid di akademi sihir kerajaan. Itu berarti kau harus menunggu tiga tahun lagi."
Lug semakin murung. Setiap alasan yang ia berikan, ayahnya dapat dengan mudah membalikkannya. Sebenarnya dia juga memahami kekhawatiran ayahnya.
Dan beberapa saat kemudian setelah saling mendiamkan satu sama lain, Lug kembali tersenyum.
KRIEEET
Ada yang membuka pintu dan itu adalah Nivi. Lantas dia bertanya kepadanya anak laki-lakinya itu apa yang sebenarnya terjadi. Wanita tiga kepala yang memiliki tampang anak muda itu turut bersedih dengan keputusan suaminya.
"Ayolah, sayang. Biarkan Lug ikut bersamamu," ucapnya merayu. "Bukankah dulu kau sering membawa Rakt ikut bersamamu?" tambahnya.
"Tapi itu kan pada saat Rakt sudah berusia tujuh tahun. Dia juga sudah menguasai tiga sihir dua lingkaran," ujar Vans tak senang.
Lug mengangkat alisnya. "Apakah ayah lupa kalau aku sudah menguasai sembilan sihir tiga lingkaran?"
Vans menoleh lagi pada anaknya. "Benar juga, aku lupa kalau kau punya kemampuan seperti itu, kau ini kan jenius yang melampaui kakakmu." Dia tertawa sekeras-kerasnya sampai tetangga yang melewati rumahnya pun mendengar gelak tawanya. "Hahahaha- sungguh aku semakin tua."
"Ayah mungkin saja sudah pikun," celetuk Lug.
Nivi menimpali, "Bukankah itu sudah dari dulu? Kau baru menyadarinya, Lug?"
Vans tertawa malu karena alasan panjang lebarnya untuk melarang anaknya ikut pergi bersamanya. Padahal itu hanya karena dia lupa bahwa anaknya lebih dari sekedar tak perlu untuk dikhawatirkan.
Lug menghela nafas. "Baiklah kalau begitu, aku akan mengemasi pakaianku terlebih dahulu."
Lantas dia pergi dan mengemasi barang-barangnya yang ada di dalam kamarnya. Sementara Nivi masih berdiam diri di dalam ruang penempaan bersama suaminya. "Kau lihat? Anakmu malah merajuk, penyakit pikunmu itu ... Kuharap kau segera sembuh," ujarnya sembari memeluk tangan Vans.
"Yaaah- mau bagaimana lagi? Aku sudah semakin menua, aku juga tak menginginkannya." sahut Vans menaruh tatapan hangat pada istrinya. "Aku ini menginginkan masa muda kita kembali," tambahnya.
Kemudian mereka saling menatap hangat masing-masing. Kehangatan menyelimuti kebersamaan mereka berdua. Lalu mereka berpelukan dan saling berciuman.
"EKHEMM!!!"
Tiba-tiba saja Lug kembali. Dia juga sudah membawa barang-barangnya yang dia bungkus rapi di dalam koper kecilnya.
Nivi dan Vans terkejut. Mereka langsung menjauh dan wajah mereka memerah.
"Sepertinya aku masuk di saat yang tidak tepat, maaf." Lantas Lug berbalik dan menutup pintunya dengan perlahan.
"Tunggu, Lug!"
Nivi berusaha mencegah anaknya untuk pergi, namun Vans menggenggam erat tangannya dan menahannya. "Dia sepertinya sudah paham. Anak itu memang ingin memberikan kita waktu untuk menghabiskan momen ini bersama," ujarnya dengan senyuman penuh kehangatan.
Nivi menatap ke arah suaminya itu. Tatapannya terlempar lagi pada pintu yang ditutup anaknya tadi.
"Sudahlah Nivi."
Nivi dengan cepat memeluk Vans hingga menjatuhkannya. Tetapi suaminya itu malah pingsan setelah terjatuh.
"S-sayang?" Mata wanita itu berkaca-kaca. Hatinya langsung dipenuhi dengan ketakutan yang amat sangat luar biasa.
"Huaaaaa ... Kumohon, sayang- jangan tinggalkan aku ... Aku tidak sengaja mendorongmu sampai terjatuh seperti ini ... Huaaaaa ... " Wanita itu menangis di tempat.
Tangisan Nivi membuat Vans terbangun kembali. "Aaaghhh! Kau berisik sekali," serunya tak tahan mendengar tangisan yang tak mengenakkan telinganya.
"Sa-sayang? Kau ... Belum mati?"
"APA KAU MEMANG SENGAJA INGIN MEMBUATKU MATI?!!!"
Nivi hanya tertawa kecil sembari menyeka lendir di hidungnya. Ketika hendak berdiri, Vans menahannya dan langsung mencium bibirnya.
Tingkah laku mereka diperhatikan oleh anaknya, Lug, dari balik pintu ruang menempa. Dia ingin sekali tertawa terbahak-bahak, tetapi tak ingin kedua orang tuanya itu kehilangan memontumnya. Lug justru hanya tersenyum sembari memejamkan mata merasakan bagaimana harmonisnya keluarganya itu.
Lalu dia pergi dari sana dengan perasaan riang gembira, lantas kembali ke kamarnya.
Di kamar, Lug sudah melihat Nagisa yang tertidur dengan sangat nyenyak karena tidurnya masih belum cukup ketika berada di goa. Kemudian dia menulis sesuatu di secarik kertas dengan menggunakan bulu yang terdapat tinta di ujungnya.
Setelah itu meninggalkannya di meja dan meninggalkan label besar dengan tulisan tebal yang bertuliskan, teruntuk Nagisa.
Lantas Lug pergi dari kamar. Nagisa terbangun sejenak. "Kakak Lug?" bisiknya bertanya yang kemudian tertidur kembali.
Setelah menutup pintu, Lug menoleh ke belakang dan tersenyum. Lantas pergi dari sana sembari menunggu ayahnya selesai dengan 'persiapannya' bersama ibunya.
Bersambung!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Mochamadribut
up lagi
2022-06-16
0
John Singgih
ngakak waktu baca bagian ini
2022-05-05
2