Matahari berada tepat di atas kepala. Sinarnya begitu terik, tanah menjadi panas ketika dipijak tanpa menggunakan alas kaki. Lug dan ayahnya telah berangkat menuju ke kota kerajaan. Pedati ditarik oleh kuda yang disewa oleh Vans di penyewaan kuda yang ada di dekat bazar. Mereka akan tiba setidaknya pada esok hari.
Vans menjadi kusir di kereta kudanya. "Lug, bagaimana caramu berlatih sihir sebanyak itu?" tanyanya penasaran. Dia begitu salut dengan anaknya yang dapat memecah keajaiban. "Kau adalah sejarah baru, tak ada anak seusiamu yang dapat menguasai sihir sebanyak itu," tambahnya.
Lug tersenyum halus, "Ini berkat hasil latihanku." Jawabannya sangat singkat, meski tidak terlalu memuaskan.
"Jawaban itu selalu kudengar dari mulutmu. Berilah jawaban yang lain."
Lug menggeleng. Dia tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Vans menghela nafas dan memejamkan matanya sejenak. "Aku justru berpikir kau berlatih dengan Rakt."
"Kakak? Tidak, dia sekarang sedang menikmati waktu dengan bunganya."
"Hahaha, kau benar. Tapi maksudku, apa sebelumnya kau berlatih dengannya?"
"Iya, itu di saat aku masih berusia empat tahun."
Di sisi lain, penyakit Rakt kambuh lagi. Bukan! Bukan kutukan yang ada di dalam dirinya, namun bersin bersinnya. Teressa sampai terkejut mendengarnya bersin hingga berkali-kali.
"Apa kau sedang sakit," tanya gadis pirang tersebut.
Rakt tertawa kaku. "Tidak ... Mungkin ada yang sedang membicarakanku," ungkapnya sebal. Aku yakin itu pasti Lug- atau mungkin ayah.
"Kau percaya dengan mitos itu?" tanya Teressa lagi.
Rakt tertegun. Dia tak tahu harus menjawab apa, tapi ia tetap menjawabnya. "Y-ya, begitulah. Jika dipikir-pikir lagi, cuaca hari ini panas. Sangat tidak memungkinkan untuk seseorang terkena demam."
"Tapi seseorang tetap bisa terkena demam meski cuacanya panas. Kalau kau merasa letih, istirahat saja. "
"Tidak. Aku masih bisa melakukannya, tak usah khawatir."
Akan tetapi, Teressa menyerobot masuk ke dalam dan merebut pekerjaan Rakt. Ia mengambil pisau besar di tangan pria itu. "Biar aku saja yang melakukannya, kau kelihatannya sedang tidak sehat."
Rakt terkejut, terharu, dan tersipu malu pada saat yang bersamaan. "Teressa, apa kau tidak berpikir bahwa aku berbahaya? Bukankah kita baru pertama kali ini bertemu?"
Teressa menoleh, dia menatap lelaki itu dengan lembut. "Sudah dari dua bulan silam aku tinggal bersama keluargamu. Aku tahu kalian adalah orang baik, kenapa aku harus takut?" tanya gadis itu.
"Tapi kau terlalu naif. Tak semua orang yang kau temui itu selalu baik walaupun kau tinggal seatap dengannya dalam waktu yang lama."
"Setidaknya jika kau dan keluargamu berbuat sesuatu padaku dan adikku, aku sudah membalas kebaikan kalian dengan membiarkan kami tinggal bersama. Kami bahkan memakan makanan semeja, bahkan adikku saja tidur seranjang dengan adikmu," jelas Teressa sembari memotong daging yang dipegangnya.
"Kau punya adik?" Rakt belum tahu bahwa Teressa mempunyai adik.
"Iya."
Rakt kembali pada topik utamanya. Dia masih merasa bahwa gadis yang merebut pisau darinya itu naif. "Oh iya, maaf, kau dan adikmu itu sebelumnya tinggal di mana?" tanyanya penasaran.
Teressa terdiam sejenak, lantas dia menjawab, "Kami berasal dari pedalaman hutan. Rumah kami diserang oleh kawanan hewan buas, orang tua kami meninggal pada tragedi tersebut."
"Jadi begitu, ya? Aku minta maaf kalau aku menanyakan sesuatu yang membuatmu sedih." Rakt menyesali pertanyaannya.
Teressa menggeleng dengan cepat. "Adikmu itu menyelamatkan kami."
Setelah itu, dia menceritakan semuanya kepada Rakt apa yang terjadi semasa Lug berada di hutan. Rakt benar-benar kagum dengan aksi heroik adiknya itu. Tetapi dalam bayangannya, dia terlalu berekspektasi tinggi terhadap adiknya, wajahnya pun memerah. Sehingga dia mengira bahwa beruang yang dikalahkan oleh adiknya itu sangatlah besar. Dan itu membuat Teressa menatapnya dengan perasaan yang aneh.
"Ada apa denganmu?" tanya gadis itu.
Rakt menggeleng, "Tidak ada."
Itu membuat Teressa semakin yakin kalau lelaki tersebut sedang sakit. "Tidurlah! Kurasa kau lebih sakit dari yang kuduga. Wajahmu juga memerah," suruhnya.
Setelah itu ada seseorang yang datang untuk membeli daging. Dan banyak pembeli lagi setelahnya. Begitu para pembeli sudah mulai pergi, Rakt kembali membuka obrolan.
"Oh iya, Teressa, berdasarkan ceritamu bukankah kau jarang bersosialisasi dengan orang lain?"
Teressa menjawab singkat, "Ya, itu memang benar."
"Kalau begitu bagaimana kau bisa berkomunikasi dengan sangat lancar terhadap penduduk desa ini?"
Teressa menghela nafas, Rakt menelan ludah. "Mungkin aku mirip dengan ayahku. Dulu beliau sangat mahir berkomunikasi dengan orang lain." Pandangan Teressa menjadi kosong, perasaannya menjadi tidak karuan ketika menceritakannya. Bahkan tak terasa air matanya sampai mengalir. "Aku- menangis?" tanyanya parau.
Rakt kembali merasa bersalah. "Tak seharusnya aku bertanya tentang dirimu." Kemudian dia mendekati gadis itu dan mengelus perlahan punggungnya. "Lain kali jika aku bertanya tentang dirimu, jangan disangkutkan dengan keluargamu."
Teressa hendak membuka mulut dan menimpalinya, tetapi Rakt masih ingin meneruskan kalimatnya.
"Ya ya ya, aku tahu. Semua tentang dirimu itu pasti bersangkutan dengan keluargamu. Sosok terdekat di dalam hati adalah keluarga, tapi sekarang kau punya keluarga baru," lanjutnya.
Mata Teressa berkaca-kaca. Gadis berambut pirang itu tak sadar bahwa kalimat yang diucapkan oleh Rakt benar-benar menyentuh hatinya. Meskipun itu mengingatkannya pada seorang anak bernama Lug yang tidak ia sukai. Berpaling dari itu, dia justru lebih mengabaikan perasaan bencinya. Dia merasa bahwa dirinya yang sekarang telah berada di tempat yang berbeda, namun memiliki nuansa dan kehangatan yang sama. Itulah yang dinamakan keluarga.
Teressa mengusap kedua matanya dan kembali seperti sedia kala. Dia tersenyum menatap pria di sampingnya, merasa bahwa dirinya menemukan sosok yang sangat hangat baginya.
"Baiklah, sekarang sepertinya kau yang sakit. Beristirahatlah," ucap Rakt seraya mengetuk hidung Teressa dengan jari telunjuknya. "Hahaha."
"Ih, kau ini ... "
Gadis pirang itu merona. Mereka berdua bisa dikatakan lebih dari sekedar akrab. Dan lebih tepatnya, kata yang dapat menjabarkan keakraban mereka adalah kemesraan.
Berganti pada Nagisa, dia telah terbangun dari tidur lelapnya. Gadis itu menyadari bahwa ada secarik kertas yang ditinggalkan untuknya. Sudah sangat jelas bahwa itu memang ditujukan padanya, karena terdapat tulisan 'Teruntuk Nagisa' yang berarti itu untuknya.
Nagisa segera membacanya dan itu adalah secarik surat dari Lug. Surat itu berisi pesan, Nagisa, kalau kau ingin berlatih, latihan saja. Aku sedang keluar bersama ayah ke kota kerajaan, tak usah mencemaskanku. Makanlah dengan baik, jaga kakakmu, mungkin dia akan direbut oleh kakakku, haha. Mereka sekarang berada di kedai, ya, di bazar. Jemput mereka, bantu mereka. Tak usah menungguku, aku akan kembali. Semoga kau baik-baik saja, sampaikan salamku ini kepada ibu juga, aku sayang kalian semua.
Tanpa sadar muka Nagisa merona. Dia memeluk surat tersebut dan tersenyum dengan perasaan bahagia. Lantas segera keluar dari kamar dan menemui Nivi untuk menyampaikan salam yang dititipkan dari Lug.
Nivi tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. "Kalian seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, padahal kalian masih anak kecil," gumamnya berbisik sembari menjauh perlahan dari Nagisa. Lantas memberikan surat itu kembali pada Nagisa, dan gadis itu langsung berlarian, dia pergi keluar menuju ke bazar.
"Hei! Kau mau kemana? Makan dulu!" Nivi meneriaki Nagisa yang bersemangat itu.
Gadis itu kembali dan makan makanan yang ada di meja makan, makanan makanan itu telah disiapkan oleh Nivi, dan makanannya telah berkurang. Sebenarnya Nivi merasa sayang jika dibuang, karena makanan sisa itu adalah sisa dari Lug dan Vans. Sementara wanita beranak dua itu memakan beberapa bersama Nagisa.
Selesai makan Nagisa bergegas keluar dan pergi ke kedai. Nivi menghela nafas seraya menggeleng perlahan, "Gadis itu terlalu bersemangat, padahal dia belum minum setetes air pun," celotehnya. "Semoga di tempat Rakt dan Teressa ada air untuk anak itu."
*****
Beberapa jam kemudian, matahari hampir tenggelam di langit barat. Dan beralih kepada Lug, dia dan ayahnya berada di dalam penginapan. Penginapan itu adalah tempat yang sebelumnya dimaksud oleh Vans.
Ruangan kamar yang mereka tinggali lebih luas ketimbang kamar di rumah mereka. Berbeda ketika di rumah yang penerangannya menggunakan obor, di sini mereka menggunakan serbuk kristal sihir yang direndam di dalam air dengan aliran listrik yang sangat kuat. Aliran listrik itu didapatkan dari kristal sihir yang lain dan disusun dengan sangat kompleks sehingga dapat menghasil satu batang tabung kaca bercahaya. Lampu lampu itu diletakkan di ujung dinding hingga menyentuh langit-langit.
Selain lampu lampu itu, terdapat banyak hiasan lain seperti bunga palsu yang indah, akuarium berisikan belasan ikan, dan beberapa dekorasi lainnya.
"Benda benda yang ada di dalam kamar ini sangat luar biasa," gumam Lug kagum. "Ayah, sepertinya aku ingin mendekor kamarku menjadi seperti ini."
Vans tersenyum menatap anaknya, lantas dia berkata, "Kamarmu akan menjadi sangat indah. Itu adalah hal yang luar biasa, jadi setiap kali aku masuk, aku bisa melihat dekorasi yang bagus."
Lug membalas senyuman ayahnya. Dia berlagak seperti anak kecil agar ayahnya bahagia ketika melihatnya.
Mereka pun meletakkan barang-barang bawaannya. Setelah itu Vans menuju ke kamar mandi untuk mandi, sementara itu Lug memanfaatkan waktu yang ada untuk berlatih Penempaan Tubuh. Itu mirip sekali dengan teknik meditasi yang membutuhkan ketenangan.
Tepat setelah Vans selesai mandi, Lug juga menyelesaikan meditasinya, dan itu sangatlah bersamaan. Dan sekarang gantian Lug yang menggunakan kamar mandinya. Dia merasakan sesuatu yang sangat berbeda dari kamar mandi di rumahnya. Bak mandi di penginapan tersebut memiliki air yang sangat hangat, dan itu membuatnya sangat nyaman. Nyaman sekali, pikir Lug.
Lug berlama-lama di dalam kamar mandi karena saking nikmatnya. Dia terus membuang-buang air.
Setelah Lug selesai mandi, dia mengganti pakaiannya dengan baju dan celana tidur. Itu telah disiapkan oleh Nivi sebelum keberangkatan. Wanita paruh baya itu juga berpesan untuk memakai pakaian tersebut ketika hendak tidur. Sebenarnya Lug enggan memakainya, itu karena dia yang sudah tumbuh sedikit lebih besar dana pakaiannya hampir tidak muat dipakainya. "Ah, harusnya ibu tak usah memikirkan tentang pakaian tidurku. Aku juga bisa tidur pakai apa saja."
Terbesit bayangan ibunya yang sedang tersenyum jahil sembari menjulurkan ujung lidahnya. Seakan wanita itu memang sedang menjahilinya.
"Ya, kurasa bayanganku benar," gumamnya sebal.
Pakaian yang dipakainya itu adalah pakaian yang bahannya tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Bajunya adalah baju lengan panjang, dan celananya juga celana panjang. Pakaiannya itu memiliki warna putih bercorak gambar monyet makan pisang kecil kecil yang jumlahnya ada belasan. Karena Lug masihlah anak kecil, jadi itu terlihat cocok ketika dipakainya.
Lalu Vans mengajaknya ke bawah untuk mengambil makanan yang telah disiapkan. Makanan di penginapan tersebut hanya tinggal diambil sesuai dengan porsi yang telah disediakan. Lug mengambil makanannya dan hendak kembali ke kamarnya. Vans mencegahnya. "Mau kemana, kau?" tanyanya sembari menghadang anaknya. "Dilarang makan di dalam kamar, makanlah di tempat duduk yang ada di sana!" suruhnya seraya menuding ke arah rentetan kursi ada di dekat dinding. Ada beberapa kursi yang telah digunakan beberapa orang untuk makan, di sana memang menjadi agak sempit karena banyaknya orang yang memenuhinya.
Lug mengangguk, "Baiklah. Aku duluan, ayah segera menyusul, oke?"
Vans mengangguk juga, "Oke. Tunggu aku, kita makan bersama setelah ini." Ia masih mengantri karena ada beberapa orang yang ada di depannya. Ada beberapa meja yang menyediakan banyak makanan, dan orang-orang harus mengantri untuk mendapatkannya. Kebetulan Lug mendapatkan antrian yang sedikit dan ketika Vans datang, itu telah menjadi antrian yang panjang.
Kemudian Lug memilih tempat duduk kosong yang tidak terlalu berhimpitan dengan tempat duduk lainnya. Tempat duduk yang ia pilih berada di dekat dinding, di sana juga tidak terlalu sempit dan tidak banyak orang yang berhimpun di sekitarnya.
Walaupun Lug mengenakan pakaian yang cukup mencolok, tetapi dia tak banyak mencuri perhatian orang lain. Itu karena pakaiannya cocok bagi anak berusia lima tahun sepertinya. Orang lain malah melihatnya dengan tatapan lucu.
Beberapa saat kemudian Vans datang membawa makanannya. "Kau menemukan tempat duduk yang bagus," sindirnya ketika dia berhasil melewati segerombolan orang yang duduk menutupi tempat duduknya yang telah disiapkan anaknya.
Lug tertawa kecil. "Ayah saja yang datangnya selalu telat."
"Rupanya hari ini adalah hari sialku," umpat Vans. "Atau mungkin hari aku terlambat? Jangan! Aku tak mau itu terjadi padaku, apalagi besok!"
Lug menahan tawa dengan mulut yang dipenuhi makanan. Ia menutupi mulutnya yang hampir tersedak karena menahan tawa. Lantas mengambil segelas air yang ada di samping piring makannya dan meminumnya.
Setelah makan Lug dan Vans mengembalikan piring dan gelasnya di sebuah kotak kayu yang lumayan besar. Bahkan Lug bisa tiduran di dalamnya jika tidak ada piring dan gelas di dalamnya. Lantas mereka kembali ke kamar dan bersiap untuk tidur. Vans mengambilkan selimutnya dan mereka tidur mengenakannya. Dan lagi, sudah sangat lama mereka tidak tidur bersama semenjak Lug memutuskan untuk tidur di kamarnya sendiri. "Bukankah ini sudah lama, ayah?"
"Ya, aku sampai lupa kapan terakhir kali kita tidur bersama seperti ini," kata Vans. "Kuharap ibumu ada di sini dan kita tidur bersama."
Lug tertawa kecil. Vans bertanya-tanya kenapa anaknya malah tertawa. "Apa yang kau tertawakan, Lug?"
"Andaikan saja kakak masih kecil, mungkin momen seperti sekarang itu akan lebih indah. Tapi coba ayah bayangkan, betapa anehnya jika sekarang kita tidur bersama dan lengkap," terangnya.
Dan kini Vans malah tertawa keras. "Kau benar, akan menjadi aneh jika kamar ini lengkap satu keluarga." Akan tetapi tatapan matanya yang berkaca-kaca itu mengatakan bahwa dia mengharap itu akan terjadi. Dalam pikiran terbesit sebuah gambaran apabila Rakt masih kecil, Nivi yang masih muda, dan Lug yang berada dalam gendongannya. Itu akan menjadi sebuah kenangan yang sangat mengharukan dan tak terlupakan.
"Apa yang kau pikirkan, ayah?" celetuk Lug. "Sudah malam, ayo tidur."
Vans tersenyum hangat, dia memejamkan matanya seraya berucap, "Selamat malam, Lug."
"Selamat malam." Mereka berdua memejamkan matanya dan tertidur. Lug tahu apa yang ayahnya pikirkan, dia hanya ingin melihat ayahnya berandai-andai saja. Tetapi itu semua takkan mungkin dapat terjadi, sehingga Lug menghentikan khayalan ayahnya. Anak itu tersenyum setelah melihat khayalan Vans, meski tidak diungkapkan, tetapi itu juga indah baginya.
Bersambung!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Mochamadribut
lanjut terus ⚡🔨
2022-06-16
0
John Singgih
ayah dan anak yang akur
2022-05-05
2