Ia tahu kalau pasien yang sedang dalam pengobatan dan pengawasan tidak boleh ditinggalkan sendirian meski sebentar saja. Kenapa ia juga bisa lalai dan melupakan hal itu. Sampai di sebuah rumah sakit, Abi bergegas menggendong Larisa memasuki UGD.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Abi ketika dokter yang menangani gadis kecilnya keluar dari UGD
“Pendarahannya berhasil dihentikan. Saya sarankan pasien di rawat dulu sekitar dua hari. Apa pasien sedang mengalami gangguan jiwa?”
“Iya, saya dokter pribadinya. Dia sempat bertemu dengan orang yang menyebabkannya depresi sehingga memicu emosinya kembali,” jelas Abi.
“Kalau begitu segera pindahkan pasien ke ruang rawat agar aman sebelum dia sadar,” saran Dokter.
“Baik, Dok. Terimakasih.
...🍋🍋🍋🍋...
Ningsih mamanya Abi pun segera menyusul mereka ke Rumah Sakit. Gadis itu kini sedang istirahat dalam pengaruh obat penenang. Karena Abi gak mau ambil resiko jika nanti Larisa sadar akan kembali histeris dan melukai pergelangan tangannya yang baru saja di obati
“Tante dan Om pulang saja, biar saya yang jagain Larisa disini,” kata Abi
“Tapi, Nak Abi,” sela Davira
“Saya mohon, biar saya yang bertanggung jawab atas kondisi putri kalian. Ini salah saya karena meninggalkannya sendirian tadi." Abi tertunduk karena merasa bersalah.
Endra pun mendekati dokter muda itu dan menepuk pelan bahunya. “Tidak ada yang salah di sini, Dok. Larisa adalah tanggung jawab kami juga. Apa yang terjadi padanya adalah kesalahan kami dari awal. Saya harap, Dokter mampu mengembalikan Larisa kami,” katanya menitikkan air mata
“Saya janji, Om. Akan menyembuhkan Larisa.”
“Ya, sudah kalau begitu kami pulang.”
“Hati-hati, Om. Sekali lagi maafkan saya.”
Endra tersenyum sembari menghembuskan nafas. “Buk Ningsih, kami pamit dulu.”
“Baik, Pak, saya setelah ini juga ikut pulang.”
“Terimakasih sudah ikut menyusul kami kesini.”
“Larisa juga tanggung jawab saya, Pak.”
...🍍🍍🍍🍍...
Dua hari di Rumah Sakit kini Larisa sudah kembali pulang ke rumahnya. Abi setia menemani dan mendampingi gadis itu. Karena emosi Larisa belum stabil, kadang ia suka termenung, murung, tiba-tiba kembali histeris meraung dan menangis, bahkan juga ia akan tertawa dengan sendirinya.
Jika sudah kumat dan tidak dapat dibujuk maka jalan satu-satunya yang di ambil Abi adalah menyuntikkan obat penenang. Jujur hatinya sakit ketika memberikan obat penenang dalam dosis tinggi pada gadis yang sudah memberikan warna baru dalam hidupnya itu.
Rasa sesal terus bersarang di dada Abi ketika melihat kondisi Larisa yang tak punya semangat hidup. Lima hari sejak pulang dari Rumah sakit tak ada perubahan pada gadis itu. Keadaannya tetap sama. Bahkan keinginannya untuk bunuh diri semakin kuat ketika melihat wartawan dan media mendatangi rumahnya. Mereka semua meminta keterangan tentang videonya yang sedang mengamuk dan memukuli Luna di mall waktu itu sedang viral.
Orang-orang yang tak tahu akan permasalahan yang sebenarnya menghakimi dan menghujat Larisa seenak jidat mereka tanpa peduli pada kondisi kesehatan mental gadis itu.
Endra dan Davira memilih untuk tak memberikan keterangan apa-apa terkait kondisi putri mereka. Diam adalah pilihan terbaik dan membiarkan para pemburu berita menulis sesuka hatinya.
Nama baik ia sebagai seorang pengusaha bukan lagi menjadi prioritas bagi Endra. Namun kesehatan sang putri lah yang paling utama.
"Aku mau mati aja, Kak. Aku sudah bikin Mama dan Papa malu." Gadis itu menangis dan meraung di dalam kamarnya.
"Kalau kamu menyesal bukan seperti ini caranya, La." Abi masih berusaha sabar untuk membujuk pasiennya yang sedang kambuh.
"Lebih baik aku mati biar Mama, Papa gak menanggung malu karena aku gila."
"Sadar, La! Jika kamu bisa sembuh, kamu bisa bikin kedua orang tua kamu bangga."
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Karena cara berpikir orang yang sedang depresi sangat singkat. Maka ia merasa hidupnya sudah tak berarti lagi. Hal itulah yang mendorong Larisa untuk segera mengakhiri hidupnya.
Abi merasa frustasi. Ia mulai bingung dan kehabisan akal untuk menenangkan kembali gadis ini. Karena ia tak mau terus-terusan memakai obat penenang untuk membuat Larisa berhenti menyiksa dirinya sendiri.
"Kamu mau mati?" tanya Abi dengan raut wajah merah padam. "Kalau begitu ayo, ikut, Kakak."
Abi menarik tangan Larisa untuk keluar dari kamar dan menuruni tangga. Gadis itu tampak bingung tapi air mata tak mau berhenti membasahi pipi tirusnya.
"Kalau kamu mau mati, silahkan akhiri hidup kamu di sini. " Abi berkata di depan kedua orang tua Larisa.
"Apa-apaan ini, Abi?" Pekik Endra.
"Biarkan dia, Om. Biarkan dia bunuh dirinya sendiri di depan kita. Setelah itu kita semua akan bertemu dengannya di neraka." Untuk pertama kalinya Larisa melihat wajah Abi yang begitu tegang sampai menampakkan urat lehernya.
"Ini pisau untuk mengakhiri hidup kamu." Abi memberikan benda tajam itu ke dalam genggaman Larisa yang masih berdiri sambil menangis.
"Ayo tusuk diri kamu menggunakan pisau itu," Pekik Abi di depan wajah pasiennya.
Tangan Larisa mulai gemetar antara ingin melakukan yang diperintahkan Abi, tapi ia juga ragu ketika melihat kedua orang tuanya menangis dan berlutut di hadapannya.
"Atau kamu mau, Kakak dulu yang mati? Atau Mama kamu? Papa kamu? Agar bisa menemani kamu di neraka?" Ancam Abi
"Mama mohon nak, jangan lakukan itu." Davira seakan merasa dunianya akan segera berakhir jika sang putri melakukan hal itu.
"Kamu lihat! Mereka masih menyayangi kamu dan berharap kamu bisa sembuh, tapi kenapa kamu malah ingin mengakhiri hidup? Kenapa kamu menghancurkan harapan mereka? Apa kamu pikir mereka akan baik-baik saja setelah kamu mati?" Abi murka bahkan ia sampai mengguncang bahu Larisa.
Kali ini pria itu sudah kehabisan rasa sabar. Meski ia adalah seorang Dokter jiwa yang dituntut untuk bisa mengerti keadaan pasien. Namun, ia juga seorang manusia biasa yang memiliki rasa jenuh menghadapi Larisa yang tak kunjung berubah.
"Silahkan kamu bunuh mereka terlebih dahulu jika keinginan kamu untuk mati begitu besar. Karena mereka akan jauh lebih menderita jika hidup tapi tak bisa melihat kamu bahagia di bumi ini."
Abi pun berbalik dan melangkahkan kakinya untuk pergi dari rumah Endar. Jujur jika Larisa terus seperti ini ia tak sanggup lagi.
Gadis itu segera melempar pisau yang ada di genggamannya ke lantai lalu ia berlari mengejar Abi dan memeluk pria itu dari belakang. "Maafin aku, Kak. Aku bodoh aku cuma mikirin diri sendiri. Aku mohon jangan marah dan jangan pergi." Larisa memohon sambil menangis di punggung lebar itu.
Abi menghembuskan nafas lega. Sebenarnya ia merasa takut dan khawatir jika Larisa benar-benar melakukan hal yang ia katakan tadi. Tapi syukurnya Tuhan masih memberikan akal sehat pada pasiennya untuk menyadari keinginan itu bukanlah jalan terbaik.
Endra dan Davira yang tadinya juga harap-harap cemas kini bisa menghembuskan nafas lega. Sang putri tak jadi mengakhiri hidupnya.
...----------------...
Tolong dukungannya ya 😁😊
Tinggalkan jejak, like 👍 Komen 🖊 Hadiah 🎁 Vote 🔖
Jangan pelit atuh, dukungan dari kalian semua bikin aku makin semangat buat up date tiap hari.
Terimakasih 😉😍🥰🥳
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments
Salma Syam
aku jadi ikut tegang.. mikir kalau larisa nusuk dirinya sama pisau..
2022-08-26
1
Anita EndLs
baguss
2022-05-19
1
🍁 Fidh 🍁☘☘☘☘☘
semangat thor ....😉😉😉😉😉😉
2022-05-12
1